Sejarah PMII

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan salah satu elemen mahasiswa yang terus bercita-cita mewujudkan Indonesia ke depan menjadi lebih baik. Lahirnya PMII tentu tidak berjalan mulus, banyak sekali hambatan dan rintangan. Hasrat mendirikan organisasi NU sudah lama bergolak, namun pihak NU belum memberikan green light.

Islam Dalam Masyarakat yang Berkebudayaaan

Agama dan budaya merupakan dua unsur penting dalam masyarakat yang saling mempengaruhi. Ketika ajaran agama masuk dalam sebuah komunitas yang berbudaya.

Makna Lambang PMII

Makna Lambang PMII dan Makna Bendera PMII

Islam Agama Rahmatan Lil 'alamin

Agama Islam yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW diperuntukkan bagi seluruh umat manusia pada umumnya. Oleh sebab itu, Islam dikenal sebagai agama yang bersifat universal. Sebagaimana firman Allah SWT di dalam Al Qur’an : “Wamaa arsalnaka illa rohmatan lil ‘alamin” Yang artinya :” Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (Q.S. Al Anbiya’ : 107).

Kisah Mahbub Junaidi

Mahbub Junaidi namanya “Pendekar Pena” panggilannya. Sosok kelahiran 27 juli 1939.

Minggu, 30 Desember 2012

Membandingkan Kepemimpinan



Oleh : KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur )
Raymond White menuliskan sekitar 40 tahun yang lalu, bahwa ada perbedaan antara kepemimpinan (leadership) Richard Nixon dengan John F. Kennedy. White menggambarkan kepemimpinan model Nixon itu sebagai kepemimpinan kepala kelasi (boatswain). Ia memimpin para kelasi di ruangan bawah untuk menimba air yang masuk akibat badai dan membuangnya ke laut. Sepanjang waktu badai berlangsung ia harus siaga memimpin para kelasi untuk menjaga agar kapal mereka tidak sarat dengan air yang dibawa badai itu. Kalau ia lupa sekitar 15 menit saja, kapal yang ditumpanginya akan tengelam. Artinya, ia harus menjaga, dengan kepemimpinannya itu agar keselamatan kapal laut mereka tidak tenggelam dalam perjalanan. Kepemimpinan seperti ini sangat diperlukan dalam berbagai bidang.
Tentu saja model kepemimpinan seperti Nixon itu berbeda dari kepemimpinan Kennedy. Kalau White menamai kepemimpinan Nixon sebagai kepemimpinan yang sibuk dengan hal-hal teknis, maka kepemimpinan Kennedy justru sebaliknya. Hal itu digambarkan White sebagai kepemimpinan nahkoda kapal di anjungan kemudi. Seorang nahkoda melihat laut luas di hadapan matanya. Ketika cuaca menjadi gelap, angin mulai bertiup kencang dan hujan mulai turun, sang nakhoda akan memerintahkan sauh dibuang ke laut untuk menahan agar supaya kapal tetap berada di tempat dan layar mulai digulung agar kapal laut itu tidak dibawa angin kemana-mana. Sang nahkoda sendiri kembali ke kabinnya dan tidur di sana. Nanti, setelah ia bangun dari tidur, cuaca sudah baik, badai sudah berlalu dan angin sepoi-sepoi saja yang terasa, maka ia pun memerintahkan sauh diangkat dari laut, dan layar dikembangkan kembali. Kepemimpinan seperti ini tidak terlalu terpaku oleh rincian-rincian, melainkan lebih memperhatikan ke arah mana kapal laut harus diarahkan.
Contoh lain yang dapat dikemukakan di sini, terjadi ketika penulis masih menjadi santri di Pondok Pesantren Tambak Beras, Kabupaten Jombang. Tiap Jum’at dan Selasa siang, sehabis dzuhur atau sekitar jam 1 siang hingga jam 4 sore penulis mengaji kepada kakeknya dari Ibu, KH. M. Bisri Syansuri di Denanyar, Kabupaten Jombang. Pada suatu ketika seorang pemimpin lokal Nahdlatul Ulama (NU) menunggu dengan sabar hingga acara penulis mengaji selesai di waktu Ashar itu. Ia lalu mengatakan kepada Kyai Bisri, bahwa ia mempunyai delapan orang anak dan berniat berqurban bagi mereka. Namun uangnya hanya cukup untuk membeli seekor lembu. Padahal sesuai dengan ketentuan fiqh/ hukum Islam, binatang itu hanya dapat dijadikan qurban bagi tujuh orang anaknya.
Kyai Bisri menyatakan kepadanya, bahwa ia harus memilih antara dua hal: menunda qurban hingga tahun depan atau berqurban tahun ini hanya untuk tujuh orang anak. Orang itu pun dengan mata kuyu dan muka sangat sedih segera meninggalkan tempat itu. Kyai Bisri meminta kepada penulis artikel ini, untuk membonceng di atas sepeda orang tersebut mengantarkan ke rumah ipar Kyai Bisri yaitu Kyai A. Wahab Chasbullah, Ra’is ’Aam atau orang pertama NU. Penulis membonceng orang itu di atas sepedanya ke Tambak Beras, empat kilometer jauhnya. Di sana penulis menyatakan kepada Kyai Wahab, bahwa orang itu disuruh Kyai Bisri untuk bertemu dengan sang ipar. Orang itu lalu menyampaikan kepada Kyai Wahab seperti apa yang dikemukakannya kepada Kyai Bisri.
Kyai Wahab lalu menanyakan, apakah ia punya uang untuk membeli seekor lembu dan seekor kambing? Orang itu menyatakan, bahwa ia mempunyai uang sejumlah itu. Kata Kyai Wahab, lembu itu dapat dijadikan qurban untuk tujuh orang anak. Adapun kambing digunakan sebagai binatang ancik-ancik (alat untuk mencapai sesuatu yang tinggi) bagi anak ke delapan. Orang itu lalu sangat gembira dengan “pemecahan” seperti itu. Ia keluar dari rumah Kyai Wahab dengan senyum gembira. Kyai Wahab telah memperlihatkan kepemimpinannya pada saat itu. Berkat kepemimpinan itu, ia membuat sang pengurus lokal NU itu sangat bergembira dan tentunya merasa berhutang budi pada Kyai Wahab seumur hidupnya.
Sudah tentu kepemimpinan seperti itu, memiliki dimensinya masing-masing. Hal ini terlihat ketika Bung Karno merencanakan pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Kyai Wahab menerima gagasan itu, karena NU adalah satu-satunya kekuatan politik formal gerakan Islam yang masih ‘bertahan’ dalam dunia politik. Kalau gagasan itu ditolak, maka dalam DPR-GR yang akan dibentuk itu, tentu tak ada wakil gerakan Islam. Karena itu ia menerima gagasan tersebut. Ini bertentangan dengan iparnya sendiri, Kyai Bisri yang menjadi Wakil Ra’is ‘Aam atau orang kedua dalam NU. Menurutnya, DPR yang dibubarkan Soekarno adalah hasil pemilu tahun 1955. Kalau itu dibubarkan maka sebagai gantinya, lembaga perwakilan rakyat tersebut haruslah hasil sebuah pemilu. Kyai Bisri dan Kyai Wahab bersikukuh dengan pendapatnya masing-masing, sehingga berbulan-bulan lamanya tidak ada keputusan tentang hal itu. Baru kemudian Kyai Wahab menyatakan secara formal bahwa ia menerima gagsan tersebut, sedangkan Kyai Bisri tetap menolak gagasan itu. Hingga berakhirnya Demokrasi Terpimpin dua orang itu menunjukkan kepemimpinan yang saling berlawanan, bukan?
Sindo, Jakarta, 20 Febuari 2008

Jumat, 21 Desember 2012

Survei: 95 Persen Orang Indonesia Akrab Dengan Ibu

22 Desember 2012
Sebanyak 95 persen orang Indonesia menyatakan tetap akrab dengan ibunya, mereka masih tinggal bersama ibu karena memegang peranan penting dalam kehidupan sehai-hari dan juga dianggap sebagai teman akrabnya. Peran ibu sebagai seseorang yang melahirkan, membesarkan, dan mendidik anak, sehingga ibu dalam adat ketimuran memegang peranan yang sangat besar, kata Managing Director Ipsos Iwan Murty dalam keteranganya persnya Indonesia, berkaitan dengan perayaan Hari Ibu tanggal 22 Desember di Jakarta, Kamis.

Sebuah perusahaan riset pasar, Ipsos, mengumumkan hasil survei Asiabus November 2012 terhadap 1.044 orang Indonesia usia 15-64 di Jakarta, Bandung, Surabaya dan Medan tentang bagaimana sosok seorang Ibu di mata anak-anak Indonesia.  Iwan Murty mengatakan, ibu merupakan sosok yang tidak pernah lepas dari kehidupan manusia.  Ibu mempunyai makna yang berbeda pada setiap orang, seperti ibu sebagai teman akrab, ibu sebagai kepala keluarga ataupun ibu sebagai penasehat, katanya.
“Karena itu, kami dapat mengukur sejauh mana peringatan Hari Ibu melekat dalam keseharian kehidupan antara ibu dan anak di Indonesia,” tambahnya.

Menurut dia, berdasarkana survei ini diketahui sebesar 50 persen orang Indonesia saat ini masih tinggal bersama ibu, dimana responden laki-laki sebanyak 54 persen menyatakan masih tinggal bersama Ibu sedangkan perempuan sekitar 46 persen.

Orang Indonesia merasa akrab dengan ibu, lebih dari 95 persen menyatakan akrab dengan ibunya, tegasnya.
Meski demikian, lanjut dia sebanyak 68 persen orang Indonesia mengetahui tentang Hari Ibu, sekitar 78 persen di antaranya dapat menyebutkan dengan benar hari Ibu yaitu 22 Desember namun hanya 27 persen responden yang merayakannya.  Dari 27 persen itu, orang Indonesia yang merayakan Hari Ibu, sebagian besar atau sebanyak 83 persen hanya mengucapkan selamat Hari Ibu, kemudian 28 persen memberikan ciuman serta pelukan sayang, 23 persen memberikan hadiah berupa bunga, dan sisanya merayakan Hari Ibu dengan memasak untuk ibu, pergi makan bersama ibu, mengerjakan pekerjaan rumah sehingga ibu bisa mempunyai waktu untuk dirinya sendiri atau hanya sekedar jalan-jalan bersama ibu, ujarnya.

Ditanya mengenai sosok ibu, menurut dia, sebagai tempat yang tepat untuk berbagi, baik menampung rahasia maupun meminta nasehat, sebanyak 76 persen orang Indonesia menyatakan bahwa mereka menceritakan rahasia dengan ibunya.

Responden laki-laki yang menyatakan berbagi rahasia dengan ibunya sebesar 70 persen dan responden perempuan sebesar 83 persen. Semakin bertambahnya usia semakin jarang berbagi rahasia kepada ibu, meskipun demikian, persentase-nya tetap tinggi. Jika melihat, kelompok usia 15-24 tahun yang paling banyak menceritakan rahasianya sebesar 79 persen, disusul dengan kelompok usia 25-39 tahun, 76 persen, kelompok usia 40-54 tahun, 73 persen dan kelompok 55-64 tahun, 72 persen.

Sumber : www.mahasiswa.com

Selasa, 18 Desember 2012

Kader PMII Harus Sukses Multi Karir

Effendy Choirie (Sekjend IKA PMII)
BANDARLAMPUNG – Kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) harus menularkan virus energi positif, mendorong dan memberi inspirasi. Disisi lain, juga diharapkan mampu masuk dan menguasai semua sektor, baik itu birokrasi, akademisi, maupun politik praktis. Kendati demikian, mendorong jiwa entrepreneurship kader juga harus menjadi prioritas, sehingga bisa menjadi bekal untuk dapat menciptakan lapangan kerja.

Sekretaris Jendral Pengurus Besar (PB) Ikatan Alumni (IKA) PMII Dr Efendi Choiri mengatakan secara alamiah kader PMII harus memiliki sayap dimana-mana. Pasalnya, PMII merupakan sumber daya manusia (SDM) warga Nahdiyin yang bukan hanya terjun, tapi juga kader yang menjadi instrument Negara.

“Kita mengakui saat ini banyak kader PMII yang menduduki posisi-posisi strategis di birokrasi, ada juga yang jadi akademisi, demikian juga di ranah politik praktis. Tapi sedikit sekali yang menjadi pengusaha,” ungkap Gus Cho’i (sapaan akrap Efendi Choiri) saat menggelar silaturahmi dengan seluruh pengurus IKA, Pengurus Cabang (PC), dan Pengurus Koordinator Cabang (PKC) PMII Lampung di Kampung Bambu, Senin malam (17/12).

Untuk itu, lanjutnya, IKA PMII merupakan lokomotif yang berkewajiban mendorong setiap kader, sehingga PMII ada dimana-mana. “Kader PMII jangan menyesal kendati belum jadi apa-apa. Berdasarkan data dari intelligent, 92 persen warga Lampung muslim. Sebanyak 52 persennya warga Nahdlatul Ulama (NU). Ini menjadi peluang untuk kita semua. Karena itu dalam konteks kepemimpinan sangat strategis,” jelas anggota Komisi I DPR RI ini diamini Ketua IKA PMII Lampung Noverisman Subing.

Untuk ulama, kata Gus Cho’I, NU masih terbesar, yang masih kosong adalah pengusaha. Dari sekian banyak kader PMII, menurutnya harus ada yang menjadi pengusaha. “Kalau suatu saat pola pikir pragmatis masyarakat ini tidak tertolong, para pengusaha ini lah yang nantinya bisa menyokong kader PMII yang layak untuk dijadikan pemimpin,” harapnya.
Mantan wartawan ini menuturkan PMII merupakan organisasi yang lahir dari rahim NU dan merupakan bagian dari civil society. Harus ada instrument mahasiswa di kampus yang berpikir independen, terus menerus disesuaikan keadaan, bersifat demokratis, terus menerus tidak permanen. “Dalam konteks ini, jangan takut adanya perbedaan, karena itu merupakan proses pematangan jiwa,” terangnya.

Lebih jauh ia mengingatkan bila Nabi Muhammad 27 tahun sebelum menjadi Rasulullah merupakan seorang pedagang. “Ini menunjukan bila berwirausaha merupakan salah satu langkah positif untuk menjadi sukses,” kata dia.

Meski begitu, harus didukung pula dengan kader yang bergerak di ranah politik. Karena terjun kepolitik merupakan jalan pintas untuk memiliki sesuatu, jalan pintas untuk memberi sesuatu, dan jalan pintas untuk memobilisasi kader menjadi sesuatu.

Untuk itu, perlu diciptakan suatu forum yang rutin membicarakan tentang entrepreneurship dan harus segera dimulai. “Untuk kurikulum pergerakan juga harus dimasukan materi kewirausahaan ini,” pungkasnya.

Menanggapi hal itu, salah satu pengurus IKA PMII Ari Munawar mengatakan bila wacana kewirausahaan sudah dibahas sejak tahun 1990. Sayangnya, wacana ini menjadi pemikiran yang belum disahuti. “Hari ini materi pembelajaran PMII masih berkutat pada silabus yang lama. Untuk itu, harus ada penambahan dalam silabus yang disesuaikan dengan era dan zaman. Sehingga produk-produk PMII bisa menjadi kader yang mumpuni dan benar-benar unggul disegala sektor,” tanggapnya.

Demikian juga diungkapkan Ketua GP Ansor Lampung Khaidir. Menurutnya saat ini banyak laboratorium politik yang dijadikan pembelajaran informal kader PMII. “Tidak dapat disalahkan juga karena banyak kader belajarnya pada politisi, sehingga doktrin yang masuk politik. Saya kira perlu ada terobosan. IKA PMII ini merupakan wadah akumulasi modal kader yang bias menjadi stimulan alumni yang ingin mendarmabaktikan ilmunya,” kata dia.
Pada kesempatan yang sama, salah satu anggota KPU Provinsi Lampung Solihin membagi tiga kunci sukses kepada kader PMII. Menurutnya, kunci sukses yang pertama adalah kemampuan intelektual, kedua ilmu pergaulan, dan ketiga ilmu kemasyarakatan. “Ketiga itu harus seiring sejalan. Percuma saja ilmu kita tinggi tapi dalam bermasyarakat tidak bias,” tuntasnya.
sumber : Lampoeng NewsPaper

Selasa, 27 November 2012

KEMBALI KE AGAMA, KEMBALI KE PERDAMAIAN


Mutakin
Mutakin
Ketua Umum PC PMII Bandarlampung

Agama selalu hidup dalam sejarah umat manusia dan mengikuti perkembangan zaman. Dari waktu ke waktu agama mengalami penafsiran ulang yang kadang digunakan kelompok-kelompok tertentu untuk membela kepentingannya. Murad W Hofmann (2006 dalam mujtahid, 2011) sebagai tokoh yang sangat concern terhadap perdamaian agama, berusaha mempertemukan antara agama, dalam hal ini misalnya, Islam dan Kristen, dengan membuka jalan dialog, kerjasama dan alternatif lainnya. Selama ini, kedua agama ini saling menyimpan kecurigaan yang kuat dan tak jarang hingga meletuskan konflik dan konfrontasi yang destruktif bagi tumbuhnya keharmonisan bagi antar pemeluk agama.

Islam sendiri dalam wataknya yang asli adalah anti kekerasan. Watak Islam yang asli sebagaimana ditunjukkan oleh Rasulullah ketika beliau hijrah ke thaif Uthiopia. Sesampai di Uthiopia beliau dilempari batu oleh sebagian penduduk sampai berlumuran darah, namun beliau tidak mengutuk mereka melainkan justru mendo`akan petunjuk, dan rahmat bagi mereka. Demikian juga ketika perang Uhud, Rasulullah tidak membenci para pemanah yang tidak setia pada perintah beliau yang mengakibatkan kekalahan, melainkan beliau berlaku lemah lembut dan tetap mengayomi mereka. Rosul-rosul Allah yang pengampun terhadap kesalahan umatnya terbukti lebih berhasil dalam misinya dari pada yang sebaliknya.

Sikap lemah lembut dengan penuh kasih sayang sudah sepatutnya dipercontohkan oleh para orang tua, para pendidik dan komunitas sekolah lainnya sebagai manivestasi ajaran agama yang diyakininya.  Kekerasan harusnya tidak boleh terjadi dilingkungan sekolah seperti yang yang terjadi di dunia pendidikan yang marak diakhir-akhir ini.  Agama mengajarkan kasih sayang dan kelemah lembutan serta pengampunan.  sama halnya dalam agama kristen katolik disebutkan dalam ensiklik (surat pernyataan Paus) Redempotoris Missio yang dikeluarkan Paus Yohanes Paulus II tahun 1990.
Saling mengerti, memahami, menaruh cinta kasih dan menghormati satu dengan yang lainnya adalah ajaran agama yang seharusnya diterapkan oleh manusia yang beragama. Bangsa Indonesia yang merupakan bangsa yang multikulturalisme. Bangsa yang didalamnya terdapat bermacam budaya, suku, etnik, dan agama, sehingga orang-orang didalamnya baik secara idividu maupun kelompok sudah sepatutnya untuk bersikap toleran. Oleh karena itu, umat beragama harus menegaskan kembali identitas keagamaan di tengah-tengah umat beragama lain yang juga eksis. Pluralisme keagamaan sudah menjadi kenyataan sejarah yang tidak mungkin bisa dihindari, menafikan pluralisme sama artinya dengan menafikan keberadaan manusia itu sendiri. Namun, pluralisme dan perbedaan (eksoterik) agama sering menjadi sumber konflik dan ketegangan di antara umat beragama. Bahkan umat beragama sebagian besar masih memandang agama lain dalam konteks "superior" dan "inferior".

Setiap permasalahan harus dilihat dari dua perspektif-dialegtis: objektifikasi dan transendensi, demokrasi dan teokrasi.  Objektifikasi maksudnya, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seluruh komponen bangsa harus saling mengerti dan memahami, harus bermusyawarah untuk memecahkan persoalan bersama, harus saling bekerjasama dan tolong menolong, berbuat yang menguntungkan masyarakat serta senantiasa menjaga keseimbangan, keharmonisan dan keserasian.
Objektifitas menuntut masing-masing kelompok kepentingan daqlam masyarakat untuk menahan diri, tidak memaksakan kehendak apalagi menafikan pihak lain. Sebab manusia secara antologis (dalam realitasnya) terdiri dari berbagai bangsa, suku, agama, kelas, partai, golongan dan sebagainya.

Sedangkan yang dimaksud dengan transendensi dalam Islam adalah kesadaran bahwa manusia itu memiliki fitrah dan hanif.  Keyakinan fitrah tidak hanya mengatakan bahwa manusia berasal dari Tuhan melainkan lebih dari itu bahwa manusia adalah “Miniatur Tuhan”.  Agama telah mencandra bahwa manusia adalah Khalifah Allah di muka bumi. Karena itu dalam kompleksitas pelaksaan tugas kekhalifahan manusia perlu menginternalisasi nila-nilai ketuhan seperti berlaku adil, kasih sayang, menegakkan kebenaran dan kearifan.  Transendensi juga bermakna bahwa tindakan manusia itu bersifat taklif, karena itu manusia harus senantiasa memiliki responsibility dan accountability baik secara vertikal di hadapan Tuhan maupun secara horisontal kepada sesama manusia dan kepada alam.

Harusnya kita Arif melihat Bangsa Indonesia yang Multiagama, tidak berdasarkan mayoritas tetapi merangkul semua kalangan dari penduduk Nusantara, founding father telah menetapkan ideologi Bangsa yang termuat dalam “Pancasila”. Dalam hal ini penulis ingin melihat satu dari lima point ideologi Bangsa Indonesia yaitu sila pertama “Ketuhanan yang Maha Esa”. Makna sila pertama ini lebih menekankan Sifat-sifat Luhur/ Mulia Tuhan yang mutlak harus ada dalam individu, kelompok dan Bangsa Indonesia. Hal ini juga menunjukkan pentingnya menginternalisasikan nilai-nilai Luhur Tuhan. Sifat-sifat Luhur tersebut diantaranya penyayang, pengasih, pengampun/pemaaf dan sebagainya.

opini ini pernah dipublikasikan aleh Lampung Post pada Hari Jum`at Tanggal 23 November 2012

Selasa, 14 Agustus 2012

SAFARI RAMADAN ‘Islam Rahmatan Lil Alamin’

BANDAR LAMPUNG (Lampost): PMII Cabang Bandar Lampung kembali menggelar Kegiatan Safari Ramadan dan baksos kepada anak yatim piatu, Minggu (12-8).
Kegiatan di Masjid Latansa Beringinraya, Kemiling, Bandar Lampung, yang diikuti 107 anak yatim piatu dari tiga yayasan panti asuhan: Fattahul Alim 45 anak, Mahmudah 45 anak, Ponpes Islahul Ulum 12 anak, dan anak yatim piatu dari warga sekitar masjid Latansa sebanyak lima anak.

Kegiatan ini berisi kajian menjelang berbuka puasa, dengan mengusung tema universal, yaitu Membumikan Islam rahmatan lil alamin dengan narasumber K.H. Abdul Syukur.
Dalam tausiahnya, Abdul Syukur, memotivasi seluruh anak yatim agar selalu taat beribadah dan belajar sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasullulah saw. "Islam rahmatan lil alamin bukan hanya sebatas konsep, melainkan juga harus dihayati dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari," ujar dia.

Saat ditemui di sela-sela acara Ustaz Ahmad Sibli, selaku pengurus masjid Latansa, menyampaikan dalam bulan Ramadan ini Masjid Latansa memberikan santunan kepada anak yatim piatu. Harapannya, semoga kelak anak-anak yatim yang hadir akan menjadi generasi penerus bangsa yang pantang menyerah walaupun dengan segala kekurangan yang ada, tambahnya.
 
Vici Wahyu Nugroho, ketua pelaksana kegiatan, mengatakan kegiatan ini  merupakan salah satu program kerja PMII Cabang Bandar Lampung dan terseleggara atas kerja sama PMII dengan harian Lampung Post serta pengurus BPH Masjid Latansa. Kegiatan ini merupakan agenda rutin bulan Ramadan, dengan lokasi kegiatan yang berbeda di seluruh Bandar Lampung.

Sumber : http://www.lampungpost.com/index.php/ramadan/44391-safari-ramadan-islam-rahmatan-lil-alamin.html

Minggu, 29 Juli 2012

PMII GELAR KAJIAN DAN DIALOG KE-ISLAMAN


(Sabtu/28/07/2012)  PMII Cabang Bandarlampung menggelar Kegiatan Safari Ramadhan 1433H. Kegiatan ini dilaksanakan di Masjid Nurul Iman Sepang Jaya Bandarlampung, yang diikuti oleh masyarakat Sepangjaya, Risma dan perwakilan mahasiswa dari seluruh perguruan tinggi yang ada di Bandarlampung yang tergabung dalam Pergerakan Mahasiswa  Islam Indonesia (PMII). Kegiatan ini berisi kajian dan dialog menjelang berbuka puasa, dengan mengusung tema universal yaitu “membumikan Islam Rahmatan Lil’alamin” dengan narasumber DR. KH. Khairuddin Tahmid, MH. yang merupakan dosen fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Lampung. Menurut ketua pelaksana kegiatan Angga Andala “Kegiatan safari Ramadhan ini merupakan salah satu progja PMII Cabang Bandarlampung dan terseleggara atas kerjasama PMII dengan Harian LampungPost serta Remaja Islam Masjid dan Kegiatan  Insyallah akan dilaksanakan rutin setiap satu kali dalam seminggu pada bulan Ramadhan tahun ini, dengan lokasi yang berbeda diseluruh Bandarlampung”.

Dalam sambutannya saat membuka acara Ketua Umum PC PMII Bandarlampung Mutakin yang juga menjadi moderator dialog menyampaikan bahwa puasa merupakan salah satu ibadah untuk mensucikan jiwa, meningkatkan keimanan serta mengajarkan kita tentang bagaimana mengangkat derajad untuk menjadi manusia yang bermartabat dan lebih dekat dengan Allah Subhanahu Wata'ala. Dalam kajian dan dialog ini, DR.KH.Khoiruddin Tahmid,MH menyampaikan  bahwa kaum Muslimin dan Muslimat untuk senantiasa berusaha mengaktualisasikan hikmah Bulan Suci Ramadhan ke dalam kehidupan pribadi maupun sosial kemasyarakatan dengan menjunjung tinggi keimanan guna mendukung terciptanya keshalehan secara pribadi dan shaleh secara sosial dalam bingkai Islam yang Rahmatan Lilalamin.

Suasana khusyuk mewarnai kegiatan safari Ramadhan PMII ini. Jamaah sangat antusias dalam menerima materi tausiyah dari narasumber. Kegitan ini diakhiri dengan doa dan buka puasa bersama dilanjutkan dengan sholat Maghrib berjamaah.

Kamis, 26 Juli 2012

Sejarah PMII Dalam Dunia Kepemudaan dan Penyelamatan HMI

PMII Sebagai organisasi mahasiswa yang juga berdimensi kepemudaan, maka aktivitas-aktivitas yang dilakukan disamping di dunia kemahasiswaan juga dunia kepemudaan. Aktivitas PMII yang patut dicatat disini antara kurun waktu 1965 – 1968, hal ini penting karena berkaitan dengan lahirnya angkatan baru dalam dunia kepemudaan di Indonesia, yang akhirnya angkatan ini dikenal dengan istilah “ANGKATAN 66”.

Kelahiran angkatan 66 ini merupakan reaksi terhadap kebijaksanaan Presiden Soekarnoe yang membiarkan PKI dan antek-anteknya tetap hidup di Bumi Pertiwi ini, kendatipun PKI melakukan makar dengan melakukan gerakan 30 September. Ketidakmampuan pemerintah Orde Lama untuk mengambil tindakan tegas terhadap PKI ini, mungkin dikarenakan kekhawatiran rezim Soekarnoe akan reaksi pemeritah Komunis Cina yang merupakan pendukung utama dalam menghadapi politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara barat lainnya. Tetapi tindakan rezim Orde Lama yang seperti ini berakibat fatal, dengan semakin banyaknya rakyat yang tidak puas terhadap rezim Soekarnoe, terutama mereka yang dulu sering difitnah oleh PKI serta antek-anteknya. Keadaan yang demikian itu semakin diperburuk oleh ketidak mampuan rezim Orde Lama dalam menangani persoalan ekonomi, disamping ketidakmampuan lembaga Legeslatif menjalankan fungsi kontrolnya terhadap penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan pemerintah Orde Lama.

PMII sebagai bagian dari mahasiswa dan generasi muda bangsa merasa terpanggil untuk membela kepentingan rakyat. Karena melihat lembaga Legeslatif tidak mampu menjalankan peran dan fungsinya serta tersumbatnya saluran dialog dengan pemerintah, maka mahasiswa mengambil alih peran legeslatif dan gerakan protes di jalan-jalan raya. Mereka meneriakkan aspirasi rakyat yang tertindas yang dikenal dengan TRI-TURA (tiga tuntutan hati nurani Rakyat). Sejak saat itulah gerakan mahasiswa, pemuda dan pelajar dikenal dengan istilah baru “GERAKAN PARLEMEN JALANAN”.

Gerakan parlemen jalanan ini sangat mungkin terjadi, karena suasana politik saat itu memungkinkan mahasiswa, pemuda dan pelajar matang secara politik. Hal ini akibat sistem politik yang dikembangkan pemerintah Orde Lama waktu itu.

Sebelum lebih jauh membicarakan angkatan 66 ada baiknya kita melihat peran generasi muda khususnya generasi muda Islam dalam sejarah kepemudaan di Indonesia, dari sini kita bisa melihat sejauh mana peran PMII dalam sejarah kepemudaan di Indonesia.

Sewaktu organisasi mahasiswa, pelajar dan pemuda yang dulunya mempunyai hubungan baik dengan eks partai Masyumi, seperti GPII (Gerakan pemuda Islam Indonesia), PII (Pelajar Islam Indonesia), dan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) sedang mengalami cobaan berat, terutama cobaan yang berasal dari fitnahan PKI dan organ-organ sayapnya, bahkan akhirnya GPII dibubarkan. Atas inisiatif GP. Ansor dan PMII menghimpun organisasi pemuda pelajar dan mahasiswa Islam, yang diharapkan mampu menumbuhkan rasa solidaritas dikalangan pemuda Islam, maka pada tanggal 19- 26 Desember 1964 bertempat di Jakarta diselenggarakan musyawarah generasi muda Islam (GEMUIS)

Musyawarah ini akhirnya memutuskan dibentuknya organisasi federasi pemuda, pelajar dan mahasiswa Islam yang kemudian dikenal dengan nama GEMUIS (generasi muda Islam). Salah satu hasil dari musyawarah itu adalah pernyataan yang berkenaan dengan usaha penyelamatan terhadap Nasib HMI yang sedang mengalami cobaan berat dari rongrongan dan fitnahan CGMI dan pemerintahan Orde Lama.

Pernyataan yang dikeluarkan sebagai hasil musyawarah Gemuis yang berkenaan dengan pembelaan terhadap HMI adalah :

    HMI bukan onderbow dan tidak pernah mempunyai hubungan organisatoris dengan partai/organisasi manapun.
    Masalah yang dihadapi HMI tidak dapat dipisahkan dari masalah keseluruhan Ummat Islam.

Peranan PMII dalam Gemuis cukup besar, ketika musyawarah pertama kali diadakan, Ketua I PP PMII sahabat Chalid Mawardi bertindak sebagai sekjen panitia Munas tersebut, bahkan dalam struktur kepengurusan Gemuis, PMII dipercaya menjadi sekjen persedium pusat.

3. Organisasi mahasiswa ekstra Universitas di Indonesia juga berhimpun dalam wadah yang dikenal dengan nama PPMI (Perhimpunan Pergerakan Mahasiswa Indonesia).

PMII dengan surat permohonan tanggal 14 Desember 1960 masuk menjadi anggota PPMI, yang secara aklamasi diterima oleh persedium pusat PPMI. Namun pada tahun 1965 ketika PMII ditawari jabatan Sekjen persedium pusat PPMI, PMII menolak tawaran itu, sebelum organisasi itu mengadakan kongres terlebih dahulu. PMII menuntut adanya perubahan struktural dalam organisasi tersebut. Karena PMII beranggapan PPMI terlalu didominir oleh organisasi-organisasi mahasiswa yang sebenarnya tidak mempunyai basis kekuatan massa dibawah, disamping PMII sangat menyesalkan sikap persedium pusat PPMI yang bertindak mengeluarkan HMI dari organisasi tersebut, tindakan berakibat fatal dikarenakan HMI mempunyai kekuatan massa yang besar yang didukung oleh organisasi mahasiswa Islam yang lain seperti PMII, SEMI (serikat mahasiswa Muslimin Indonesia) dan HIMMAH (himpunan mahasiswa al-wasliyah), akhirnya ketika terjadi pemberontakan PKI nasib PPMI ditinggalkan oleh anggota-anggotanya, hal ini dikarenakan sebagian besar pengurus PPMI terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam peristiwa pemberontakan tersebut.

4. Sebagai organisasi mahasiswa dan pemuda, PMII aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan dan kepemudaan baik ditingkat Nasional maupun ditingkat Internasional :

Pada tanggal 30 Maret sampai 6 April 1965, sahabat Chotibul Umam, atas nama utusan PMII,  sahabat Mahbub Junaidi (ketua Umum PP PMII) atas nama PWI (persatuan Wartwan Indonesia) sahabat Chabibullah Asyhari atas nama Persatuan Wartawan Asia Afrika, hadir dalam seminar Internasional masalah Palestina yang dilaksanakan di Caero Mesir. Seminar ini diprakarsai oleh Organisasi mahasiswa Palestina yaitu General of Palestine Student (GUPS)

5. Sebagai tindak lanjut dari konprensi Islam Asia-Afrika yang diselenggarakan pada tanggal 6 – 12 Maret 1965 di Kota Bandung Jawa Barat, dibentuklah suatu wadah yang menghimpun ummat Islam se Asia-Afrika dengan nama OIAA (organisasi Islam Asia-Afrika). Badan dunia ini diketuai oleh KH. Ahmad Syaichu. Dalam struktur OIAA ini ada departemen yang mengurus bidang kemahasiswaan yaitu “Biro mahasiswa OIAA” . Dalam Biro ini PMII diwakili oleh sahabat Abdurrahman Saleh dan sahabat Siddiq Muhtadi, masing-masing sebagai ketua dan sekretaris

6. Dalam organisasi ekstra universitas sedunia WAY (word asembly of youth) PMII diwakili oleh sahabat Muslim Hasbullah, yang kemudian diganti oleh sahabat Umar Basalim. Kegiatan yang diikuti oleh PMII dalam Forum WAY tersebut adalah :

    Leadership Training di India yang di ikuti oleh  sahabat Umar Basalim
    Seminar pemuda dan Family planning di Jakarta, di ikuti oleh sahabat Fahmi Ja’far dan sahabat Wahab Jailani (Ketua Koorcab PMII Jawa Tengah)
    Leadership Training di Pasar minggu Jakarta, yang di ikuti Oleh sahabat Joko Purwono (ketua LPKP PP PMII)
    Seminar Family Trainning di Amsterdam yang di ikuti oleh sahabat Zaini Abd, Syukur. Dll

7.  Untuk mengatasi kekosongan yang diakibatkan oleh tidak aktifnya GEMUIS, serta organisasi-organisasi pemuda Islam lainnya yang tidak pernah berumur panjang, dikarenakan egoisme masing-masing organisasi mahasiswa Islam sendiri, maka PMII mesponsori berdirinya “Persatuan Mahasiswa dan Pelajar Indonesia” (PMPI).  Organisasi ini dibentuk dengan tujuan antara lain : sebagai wadah penyalur aspirasi dari gabungan potensi pemuda pelajar dan mahasiswa Islam dengan menitikberatkan pada bidang agama dan solidaritas ummat Islam. Beberapa kegiatan yang pernah dilakukan antara lain:

    Mengkoordinasi usaha-usaha yang merupakan tindak lanjut dari konfrensi ummat Islam Asia-Afrika.
    Bantuan terhadap pengungsi Palestina baik moral maupun material
    Demonstrasi terhadap kedatangan Kaisar Haile Selasie, Kepala negara Ethopia, yang saat itu sangat kejam dan menindas ummat Islam.
    Dan usaha-usaha membendung gerakan “Kristenisasi” terutama di daerah pedalaman luar jawa dan penggarapan bekas anggota PKI.

Dalam PMPI ini PMII diwakili oleh sahabat Abduh Paddare yang sekaligus menjabat sebagai ketua persedium pusat organisasi tersebut.

8. Salah satu organisasi kemahasiswaan yang bergerak dibidang kesehatan adalah “Word University Service” (WUS) dalam organisasi ini PMII diwakili oleh sahabat Fahmi Ja’far

9. Dalam rangka memupuk ukhuwah Islamiyah terutama dikalangan generasi muda Islam, maka pada tanggal 14 Januari 1968, generasi muda islam mengeluarkan surat pernyataan yang ditanda tangani  oleh :

    Siddiq Muhtadi                   = PP PMII
    Drs. Yunus Rahman          = DPP SEMI
    Iskandar Sarumala            = PB KMI
    Mar’I Muhammad            = PB HMI
    Muhammad Jasman          = DPP IMM
    Muchtar HN                     = PP HIMMAH

10. Dengan keluarnya SUPERSEMAR maka sebagian dari tuntutan KAMI terkabulkan, kini KAMI kembali seperti keadaan semula yakni mengkonsolidasi organisasi-organisasi ekstra dan intra universitas, namun nampaknya rasa persatuan dan kesatuan dalam tubuh KAMI semakin rapuh, hal ini diakibatkan beberapa hal :

    Sebagaian besar aktivis KAMI sudah selesai masa studinya sehingga mereka tidak lagi bisa aktif lagi memimpin organisasi mahasiswa, sedang penggantinyatidak saling mengenal satu sama lain.
    KAMI sebagai geraka aksi tidak mampu menyuguhkan suatu progam yang berkesinambungan.
    Secara obyektif generasi muda mengalami kelelahan fisik dan mental dalam tahun-tahun 1965 – 1967 sering turun jalan berdemonstrasi.

Usaha-usaha untuk mempertahankan KAMI ini terus diupayakan, bahkan PMII sebagai organisasi yang dipercaya memimpin KAMI (sebagai ketua persedium KAMI pusat) tetap berusaha mempertahankannya, dengan pemikiran bahwa:

    Pada dasarnya KAMI harus tetap dipertahankan eksistensinya
    KAMI harus mampu mendorong terbentuknya organisasi nasional mahasiswa  Indonesia yang multifungsi, yaitu :

 a)   Pengembangan kreasi dibidang pengamalan ilmu dan sistem group-group voluntir akan bisa lahir dari aktivitas yang demikian itu.

 b) Sebagai moral fors yang faham akan ilmu politik dan tahu politik praktis. Dengan dinamika yang dimiliki diharapkan mampu menemukan strategi dan tujuan perjuangan nasional, militansi yang dimilikinyadiharapkan mampu mendobrak kebatilan dalam segala bentuknya.

c)  Pengembangan upaya-upaya keamanan di berbagai bidang, baik fisik maupun spiritual, terutama terhadap ancaman kembalinya PKI dan Orde Lama.

Dalam usaha mempertahankan KAMI ini pernah diadakan Rapat Kerja KAMI pusat yang berlangsung pada tanggal 2 – 6 Juni 1967 di Ciawi Bogor, tetapi hasilnya tidak seperti yang diharapkan, bahkan SOMA (serikat organisasi mahasiswa lokal) Gabungan mahasiswa kedaerahan dan PMKRI serta dewan mahasiswa ITB menyatakan keluar dari KAMI. Usaha mempertahankan KAMI menemukan jalan buntu. Akhirnya berlanjut pada usaha pemerintah untuk menghimpun wadah generasi muda yang kelak kemudian hari dikenal dengan nama KNPI (komite nasional pemuda Indonesia).

MENGEMBANGKAN KONSEP ISLAM RAHMATAN LIL ‘ALAMIN

Agama Islam yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW diperuntukkan bagi seluruh umat manusia pada umumnya. Oleh sebab itu, Islam dikenal sebagai agama yang bersifat universal. Sebagaimana firman Allah SWT di dalam Al Qur’an  : “Wamaa arsalnaka illa rohmatan lil ‘alamin” Yang artinya :” Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (Q.S. Al Anbiya’ : 107).
Dalam konteks Islam rahmatan lil'alamin , Islam telah mengatur tata hubungan menyangkut aspek teologis, ritual, sosial, dan humanitas. Dalam segi teologis, Islam memberi rumusan tegas yang harus diyakini oleh setiap pemeluknya. Namun, hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk memaksa non-Muslim memeluk Islam (la ikraha fi al-din). Begitu halnya dalam tataran ritual yang memang sudah ditentukan operasionalnya dalam Alquran dan hadis. Namun, dalam konteks sosial, Islam sesungguhnya hanya berbicara mengenai ketentuan-ketentuan dasar atau pilar-pilarnya saja, yang penerjemahan operasionalnya secara detail dan komprehensif tergantung pada kesepakatan dan pemahaman masing-masing komunitas, yang tentu memiliki keunikan berdasarkan keberagaman lokalitas nilai dan sejarah yang dimilikinya.
Entitas Islam sebagai rahmat lil'alamin mengakui eksistensi pluralitas karena Islam memandang pluralitas sebagai sunnatullah, yaitu fungsi pengujian Allah pads manusia, fakta sosial, dan rekayasa sosial (social engineering) kemajuan umat manusia.

Agama Islam yang mengandung ajaran yang sempurna untuk dijadikan pedoman hidup manusia untuk menggapai keselamatan, kedamaian, kemakmuran, kesejahteraan baik di dunia maupun di akhirat, itulah misi Nabi Muhammad mengajarkan Islam kepada umat manusia. Kemakmuran disini bukan hanya ditujukan kepada manusia semata namun untuk seluruh makhluk yang ada di alam semesta ini yakni manusia, tumbuh-tumbuhan, binatang, alam dan lingkungan sekitar, serta semua makhluk ciptaan Allah. Oleh karena itu untuk mencapai itu semua harus memperhatikan kembali aspek hubungan antara manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia, serta hubungan manusia dengan alam. Karena dalam mengarungi kehidupan di dunia ini sudah pasti terdapat suatu hubungan atau interaksi.

Hubungan Manusia dengan Allah SWT.
Salah satu dasar hubungan antara manusia dengan Allah SWT adalah suatu keyakinan manusia itu sendiri terhadap Allah SWT sebagai Robb semesta alam. Hubungan vertikal antara manusia dengan Allah SWT harus dilandasi sebuah keimanan bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Tuhan tempat mengadu, bergantung dan tempat memohon pertolongan. Pada hakikatnya semua manusia di dunia ini membutuhkan Tuhan untuk ketentraman hati dan keselamatan jiwa. Sebagai umat Islam dasar keimanan terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al-Ikhlas: “Qul huwallahu ahad, Allahush shomad, Lam yalid walam yuulad walam yakullahu kufuan ahad”.
Yang artinya : “ Katakan, bahwa Dia-lah Allah Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.” (Q.S. Al- Ikhlas : 1-4).
Keyakinan seseorang kepada Allah  akan memberikan ketenangan dalam hidup manusia. Keyakinan atau keimanan inilah yang akan membawa manusia ke dalam  ketaqwaan. Ketaqwaan manusia dapat mengalami pasang surut, sehingga ketaqwaan inilah yang harus senantiasa ditingkatkan. Pemaknaan keimanan itu sendiri adalah meyakini dalam hati, mengikrarkan dengan lisan (ucapan) dan diamalkan dengan tindakan dan perbuatan, tentunya dengan melaksanakan semua perintah Allah SWT dan menjauhi semua larangan-larangan-Nya.

Hubungan Manusia dengan Manusia lainnya.
Manusia dalam kesehariannya sudah tentu berhubungan dan berinteraksi dengan manusia lainnya karena manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Sehingga hubungan antar manusia itu diatur dalam Al Qur’an dan Hadist agar tercipta keharmonisan, ketentraman dan kedamaian dalam kehidupannya. Hal ini diatur dalam firman Allah SWT :“Wa’tashimu bihablillahi jami’awwalaa tafarroqu, wadzkuru ni’matallahi ‘alaikum idzkuntum a’daa am fa allafa baina quluubikum faashbahtum bini’mati ikhwanan, ….. “
Yang artinya : “Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu berceraiberai dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara.” ( Q.S.Ali Imron : 103)
Dalam hidup ini harus senantiasa berpegang teguh pada ajaran-ajaran agama Islam yang benar. Dan sesama muslim kita senantiasa menghormati perbedaan yang terjadi. Kita tidak boleh menuduh seseorang sebagai orang kafir, munafiq, atau mengejek sesama muslim karena perbedaan itu. Tetapi apabila ada dari saudara kita sesama muslim yang menyimpang dari ajaran Islam kita harus mengajaknya untuk kembali kejalan yang benar (amar ma’ruf nahi mungkar).
Namun dalam hal aqidah kita harus sama yakni mengakui bahwa hanya Allah-lah yang patut kita sembah. Sesama muslim harus bersatu dan saling tolong menolong dalam kebaikan. Dalam pelaksanaan secara teknisnya dalam bermuamalah terdapat 3 macam yaitu :
Pertama, ukhuwah Islamiyah (persaudaraan antarumat Islam). Sejarah peradaban Islam diwarnai oleh perbedaan corak pandang keberagamaan, baik domain teologi, hukum, maupun spiritualitas.  Kedua, ukhwah wathaniyah (persaudaraan antarbangsa). Kerja sama antarbangsa mesti dijalin sebaik mungkin dalam rangka menuju perdamaian dan kesejahteraan dunia. Hubungan bangsa-bangsa ini tanpa membedakan latar belakang agama bangsa tersebut. Demarkasi kultural, teologis, dan struktural, pada wilayah ini musti didialogkan dan diupayakan pola relasi saling menguntungkan satu dan lainnya.
Ketiga, ukhuwah basyariyah atau insaniyah (persaudaraan antarmanusia). Persaudaraan antar sesama manusia yakni kita senantiasa berlaku baik pada setiap manusia karena derajat kita sama dihadapan Allah kecuali iman dan taqwa yang membedakannya. Islam menganggap bahwa seluruh umat manusia, tanpa harus membedakan suku, ras, warna kulit, bahkan agama, adalah saudara yang harus dilindungi dan saling melindungi. Islam mengharamkan penganiayaan terhadap orang lain di luar Islam dan meniscayakan hormat-menghormati dan sifat toleransi.
Ketiga macam ukhuwah ini harus diwujudkan secara berimbang menurut porsinya masing-masing. Satu dengan lainnya tidak boleh dipertentangkan. Melalui tiga dimensi ukhuwah inilah, Islam rahmatan lil 'alamin (pemberi rahmat alam semesta) akan terealisasi. Sebab, ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathaniyah merupakan landasan dan hal yang fundamental bagi terwujudnya ukhuwah insaniyah . Oleh karena itu, baik sebagai umat Islam maupun bangsa Indonesia, kita harus memerhatikan ukhuwah Islamiyah, ukhuwah insaniyah , dan ukhuwah wathaniyah secara serius, saksama, dan penuh kejernihan. Dalam hidup bertetangga dengan orang lain, bukan famili, bahkan non-Muslim atau non-Indonesia, kita diwajibkan berukhuwah dan memuliakan mereka dalam arti kerja sama yang baik selama mereka tidak menginjak dan menyakiti atau mengajak perang.

Hubungan Manusia dengan Alam
Perlakuan manusia terhadap alam tersebut dimaksudkan untuk memakmurkan kehidupan di dunia dan diarahkan untuk kebaikan akhirat. Di sini berlaku upaya berkelanjutan untuk mentransendensikan segala aspek kehidupan manusia. Sebab akhirat adalah masa depan eskatologis yang tak terelakkan. Kehidupan akhirat dicapai dengan sukses kalau kehidupan manusia benar-benar
fungsional dan beramal shaleh (al-Baqarah, 62; al-A’ashr).

           Kearah semua itulah hubungan manusia dengan alam ditujukan. Dengan sendirinya cara-cara memanfaatkan alam, memakmurkan bumi dan menyelenggara-kan kehidupan pada umumnya juga harus bersesuaian dengan tujuan yang terdapat dalam hubungan antara manusia dengan alam tersebut. Cara-cara itu dilakukan untuk mencukupi kebutuhan dasar dalam kehidupan bersama. Melalui pandangan ini haruslah dijamin kebutuhan manusia terhadap pekerjaan, nafkah dan masa depan, maka jelaslah hubungan manusia dengan alam merupakan hubungan pemanfaatan alam untuk kemakmuran bersama (al Mu’minun, 17-22; al-Hajj,65). Hidup bersama antar manusia berarti hidup antar kerjasama, tolong menolong dan tenggang rasa (Abasa, 17-32; an-Naazi’aat, 27-33).

Sumber : Wawancara dengan KH. Hafiduddin Hanif 

REFLEKSI PARADIGMA PERGERAKAN


Nalar gerak PMII secara teoritik mulai terbangun secara sistematis pada masa kepengurusan Sahabat Muhaimin Iskandar (Ketum) dan Rusdin M. Noor (Sekjend). Untuk pertama kalinya istilah Paradigma yang populer dalam bidang sosiologi digunakan untuk menyatakan apa yang oleh PMII disebut prinsip-prinsip dasar yang akan dijadikan acuan dalam segenap pluraltas strategi sesuai lokalitas masalah dan medan juang. Dimuat dalam buku berjudul Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran (November 1997), Paradigma Pergerakan disambut massif oleh seluruh anggota dan kader PMII di seluruh Indonesia. Paradigma Pergerakan, demikian ‘judulnya’, dirasa mampu menjawab kegelisahan anggota pergerakan yang gerah dengan situasi sosial-politik nasional.
 
Dikemukakan dalam buku tersebut, salah satu latar belakang Paradigma Pergerakan (atau populer dengan nama Arus Balik) adalah kondisi sosio-politik bangsa yang ditandai oleh: 1) munculnya negara sebagai aktor atau agen otonom yang peranannya “mengatasi” masyarakat yang merupakan asal-usul eksistensinya, 2) menonjolnya peran dan fungsi birokrasi dan teknokrasi dalam proses rekayasa sosial, ekonomi dan politik, 3) semakin terpinggirkannya sektor-sektor “populer” dalam masyarakat – termasuk intelektual, 4) diterapkannya model politik eksklusioner melalui jaringan korporatis untuk menangani berbagai kepentingan politik, dan 5) penggunaan secara efektif hegemoni ideologi untuk memperkokoh dan melestarikan legitimasi sistem politik yang ada. Lima ciri-ciri tersebut tidak jauh berbeda dengan negara-negara kapitalis pinggiran (peripherial capitalist state) (1997; hal. 3).
 
Medan politik orde baru merupakan arena subur bagi sikap perlawanan PMII terhadap negara. Sikap perlawanan tersebut didorong pula oleh konstruksi teologi antoposentrisme-transendental yang menekankan posisi khalifatullah fil-ardh sebagai perwujudan penghambaan kepada Allah (‘abdullah). Selain oleh teologi antroposentrisme-transendetal, sikap perlawanan itu juga didorong dua tema pokok, pertama tidak menyetujui adanya otoritas penuh yang melingkupi otoritas masyarakat dan kedua menentang ekspansi dan hegemoni negara terhadap keinginan bebas individu dan masyarakat. (1997; hal. 17). Berikut ini ialah skema (Althusserian) yang lazim digunakan untuk menjelaskan struktur penindasan negara.
 
]





Bagian penting lain dalam paradigma tersebut adalah mengenai proses rekayasa sosial yang akan ditempuh PMII. Rekayasa sosial oleh PMII diarahkan menjadi dua pola yaitu pasar bebas ide (free market of ideas – FMI) dan Advokasi. FMI mengasumsikan adanya transaksi gagasan yang terjadi secara sehat yang dilakukan oleh individu-individu yang bebas dan kreatif sebagai hasil dari proses liberasi dan independensi. Dalam FMI, individu diasumsikan telah ‘sampai’ pada penemuan dan kesadaran individualitasnya sebagai subyek yang memiliki otoritas penuh di muka bumi – terlepas dari faktor di luar manusia (heteronom) yang membelenggu individu.
 
Rekayasa sosial melalui advokasi dilakukan untuk segala korban perubahan. Bentuk gerakannya ada tiga yakni sosialisasi wacana, penyadaran dan pemberdayaan serta pendampingan. Cita-cita besar dari advokasi tidak lain adalah sebagai bagian dari pendidikan politik masyarakat untuk mencapai angan-angan terwujudnya civil society (1997; hal. 30). Kedua jalan rekayasa tersebut memberikan energi yang luar biasa bagi PMII. Dikuatkan oleh bacaan tentang kondisi sosio-politik, dasar teologis dan filosofis, PMII berada di garis terdepan organisasi perlawanan terhadap negara. Lebih dari itu, di antara organisasi mahasiswa Islam, PMII menjadi organisasi paling progresif dan radikal dalam melakukan dekonstruksi teks-teks agama.
 
Pada periode sahabat Syaiful Bahri Anshari, diperkenalkan Paradigma Kritis Transformatif. Pada hakikatnya prinsip-prinsip dasar paradigma ini tidak jauh berbeda dengan Paradigma Pergerakan. Titik bedanya terletak pada pendalaman teoritik paradigma serta pengambilan eksemplar-eksemplar teori kritis madzhab Frankfurt (Frankfurt School) serta dari kritisisme wacana intelektual Muslim seperti Hassan Hanafi, Muhammad Arkoun, Ali Ashghar Engiiner dll. Sementara di lapangan terdapat pola yang sama dengan PMII periode sebelumnya; gerakan PMII terkonsentrasi pada aktivitas jalanan dan wacana-wacana kritis. Semangat perlawanan-oposisi (perang terbuka), baik dengan negara maupun dengan kapitalisme global masih sangat mewarnai gerakan PMII.
 
Kedua paradigma di atas mendapat ujian berat ketika KH Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden RI pada november 1999. Para aktifis PMII (dan aktifis civil society umumnya) mengalami kebingungan saat Gus Dur yang menjadi tokoh dan simbol perjuangan civil society di Indonesia naik ke tampuk kekuasan. Aktivis pro demokrasi mengalami dilema antara mendampingi Gus Dur dari jalur ekstraparlemen, atau bersikap sama sebagaimana terhadap presiden-presiden sebelumnya. Mendampingi atau mendukung didasari pada kenyataan bahwa masih banyak unsur orba baik di legislatif maupun eksekutif yang memusuhi presiden ke-4 tersebut. Namun pilihan tersebut akan memunculkan pandangan bahwa aktivis prodemokrasi (termasuk PMII) menanggalkan semangat perlawanannya. Meski demikian, secara nasional sikap PB PMII di masa kepengurusan Sahabat Nusron Wahid secara tegas-terbuka mengambil tempat sebagai pendukung demokrasi dan program reformasi yang secara konsisten dijalankan oleh presidan Gus Dur, sejalan dengan berbagai organisasi pro-dem yang lain.
 
Hanya titik persoalannya terletak pada paradigma gerakan PMII itu sendiri. Secara massif, paradigma gerakan PMII masih kental dengan nuansa perlawanan frontal baik terhadap negara maupun terhadap kekuatan di atas negara (kapitalis internasional). Inilah yang ditemukan di tingkat aktivis-aktivis PMII. Sehingga ruang taktis-strategis dalam kerangka cita-cita gerakan yang berorientasi jangka panjang justru tidak memperoleh tempat. Aktifis-aktifis PMII masih mudah terjebak-larut dalam persoalan temporal-spasial, sehingga gerak perkembangan internasional yang sangat berpengaruh terhadap arah perkembangan Indonesia sendiri luput dibaca. Dalam kalimat lain, dengan energi yang belum seberapa, aktivis PMII sering larut pada impian “membendung dominasi negara dan ekspansi neoliberal saat ini juga”. Efek besarnya, upaya taktis-strategis untuk mengakumulasikan kekuatan justru masih sedikit dilakukan.
 
Inilah mengapa kemudian dalam buku Membangun Sentrum Gerakan di Era Neo Liberal yang diterbitkan pada era sahabat A. Malik Haramain (2004), dikatakan bahwa dua paradigma di atas telah patah (2004: hal. 30). Kedua paradigma di atas melanjutkan kagagapan PMII dalam bersinggungan dengan kekuasan. Setidak-tidaknya ada tiga alasan untuk menjelaskan patahnya kedua paradigma ini. Pertama, keduanya didesain hanya untuk melakukan resistensi terhadap otoritarianisme tanpa membaca kompleksitas aktor di level nasional yang selalu terkait dengan perubahan di tingkat global dan siklus politik-ekonomi yang terjadi. Sebagai contoh maraknya LSM pro demokrasi dan gencarnya isu anti militerisme pada dekade 1990-an adalah akibat dari runtuhnya Uni Soviet sebagai rival USA dalam kompetisi hegemoni dunia.
 
Kedua, dua paradigma di atas hanya menjadi bunyi-bunyian yang tidak pernah secara real menjadi habitus atau laku di PMII. Akibatnya bentuk resistensi yang muncul adalah resisten tanpa tujuan, yang penting melawan. Sehingga ketika perlawanan itu berhasil menjatuhkan Soeharto terlepas ada aktor utama yang bermain, PMII dan organ-organ pro demokrasi lainnya tidak tahu harus berbuat apa.
 
Ketiga, pilihan dua paradigma di atas tidak didorong oleh setrategi sehingga paradigma dianggap sebagai suatu yang baku. Mestinya ketika medan pertempuran telah berganti, maka strategipun harus berbeda. Sayangnya yang terjadi pada PMII, ketika medan pertempuran melawan otoritarianisme orde baru telah dilewati, PMII masih berpikir normatif dengan mempertahankan nalar paradigma lama.
  
Nalar penyusunan gerakan di Indonesia setelah Tan Malaka lebih bersifat teoritik-akademik (logos), yakni diawali dengan berbagai konsep ideal tentang masyarakat atau negara yang berasal dari barat. Celakanya, konsep-konsep yang dipakai di kalangan akademis kita hampir seluruhnya beraroma liberalisme. Sehingga di tingkat intelektual pun tidak ada kemungkinan untuk meloloskan diri dari arus liberalisme, yang di level politik dan ekonomi maujud dalam neoliberalisme. Dengan kata lain, dalam upaya melawan neoliberalisme, banyak gerakan terperangkap di langkah pertama yakni tersedot oleh konsep-konsep liberalisme. Demokrasi, HAM, civil society, sipil vs militer, federalisme dll. difahami sebagai agenda substansial. Padahal dalam lapangan politik dan ekonomi, kesemuanya tadi nyaris menjadi mainan negara-negara neoliberal. Maka boleh dikata, semenjak dari pikiran gerakan semacam itu memang tidak akan pernah berhasil.
 
Dengan kata lain persoalan sulitnya membangun paradigma berbasis kenyataan di PMII itu pararel dengan kesulitan membuat agenda nasional yang berangkat dari kenyataan Indonesia. Konsekuensi yang harus diambil dari penyusunan paradigma semacam itu adalah, untuk sementara waktu organisasi akan tersisih dari pergaulan gerakan mainstream. Gerakan harus mampu berkayuh di antara gelombang panjang dan gelombang pendek, agar gelombang panjang tetap terkejar dan gelombang pendek tidak cukup kuat untuk menghancurkan biduk kita yang rapuh. Bagaimanapun untuk membangun gerakan kita harus mendahulukan realitas ketimbang logos.