Ketua Umum PC PMII Bandar Lampung
Indonesia merupakan salah satu negara
yang memperihatkan gerakan mahasiswa memiliki peran penting bagi perubahan
politik di samping Venezuela, kuba, China, dan Vietnam (Habermas, 1971).
Gerakan mahasiswa dari tahun 1966 sampai1998, hanya dua gerakan yang dinilai
berhasil menumbangkan rezim pemerintahan,
yakni pada tahu 1966 dan 1998 dengan sejumlah perbedaan. Kondisi
masyarakat pada tahun 1966 terpecah secara diametral. Sedangkan gerakan
mahasiswa tahun 1998, tidak didasari pandangan ideologis sehingga tidak terjadi
polarisasi yag ekstrem. Gerakan 1998 lebih bersifat pragmatis dan tidak
memiliki paradigma gerakan yang sama kecuali meginginkan menjatuhkan Soeharto
dan Orde Baru sebagai rezim yang dinilai refresif.
Mahasiswa sabagai agen perubahan sosial
memiliki kesempatan mengaktuaklisasikan diri melalui kegiatan politik seperti
demonstrasi, deklarasi, dan mendatangi tempat-tempat yang disimbolisasikan
sebagai pusat-pusat kekuasaan. Namun peran ini umumnya sangat terbatas. Bahkan
peran ini dapat di ambil alih oleh elite politik yang memang memiliki resources untuk melakukan penetrasi
perubahan. Sementara mahasiswa, hanya demonstrasi di jaan-jalan, mendatangi
lembaga-lembaga yang memang mensimbolisasikan kekuasaan dan kepentingan
tertentu. Setelah itu mereka dipaksa keluar dari tempat yang mereka datangi
atau yang telah mereka duduki. Walaupun
tampaknya mereka puas dengan apa yang mereka capai karena memberikan tekanan
terhadap pemerintah yang mereka nilai diktator, secara keseluruhan mereka
terhenti disitu.
Tekanan-tekanan yang muncul dari
demonstrasi mahasiswa terjadi dimana-mana. Seringkali aksi ini berkhir ricuh
dengan aparat keamanan karena mahasiswa memaksakan diri turun ke jalan.
Sementara perspektif aparat keamanan, bahwa setiap aksi demonstrasi turun ke
jalan, dapat menimbulkan gangguan ketertiban dan keamanan dan berpotensi
menimbulkan kerusuhan dan dimanfaatkan fihak ketiga. Jalinan kejadian dan
pristiwa satu dengan pristiwa yang lain membawa situasi krisis yang sangat
kompleks.
Gerakan
mahasiswa merupakan fron terdepan yang mambawa masuk kepentingan-kepentingan
lain. Termasuk menyeret kelompok kriminal dan penjarah (Ibrahim, 2006). Arendt (1972) mengatakan bahwa, ketika ada struktur
kekuasaan yang bertentangan dengan perkembangan ekonomi, akan ada kekuatan
politik yang dengan hal itu, kerusahan muncul. Artinya, selalu terdapat
skenario untuk menciptakan kerusuhan sebagai manifestasi perlawanan terhadap
struktur kekuasaan dengan cara mendiskreditkan rezim melalui tindakan anarkis,
kriminal, dan penjarahan. Dalam
praktik-praktik kerusuhan, retorika dan kekerasan sebagai teknik untuk
menjungkirbalikkan kekuasaan sekaligus.
Proses demokratisasi dapat dipicu oleh sejumlah faktor. Faktor ekonomi tidak dapat dan tidakcukup memadai untuk menjelaskan proses tersebut secara utuh. Namun, memang harus diakui bahwa stagnasi dan kemerosotan di bidang ekonomi, menimbulkan krisis mutidimensi.
Sebagai drama perjuangan, keruntuhan pemerintahan otoriter yang berlangsung secara damai, memuncukan euforia kemenangan. Kegembiraan yang luar biasa tampak secara ekspresif karena mereka telah merasa menang dalam perjuangan yang panjang dan luar biasa. Bersamaan dengan itu, kejatuhan pemerintahan otoriter membawa konsekuensi bagi aktor-aktor lama yang berkuasa dihadapkan pada proses pengadilan. Penggugatan terhadap harta kekayaan dan mempermasalahkan sejumlah yayasan yang pernah dikelola.
Burke (1969) mengatakan bahwa,
aktor-aktor dipersatukan oleh hasrat yang besar untuk menjatuhkan rezim atau
pemimpin rezim tersebut. Namun setelah terwujud, timbul perselisihan diantara
mereka mengenai distribusi kekuasaan dan sifat rezim baru yang akan diwujudkan.
Memang awalnya gerakan ini dapat mamaksa Presiden Soeharto berhenti dari
jabatannya, menghentikan komposisi dan kinerja kabinet pembangunan VII. Namun
pada perkembangan berikutnya, banyak aktor lama masih berperan dengan
aktor-aktor pembaru di dalam perubahan tersebut. Penyebab jatuhnya pemerintahan otoriter
tidak sama dan bahkan bebeda sama sekali dengan faktor pencipta demokratisasi.
Pada tingkatan paling sederhana,
demokratisasi mensyaratkan tiga hal, yakni berakhirnya sistem otoriter,
dibangunnya pemerintahan demokratis dan pengkonsolidasian sistem demokrasi
(Huntington, 1995). Namun sesungguhnya
di dalam proses itu selalu terdapat tautologi. Ketika aktor-aktor politik
menggulingkan pemerintahan otoriter, ada pertanyaan bagi mereka : mengapa
mereka melakukan penggulingan? Jawabannya karena mereka mempunyai kepentingan,
nilai, dan tujuan. Mereka menggulingkan pemerintah otoriter, karena mereka
bertindak, didorong padda persepsi tentang kepentingan, nilai dan tujuan
mereka. Ini berarti demokrasi dapat diciptakan, sekalipun rakyat tidak
menghendakinya.
Sehingga gerakan penjatuhan Soeharto dan rezim Orde Baru, penulis menilai belum bisa menciptakan reformasi yang sesungguhnya, bahkan gerakan itu lebih kental dengan alih kekuasaan kepada aktor oposisi, karena perbaikan di lini sektor terlebih perbaikan ekonomi rakyat yang menjadi cita-cita reformasi belum dirasakan oleh seluruh rakyat.
0 komentar:
Posting Komentar