Agama
Islam yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW diperuntukkan bagi seluruh
umat manusia pada umumnya. Oleh sebab itu, Islam dikenal sebagai agama
yang bersifat universal. Sebagaimana firman Allah SWT di dalam Al Qur’an : “Wamaa arsalnaka illa rohmatan lil ‘alamin” Yang artinya :” Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (Q.S. Al Anbiya’ : 107).
Dalam
konteks Islam rahmatan lil'alamin , Islam telah mengatur tata hubungan
menyangkut aspek teologis, ritual, sosial, dan humanitas. Dalam segi
teologis, Islam memberi rumusan tegas yang harus diyakini oleh setiap
pemeluknya. Namun, hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk memaksa
non-Muslim memeluk Islam (la ikraha fi al-din). Begitu halnya dalam
tataran ritual yang memang sudah ditentukan operasionalnya dalam Alquran
dan hadis. Namun, dalam konteks sosial, Islam sesungguhnya hanya
berbicara mengenai ketentuan-ketentuan dasar atau pilar-pilarnya saja,
yang penerjemahan operasionalnya secara detail dan komprehensif
tergantung pada kesepakatan dan pemahaman masing-masing komunitas, yang
tentu memiliki keunikan berdasarkan keberagaman lokalitas nilai dan
sejarah yang dimilikinya.
Entitas
Islam sebagai rahmat lil'alamin mengakui eksistensi pluralitas karena
Islam memandang pluralitas sebagai sunnatullah, yaitu fungsi pengujian
Allah pads manusia, fakta sosial, dan rekayasa sosial (social
engineering) kemajuan umat manusia.
Agama
Islam yang mengandung ajaran yang sempurna untuk dijadikan pedoman
hidup manusia untuk menggapai keselamatan, kedamaian, kemakmuran,
kesejahteraan baik di dunia maupun di akhirat, itulah misi Nabi Muhammad
mengajarkan Islam kepada umat manusia. Kemakmuran disini bukan hanya
ditujukan kepada manusia semata namun untuk seluruh makhluk yang ada di
alam semesta ini yakni manusia, tumbuh-tumbuhan, binatang, alam dan
lingkungan sekitar, serta semua makhluk ciptaan Allah. Oleh karena itu
untuk mencapai itu semua harus memperhatikan kembali aspek hubungan
antara manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia, serta
hubungan manusia dengan alam. Karena dalam mengarungi kehidupan di dunia
ini sudah pasti terdapat suatu hubungan atau interaksi.
Hubungan Manusia dengan Allah SWT.
Salah
satu dasar hubungan antara manusia dengan Allah SWT adalah suatu
keyakinan manusia itu sendiri terhadap Allah SWT sebagai Robb semesta
alam. Hubungan vertikal antara manusia dengan Allah SWT harus dilandasi
sebuah keimanan bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Tuhan tempat mengadu,
bergantung dan tempat memohon pertolongan. Pada hakikatnya semua
manusia di dunia ini membutuhkan Tuhan untuk ketentraman hati dan
keselamatan jiwa. Sebagai umat Islam dasar keimanan terdapat dalam
Al-Qur’an Surat Al-Ikhlas: “Qul huwallahu ahad, Allahush shomad, Lam yalid walam yuulad walam yakullahu kufuan ahad”.
Yang artinya
: “ Katakan, bahwa Dia-lah Allah Yang Maha Esa. Allah tempat meminta
segala sesuatu. (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan
tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.” (Q.S. Al- Ikhlas : 1-4).
Keyakinan
seseorang kepada Allah akan memberikan ketenangan dalam hidup manusia.
Keyakinan atau keimanan inilah yang akan membawa manusia ke dalam
ketaqwaan. Ketaqwaan manusia dapat mengalami pasang surut, sehingga
ketaqwaan inilah yang harus senantiasa ditingkatkan. Pemaknaan keimanan
itu sendiri adalah meyakini dalam hati, mengikrarkan dengan lisan
(ucapan) dan diamalkan dengan tindakan dan perbuatan, tentunya dengan
melaksanakan semua perintah Allah SWT dan menjauhi semua
larangan-larangan-Nya.
Hubungan Manusia dengan Manusia lainnya.
Manusia
dalam kesehariannya sudah tentu berhubungan dan berinteraksi dengan
manusia lainnya karena manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat
hidup sendiri. Sehingga hubungan antar manusia itu diatur dalam Al
Qur’an dan Hadist agar tercipta keharmonisan, ketentraman dan kedamaian
dalam kehidupannya. Hal ini diatur dalam firman Allah SWT :“Wa’tashimu
bihablillahi jami’awwalaa tafarroqu, wadzkuru ni’matallahi ‘alaikum
idzkuntum a’daa am fa allafa baina quluubikum faashbahtum bini’mati
ikhwanan, ….. “
Yang artinya
: “Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu berceraiberai dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika
kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan
hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara.” ( Q.S.Ali Imron : 103)
Dalam
hidup ini harus senantiasa berpegang teguh pada ajaran-ajaran agama
Islam yang benar. Dan sesama muslim kita senantiasa menghormati
perbedaan yang terjadi. Kita tidak boleh menuduh seseorang sebagai orang
kafir, munafiq, atau mengejek sesama muslim karena perbedaan itu.
Tetapi apabila ada dari saudara kita sesama muslim yang menyimpang dari ajaran Islam kita harus mengajaknya untuk kembali kejalan yang benar (amar ma’ruf nahi mungkar).
Namun
dalam hal aqidah kita harus sama yakni mengakui bahwa hanya Allah-lah
yang patut kita sembah. Sesama muslim harus bersatu dan saling tolong
menolong dalam kebaikan. Dalam pelaksanaan secara teknisnya dalam
bermuamalah terdapat 3 macam yaitu :
Pertama, ukhuwah Islamiyah (persaudaraan
antarumat Islam). Sejarah peradaban Islam diwarnai oleh perbedaan corak
pandang keberagamaan, baik domain teologi, hukum, maupun spiritualitas.
Kedua, ukhwah wathaniyah
(persaudaraan antarbangsa). Kerja sama antarbangsa mesti dijalin sebaik
mungkin dalam rangka menuju perdamaian dan kesejahteraan dunia.
Hubungan bangsa-bangsa ini tanpa membedakan latar belakang agama bangsa
tersebut. Demarkasi kultural, teologis, dan struktural, pada wilayah ini musti didialogkan dan diupayakan pola relasi saling menguntungkan satu dan lainnya.
Ketiga, ukhuwah basyariyah
atau insaniyah (persaudaraan antarmanusia). Persaudaraan antar sesama
manusia yakni kita senantiasa berlaku baik pada setiap manusia karena
derajat kita sama dihadapan Allah kecuali iman dan taqwa yang
membedakannya. Islam menganggap bahwa seluruh umat manusia, tanpa harus
membedakan suku, ras, warna kulit, bahkan agama, adalah saudara yang
harus dilindungi dan saling melindungi. Islam mengharamkan penganiayaan
terhadap orang lain di luar Islam dan meniscayakan hormat-menghormati
dan sifat toleransi.
Ketiga
macam ukhuwah ini harus diwujudkan secara berimbang menurut porsinya
masing-masing. Satu dengan lainnya tidak boleh dipertentangkan. Melalui
tiga dimensi ukhuwah inilah, Islam rahmatan lil 'alamin (pemberi rahmat
alam semesta) akan terealisasi. Sebab, ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah
wathaniyah merupakan landasan dan hal yang fundamental bagi terwujudnya
ukhuwah insaniyah . Oleh karena itu, baik sebagai umat Islam maupun
bangsa Indonesia, kita harus memerhatikan ukhuwah Islamiyah, ukhuwah
insaniyah , dan ukhuwah wathaniyah secara serius, saksama, dan penuh
kejernihan. Dalam hidup bertetangga dengan orang lain, bukan famili,
bahkan non-Muslim atau non-Indonesia, kita diwajibkan berukhuwah dan
memuliakan mereka dalam arti kerja sama yang baik selama mereka tidak
menginjak dan menyakiti atau mengajak perang.
Hubungan Manusia dengan Alam
Perlakuan manusia terhadap alam tersebut dimaksudkan untuk memakmurkan kehidupan di dunia dan diarahkan untuk kebaikan akhirat. Di sini berlaku upaya berkelanjutan untuk mentransendensikan segala aspek kehidupan manusia. Sebab akhirat adalah masa depan eskatologis yang tak terelakkan. Kehidupan akhirat dicapai dengan sukses kalau kehidupan manusia benar-benar
fungsional dan beramal shaleh (al-Baqarah, 62; al-A’ashr).
Kearah semua itulah hubungan manusia dengan alam ditujukan. Dengan sendirinya cara-cara memanfaatkan alam, memakmurkan bumi dan menyelenggara-kan kehidupan pada umumnya juga harus bersesuaian dengan tujuan yang terdapat dalam hubungan antara manusia dengan alam tersebut. Cara-cara itu dilakukan untuk mencukupi kebutuhan dasar dalam kehidupan bersama. Melalui pandangan ini haruslah dijamin kebutuhan manusia terhadap pekerjaan, nafkah dan masa depan, maka jelaslah hubungan manusia dengan alam merupakan hubungan pemanfaatan alam untuk kemakmuran bersama (al Mu’minun, 17-22; al-Hajj,65). Hidup bersama antar manusia berarti hidup antar kerjasama, tolong menolong dan tenggang rasa (Abasa, 17-32; an-Naazi’aat, 27-33).
0 komentar:
Posting Komentar