KH. M. Hasyim Asy’ari |
KH. M. Hasyim
Asy’ari merupakan keturunan kesepuluh dari Prabu Brawijaya VI keturunan
kedelapan dari jaka tingkir (raja kesutanan pajang). Mula-mula beliau
belajar agama dibawah bimbingan ayahnya sendiri. Otaknya yang cerdas
menyebabkan ia lebih mudah menguasai ilmu-ilmu pengetahuan agama,
misalnya: Ilmu Tauhid, Fiqih, Tafsir, Hadits dan Bahasa Arab. Karena
kecerdasannya itu, sehingga pada umur 13 tahun ia sudah diberi izin oleh
ayahnya untuk mengajar para santri yang usianya jauh lebih tua dari
dirinya.
Mula-mula Kiai
Hasyim menimba ilmu di Pesantren Wonokoyo Probolinggo. Kemudian
mendalami ilmu agama ke Pesantren Langitan, Tuban. Dan setelahnya
nyantri ke Pesantren Trenggilis, Semarang. Kemudian nyantri lagi di
Demangan, Bangkalan di Pulau Garam (Madura) di bawah asuhan Kiai Cholil.
Dan mendalami ilmu agama lagi demi memuaskan jiwanya yang haus akan
ilmu pengetahuan di Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo) yang di asuh
Kiai Ya’qub inilah, Kiai Hasyim semacam benar-benar menemukan sumber
Islam yang diinginkan. Kiai Ya’qub dikenal sebagian ulama’ berpandangan
luas cukup alim dalam beragama, cukup lama Kiai Hasyim menimba ilmu di
Pesantren Siwalan, dalam kurun waktu sekitar 5 tahun Kiai Hasyim menimba
ilmu di Pesantren Siwalan.
Kemauan yang keras
untuk mendalami ilmu agama, menjadikan diri Muhammad Hasyim sebagai
musafir pencari ilmu. Selama bertahun-tahun berkelana dari pondok satu
ke pondok yang lain. Pada tahun 1892 KH. Hasyim Asy’ari pergi menimba
ilmu ke Mekah, bahkan beliau bermukim di Makkah selama bertahun-tahun
dan berguru kepada ulama-ulama Makkah yang termasyhur pada saat itu,
seperti: Syekh Muhammad Khatib Minangkabau, Syekh Nawawi Banten dan
Syekh Mahfudz At Tarmisi, Syekh Ahmad Amin Al-Aththar, Syekh Ibrahim
Arab, Syekh Said Yamani, Syekh Rahmatullah, Syekh Sholeh Bafadlal,
Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As-Saqqaf, dan Sayyid Husein
Al-Habsyi. Muhammad Hasyim adalah murid kesayangan Syekh Mahfudz,
sehingga beliau juga dikenal sebagai ahli hadits dan memperoleh ijazah
sebagai pengajar Shahih Bukhari. Dalam perjalanan pulang ke tanah air,
ia singgah di Johor, Malaysia dan mengajar di sana. Pulang ke Indonesia
tahun 1899, Kiai Hasyim Asy'ari mendirikan pesantren di Tebuireng,
Jombang.
Kemampuannya dalam
ilmu hadits, diwarisi dari gurunya, Syekh Mahfudh at-Tarmisi di Mekkah.
Selama 7 tahun Hasyim berguru kepada Syekh ternama asal Pacitan, Jawa
Timur itu. Disamping Syekh Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu kepada
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau. Kepada dua guru besar itu pulalah
Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH Hasyim
Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru. Dalam hal tarekat,
Hasyim tidak menganggap bahwa semua bentuk praktek keagamaan waktu itu
salah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya, ia berpesan agar
ummat Islam berhati-hati bila memasuki kehidupan tarekat.
Pada tahun 1926
bersama K.H. Abdul Wahab Hasbullah dan sejumlah ulama lainnya di Jawa
Timur, Kyai Hasyim memprakarsai lahirnya Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU).
Sejak awal berdirinya, Kyai Hasym dipercayakan memimpin organisasi itu
sebagai Rois Akbar. Jabatan ini dipegangnya dalam beberapa periode
kepengurusan.
Setelah
NU berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat. Terbukti, pada l937
ketika beberapa ormas Islam membentuk badan federasi partai dan
perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal dengan sebuta MIAI (Majelis
Islam A’la Indonesia) Kiai Hasyim diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah
memimpin Masyumi, partai politik Islam terbesar yang pernah ada di
Indonesia.
KH. M.
Hasyim Asy’ari adalah seorang ulama yang luar biasa. Hampir seluruh kiai
di Jawa mempersembahkan gelar “Hadratus Syekh” yang artinya “Maha Guru”
kepadanya, karena beliau adalah seorang ulama yang secara gigih dan
tegas mempertahankan ajaran-ajaran madzhab. Dalam hal madzhab, beliau
memandang sebagai masalah yang prinsip, guna memahami maksud sebenarnya
dari Al Quran dan Hadits. Sebab tanpa mempelajari pendapat ulama-ulama
besar khususnya Imam Empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali, maka
hanya akan menghasilkan pemutar balikan pengertian dari ajaran Islam itu
sendiri. Penegasan ini disampaikan beliau dihadapan para ulama peserta
Muktamar NU III, September 1932 dan penegasan itu kemudian dikenal
sebagai “Muqaddimah Qonun Asasi Nahdlatul Ulama”.
Dalam rangka
mengabdikan diri untuk kepentingan umat, maka KH. M. Hasyim Asy’ari
mendirikan pesantren Tebuireng, Jombang pada tahun 1899 M. Pengabdian
Kiai Hasyim bukan saja terbatas pada dunia pesantren, melainkan juga
pada bangsa dan negara. Sumbangan beliau dalam membangkitkan semangat
nasionalisme dan patriotisme pada saat jiwa bangsa sedang terbelenggu
penjajah, tidaklah bisa diukur dengan angka dan harta. Memang cukup
sulit mengelompokkan mana yang pengabdian terhadap agama, dan yang mana
pula pengabdian beliau terhadap bangsa dan negara. Sebab ternyata kedua
unsur itu saling memadu dalam diri Kiai Hasyim. Di satu pihak beliau
sebagai pencetak ribuan ulama atau kiai di seluruh Jawa, di lain pihak
belaiu seringkali ditemui tokoh-tokoh pejuang nasional seperti Bung Tomo
maupun Jenderal Soedirman guna mendapatkan saran dan bimbingan dalam
rangka perjuangan mengusir penjajah.
Diceritakan oleh H.
Abu Bakar Atjeh dalam Sejarah Hidup KH Abdul Wahid Hasyim bahwa pada
tahun 1937 datang seorang amtenar tinggi penguasa Belanda menjumpai Kyai
Hasyim untuk menyampaikan tanda kehormatan pemerintah Belanda kepadanya
berupa bintang emas. Dengan tegas Kyai HAsyim menolak pemberian itu
karena khawatir keikhlasan hatinya beramal akan ternoda oleh hal-hal
yang bersifat materiil. Tidak mudah meluluhkan cita-cita Kyai Hasyim
sebab ia adalah Ulama yang berpendirian teguh, pantang mundur.
Pada masa revolusi
fisik melawan penjajah Belanda tersebut, KH Hayim Asy’ari dikenal karena
ketegasannya terhadap penjajah dan seruan Jihadnya yang menggelorakan
para santri dan masyarakat Islam. Beliau mengajak mereka untuk berjihad
melawan penjajah dan menolak bekerja sama dengan penjajah.
Demikian pula halnya
di masa pemerintahan Jepang. Pada tahun 1942, tatkala penguasa Jepang
menduduki Jombang, KH Hasyim ditangkap dan dimasukkan kedalam tahanan.
Lalu diasingkan ke Mojokerto untuk ditawan bersama-sama sengan
serdadu-serdadu sekutu. Berbulan-bulan ia mendekam dalam penjara tanpa
mengetahui kesalahan apa yang dituduhkan atas dirinya.
Pada tanggal 7
Ramadlan 1366 bertepatan dengan tanggal 25 Juli 1947, KH.M. Hasyim
Asy’ari berpulang ke Rahmatullah. Atas jasa beliau, pemerintah Indonesia
menganugerahi gelar “Pahlawan Nasional” (SK Presiden RI No.294 Tahun
1964, tgl 17 Nop 1964).
0 komentar:
Posting Komentar