Kamis, 26 Juli 2012

REFLEKSI PARADIGMA PERGERAKAN


Nalar gerak PMII secara teoritik mulai terbangun secara sistematis pada masa kepengurusan Sahabat Muhaimin Iskandar (Ketum) dan Rusdin M. Noor (Sekjend). Untuk pertama kalinya istilah Paradigma yang populer dalam bidang sosiologi digunakan untuk menyatakan apa yang oleh PMII disebut prinsip-prinsip dasar yang akan dijadikan acuan dalam segenap pluraltas strategi sesuai lokalitas masalah dan medan juang. Dimuat dalam buku berjudul Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran (November 1997), Paradigma Pergerakan disambut massif oleh seluruh anggota dan kader PMII di seluruh Indonesia. Paradigma Pergerakan, demikian ‘judulnya’, dirasa mampu menjawab kegelisahan anggota pergerakan yang gerah dengan situasi sosial-politik nasional.
 
Dikemukakan dalam buku tersebut, salah satu latar belakang Paradigma Pergerakan (atau populer dengan nama Arus Balik) adalah kondisi sosio-politik bangsa yang ditandai oleh: 1) munculnya negara sebagai aktor atau agen otonom yang peranannya “mengatasi” masyarakat yang merupakan asal-usul eksistensinya, 2) menonjolnya peran dan fungsi birokrasi dan teknokrasi dalam proses rekayasa sosial, ekonomi dan politik, 3) semakin terpinggirkannya sektor-sektor “populer” dalam masyarakat – termasuk intelektual, 4) diterapkannya model politik eksklusioner melalui jaringan korporatis untuk menangani berbagai kepentingan politik, dan 5) penggunaan secara efektif hegemoni ideologi untuk memperkokoh dan melestarikan legitimasi sistem politik yang ada. Lima ciri-ciri tersebut tidak jauh berbeda dengan negara-negara kapitalis pinggiran (peripherial capitalist state) (1997; hal. 3).
 
Medan politik orde baru merupakan arena subur bagi sikap perlawanan PMII terhadap negara. Sikap perlawanan tersebut didorong pula oleh konstruksi teologi antoposentrisme-transendental yang menekankan posisi khalifatullah fil-ardh sebagai perwujudan penghambaan kepada Allah (‘abdullah). Selain oleh teologi antroposentrisme-transendetal, sikap perlawanan itu juga didorong dua tema pokok, pertama tidak menyetujui adanya otoritas penuh yang melingkupi otoritas masyarakat dan kedua menentang ekspansi dan hegemoni negara terhadap keinginan bebas individu dan masyarakat. (1997; hal. 17). Berikut ini ialah skema (Althusserian) yang lazim digunakan untuk menjelaskan struktur penindasan negara.
 
]





Bagian penting lain dalam paradigma tersebut adalah mengenai proses rekayasa sosial yang akan ditempuh PMII. Rekayasa sosial oleh PMII diarahkan menjadi dua pola yaitu pasar bebas ide (free market of ideas – FMI) dan Advokasi. FMI mengasumsikan adanya transaksi gagasan yang terjadi secara sehat yang dilakukan oleh individu-individu yang bebas dan kreatif sebagai hasil dari proses liberasi dan independensi. Dalam FMI, individu diasumsikan telah ‘sampai’ pada penemuan dan kesadaran individualitasnya sebagai subyek yang memiliki otoritas penuh di muka bumi – terlepas dari faktor di luar manusia (heteronom) yang membelenggu individu.
 
Rekayasa sosial melalui advokasi dilakukan untuk segala korban perubahan. Bentuk gerakannya ada tiga yakni sosialisasi wacana, penyadaran dan pemberdayaan serta pendampingan. Cita-cita besar dari advokasi tidak lain adalah sebagai bagian dari pendidikan politik masyarakat untuk mencapai angan-angan terwujudnya civil society (1997; hal. 30). Kedua jalan rekayasa tersebut memberikan energi yang luar biasa bagi PMII. Dikuatkan oleh bacaan tentang kondisi sosio-politik, dasar teologis dan filosofis, PMII berada di garis terdepan organisasi perlawanan terhadap negara. Lebih dari itu, di antara organisasi mahasiswa Islam, PMII menjadi organisasi paling progresif dan radikal dalam melakukan dekonstruksi teks-teks agama.
 
Pada periode sahabat Syaiful Bahri Anshari, diperkenalkan Paradigma Kritis Transformatif. Pada hakikatnya prinsip-prinsip dasar paradigma ini tidak jauh berbeda dengan Paradigma Pergerakan. Titik bedanya terletak pada pendalaman teoritik paradigma serta pengambilan eksemplar-eksemplar teori kritis madzhab Frankfurt (Frankfurt School) serta dari kritisisme wacana intelektual Muslim seperti Hassan Hanafi, Muhammad Arkoun, Ali Ashghar Engiiner dll. Sementara di lapangan terdapat pola yang sama dengan PMII periode sebelumnya; gerakan PMII terkonsentrasi pada aktivitas jalanan dan wacana-wacana kritis. Semangat perlawanan-oposisi (perang terbuka), baik dengan negara maupun dengan kapitalisme global masih sangat mewarnai gerakan PMII.
 
Kedua paradigma di atas mendapat ujian berat ketika KH Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden RI pada november 1999. Para aktifis PMII (dan aktifis civil society umumnya) mengalami kebingungan saat Gus Dur yang menjadi tokoh dan simbol perjuangan civil society di Indonesia naik ke tampuk kekuasan. Aktivis pro demokrasi mengalami dilema antara mendampingi Gus Dur dari jalur ekstraparlemen, atau bersikap sama sebagaimana terhadap presiden-presiden sebelumnya. Mendampingi atau mendukung didasari pada kenyataan bahwa masih banyak unsur orba baik di legislatif maupun eksekutif yang memusuhi presiden ke-4 tersebut. Namun pilihan tersebut akan memunculkan pandangan bahwa aktivis prodemokrasi (termasuk PMII) menanggalkan semangat perlawanannya. Meski demikian, secara nasional sikap PB PMII di masa kepengurusan Sahabat Nusron Wahid secara tegas-terbuka mengambil tempat sebagai pendukung demokrasi dan program reformasi yang secara konsisten dijalankan oleh presidan Gus Dur, sejalan dengan berbagai organisasi pro-dem yang lain.
 
Hanya titik persoalannya terletak pada paradigma gerakan PMII itu sendiri. Secara massif, paradigma gerakan PMII masih kental dengan nuansa perlawanan frontal baik terhadap negara maupun terhadap kekuatan di atas negara (kapitalis internasional). Inilah yang ditemukan di tingkat aktivis-aktivis PMII. Sehingga ruang taktis-strategis dalam kerangka cita-cita gerakan yang berorientasi jangka panjang justru tidak memperoleh tempat. Aktifis-aktifis PMII masih mudah terjebak-larut dalam persoalan temporal-spasial, sehingga gerak perkembangan internasional yang sangat berpengaruh terhadap arah perkembangan Indonesia sendiri luput dibaca. Dalam kalimat lain, dengan energi yang belum seberapa, aktivis PMII sering larut pada impian “membendung dominasi negara dan ekspansi neoliberal saat ini juga”. Efek besarnya, upaya taktis-strategis untuk mengakumulasikan kekuatan justru masih sedikit dilakukan.
 
Inilah mengapa kemudian dalam buku Membangun Sentrum Gerakan di Era Neo Liberal yang diterbitkan pada era sahabat A. Malik Haramain (2004), dikatakan bahwa dua paradigma di atas telah patah (2004: hal. 30). Kedua paradigma di atas melanjutkan kagagapan PMII dalam bersinggungan dengan kekuasan. Setidak-tidaknya ada tiga alasan untuk menjelaskan patahnya kedua paradigma ini. Pertama, keduanya didesain hanya untuk melakukan resistensi terhadap otoritarianisme tanpa membaca kompleksitas aktor di level nasional yang selalu terkait dengan perubahan di tingkat global dan siklus politik-ekonomi yang terjadi. Sebagai contoh maraknya LSM pro demokrasi dan gencarnya isu anti militerisme pada dekade 1990-an adalah akibat dari runtuhnya Uni Soviet sebagai rival USA dalam kompetisi hegemoni dunia.
 
Kedua, dua paradigma di atas hanya menjadi bunyi-bunyian yang tidak pernah secara real menjadi habitus atau laku di PMII. Akibatnya bentuk resistensi yang muncul adalah resisten tanpa tujuan, yang penting melawan. Sehingga ketika perlawanan itu berhasil menjatuhkan Soeharto terlepas ada aktor utama yang bermain, PMII dan organ-organ pro demokrasi lainnya tidak tahu harus berbuat apa.
 
Ketiga, pilihan dua paradigma di atas tidak didorong oleh setrategi sehingga paradigma dianggap sebagai suatu yang baku. Mestinya ketika medan pertempuran telah berganti, maka strategipun harus berbeda. Sayangnya yang terjadi pada PMII, ketika medan pertempuran melawan otoritarianisme orde baru telah dilewati, PMII masih berpikir normatif dengan mempertahankan nalar paradigma lama.
  
Nalar penyusunan gerakan di Indonesia setelah Tan Malaka lebih bersifat teoritik-akademik (logos), yakni diawali dengan berbagai konsep ideal tentang masyarakat atau negara yang berasal dari barat. Celakanya, konsep-konsep yang dipakai di kalangan akademis kita hampir seluruhnya beraroma liberalisme. Sehingga di tingkat intelektual pun tidak ada kemungkinan untuk meloloskan diri dari arus liberalisme, yang di level politik dan ekonomi maujud dalam neoliberalisme. Dengan kata lain, dalam upaya melawan neoliberalisme, banyak gerakan terperangkap di langkah pertama yakni tersedot oleh konsep-konsep liberalisme. Demokrasi, HAM, civil society, sipil vs militer, federalisme dll. difahami sebagai agenda substansial. Padahal dalam lapangan politik dan ekonomi, kesemuanya tadi nyaris menjadi mainan negara-negara neoliberal. Maka boleh dikata, semenjak dari pikiran gerakan semacam itu memang tidak akan pernah berhasil.
 
Dengan kata lain persoalan sulitnya membangun paradigma berbasis kenyataan di PMII itu pararel dengan kesulitan membuat agenda nasional yang berangkat dari kenyataan Indonesia. Konsekuensi yang harus diambil dari penyusunan paradigma semacam itu adalah, untuk sementara waktu organisasi akan tersisih dari pergaulan gerakan mainstream. Gerakan harus mampu berkayuh di antara gelombang panjang dan gelombang pendek, agar gelombang panjang tetap terkejar dan gelombang pendek tidak cukup kuat untuk menghancurkan biduk kita yang rapuh. Bagaimanapun untuk membangun gerakan kita harus mendahulukan realitas ketimbang logos.

0 komentar: