Agama
dan budaya merupakan dua unsur penting dalam masyarakat yang saling
mempengaruhi. Ketika ajaran agama masuk dalam sebuah komunitas yang
berbudaya, akan terjadi tarik menarik antara kepentingan agama di satu
sisi dengan kepentingan budaya di sisi lain. Demikian juga halnya dengan
agama Islam yang diturunkan di tengah-tengah masyarakat Arab yang
memiliki adat-istiadat dan tradisi secara turun-temurun. Mau tidak mau
dakwah Islam yang dilakukan Rasulullah harus selalu mempertimbangkan segi-segi budaya masyarakat Arab waktu itu. Bahkan, sebagian ayat al-Qur’an turun melalui tahapan penyesuaian budaya setempat.
Proses adaptasi antara ajaran Islam (wahyu) dengan kondisi masyarakat dapat dilihat dengan banyaknya ayat yang memiliki asbâb al-nuzûl. Asbâb al-nuzûl
merupakan penjelasan tentang sebab atau kausalitas sebuah ajaran yang
diintegrasikan dan ditetapkan berlakunya dalam lingkungan sosial
masyarakat. Asbâb al-nuzûl juga merupakan bukti adanya negosiasi antara teks Al-Qur’an dengan konteks masyarakat sebagai sasaran atau tujuan wahyu.
Hubungan
antara agama dengan kebudayaan merupakan sesuatu yang ambivalen. Agama
(Islam) dan budaya mempunyai independensi masing-masing, tetapi keduanya
memiliki wilayah yang tumpang-tindih. Di sisi lain, kenyataan tersebut
tidak menghalangi kemungkinan manifestasi kehidupan beragama dalam
bentuk budaya.
Pada
perkembangan selanjutnya terdapat perbedaan pendapat di kalangan umat
Islam tentang hasil dari proses dialog tersebut. Sebagian berpendapat
rumusan ketetapan dianggap sebagai ajaran final yang harus diterapkan di
semua lapisan ummat Islam, sedangkan pendapat lain mengemukakan bahwa
yang final bukanlah hasil dari proses dialog, tetapi nilai dasar yang
ingin disampaikan dari ayat yang bersangkutan. Sehingga sangat mungkin
terjadi perbedaan aplikasi dari ketentuan yang sudah ada. Hal ini karena
masing-masing umat Islam
memiliki budaya yang berbeda, hasil akhirnya ditentukan oleh
kreatifitas masyarakat dalam mendialogkan kebudayaan mereka dengan
ajaran agama yang diyakininya
Di
sisi lain terdapat pendapat bahwa Islam tidak identik dengan Arab,
sehingga tidak semua yang berbau Arab adalah Islam. Harus dibedakan
antara Islam sebagai agama dan Arab sebagai budaya. Di sinilah perlunya
memilah antara mana yang merupakan ajaran dasar Islam dan mana yang
telah berakulturasi dengan budaya Arab. Islam adalah agama universal
sehingga ajarannya harus bisa diterapkan di manapun dan pada waktu kapan
pun.
Atas
dasar inilah, pemikiran akulturasi Islam dengan budaya lokal dan relasi
ajaran agama (Islam) dengan nilai-nilai lokal muncul termasuk di
Indonesia. Allah
SWT menciptakan manusia dalam kemajemukan yang terdiri atas suku,
bangsa dan tersebar di berbagai tempat. Kemajemukan tersebut melahirkan
adat dan tradisi yang sangat beragam. Namun demikian manusia dibekali
software yang tidak diberikan kepada makhluk lain, yaitu akal. Dengan
akal inilah manusia menjadi makhluk yang sangat terhormat dan diharapkan
bisa menjadi khalifah di muka bumi serta mampu menciptakan
kreasi-kreasi baru yang membawa kemaslahatan bagi sesama. Dengan
kesempurnaan yang dimilikinya, Allah SWT ‘menaruh harapan’ bahwa mereka
mampu melakukan yang terbaik di muka bumi. Semua itu sebagai amanah
Allah SWT yang harus kita manifestasikan untuk meningkatkan ketakwaan
kepada Allah Yang Maha Esa.
Masyarakat
Indonesia memiliki beragam adat dan tradisi yang berbeda dengan
negara-negara lain, bahkan dari satu daerah ke daerah yang lain.
Beragamnya agama, bahasa dan budaya adalah keniscayaan dalam konteks
keindonesiaan. Ketika
masuk ke Indonesia lewat Walisongo, Islam begitu ramah menyapa umat.
Tidak ada tindakan anarkis dan frontal melawan tradisi. Kelihaian
Walisongo mengakomodasi budaya setempat ke dalam ajaran-ajaran Islam,
menampakkan hasil yang luar biasa. Para masyarakat yang sebelumnya
menjadi penganut kuat ajaran dinamisme dan animisme, pelan-pelan
berbondong-bondong menghadiri majelis-majelis yang diselenggarakan
Walisongo. Mereka hadir bukan karena dipaksa, tapi karena sadar bahwa
ajaran Islam sangat simpatik dan ‘patut’ diikuti.
Itu
hasil kreasi yang patut diapresiasi. Islam adalah agama yang mampu
berakumulasi, bahkan hampir bisa dikatakan tak pernah bermasalah dengan
budaya setempat. Bahkan budaya bisa didesain ulang atau dimodifikasi
dengan tampilan yang elegan menurut syara’ dan lebih berdayaguna demi
meningkatkan kasejahteraan hidup. Dengan demikian, kehadiran Islam di
tengah masyarakat, dimanapun dan sampai kapanpun, akan selalu menjadi rahmatan lil alamin. Adat atau tradisi yang dimaksud di sini adalah adat yang tumbuh dan berkembang disuatu komunitas dan hal itu –secara prinsip- tidak terdapat dalam ritual syariah Islam, baik pada masa Rasulullah SAW. Adat
atau tradisi semacam ini adalah sah-sah saja dan tak masalah. Tentunya
dengan catatan, adat atau tradisi tersebut tidak bertentangan dengan
nilai-nilai luhur Islam, mempunyai tujuan mulia dan disertai niat ibadah
karena Allah SWT. Dalam Kaidah fikih dikatakan, “al-Adah Muhakkamah ma lam yukhalif al-Syar'” (Tradisi itu diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan dasar-dasar syariah).
Sahabat Abdullah bin Abbas mengatakan: “Setiap
sesuatu yang umat Islam menganggap baik, maka menurut Allah baik juga,
dan yang mereka anggap buruk, maka buruk juga manurut Allah” (Diriwayatkan Al-Hakim). Ia juga berpesan: “Sesungguhnya
Allah melihat hati hambanya, selalu ditemukan hati Muhammad SAW,
sebaik-baiknya hati hambanya, lalu memilihnya untuk-Nya, dan
mengutusnya. Lalu melihat hati hambanya selain Muhammad, dan ditemukan
beberapa hati sahabatnya, lalu menjadikannya menteri bagi nadi-Nya.
Setiap suatu yang umat Islam menganggap baik, maka menurut Allah baik
juga, dan yang mereka anggap buruk, maka buruk juga menurut Allah” (Diriwayatkan oleh Ahmad)
Dalam Hasiyah as-Sanady disebutkan, “Bahwa
sesungguhnya sesuatu yang mubah (tidak ada perintah dan tidak ada
larangan) bisa menjadi amal ibadah selama disertai niat baik. Pelakunya
mendapatkan imbalan pahala atas amal tersebut sebagaimana pahalanya
orang-orang yang beribadah”. (Hasiyah as-Sanady, Jilid 4, hal.368).
Imam
Syafi’i memberikan batasan ideal tentang adat atau tradisi ini,
menurutnya, selama adat atau tradisi itu tidak bertentangan dengan
dasar-dasar syariat, itu hal terpuji. Artinya, agama memperbolehkannya.
Sebaliknya, jika adat atau tradisi tersebut bertentangan dengan
dasar-dasar syariat, hal itu dilarang dalam Islam. Menurut Imam Syafi’i yang dinukil oleh Baihaqi dalam kitabnya Manakip As Syafi’i lil Baihaqi:
Hal baru (bid’ah) terbagi menjadi 2 (dua) macam. Adakalanya hal baru
itu bertentangan dengan Al-Qur'an, as-Sunnah, al-Atsar, atau ijma Ulama.
Itulah bid’ah yang tercela. Sedangkan hal baru yang tidak bertentangan
dengan dasar-dasar agama tersebut adalah bid’ah yang terpuji. (Fathul Bari, karya Ibn Hajar, jilid 20, hal:330).
Dengan
cara mengisi seluruh elemen budaya dam kehidupan dengan nilai-nilai
Islam tanpa harus mengilangkan dan merubah budaya tersebut, menyebabkan
Islam bisa diterima dengan mudah oleh masyarakat. Implikasi logis dari
model dakwah tersebut, yakni terjadinya akulturasi Islam dengan budaya
lokal. Selain karena proses akulturasi budaya akomodatif tersebut,
menurut Ibnu Kholdun, juga karena kondisi geografis seperti kesuburan
dan iklim atau cuaca yang sejuk dan nyaman yang berpengaruh juga
terhadap perilaku penduduknya.
Islam
sebagai entitas yang hidup dan dinamis, ia terus berkembang, baik
karena perjalanan usianya maupun karena persentuhannya dengan berbagai
budaya dan tradisi. Islam harus didefinisikan berdasarkan suara umat
Islam itu sendiri sesuai dengan konteks budayanya masing-masing.
Dialektika yang dinamis selalu terjadi antara Islam dalam kategori
universal-normatif dengan lokalitas-historis di mana dia hidup.
Corak
keberislaman di Indonesia yang masih mewarisi produk Islamisasi para
pendakwah di masa lampau yang dilakukan para ‘wali’ itu masih terus
dilestarikan sebagai ekspresi ke-Islam-an di satu sisi dan ekspresi
lokalitas di sisi yang lain.
Pada dasarnya Islam merupakan agama yang bersikap akomodatif, selektif, dan proporsional dalam merespons tradisi lokal.
Akomodatif yang dimaksud adalah bahwa Islam dibenarkan menerima tradisi
lokal, namun ia juga selektif dalam arti bahwa tidak semua tradisi
lokal diakomodasi, tetapi tradisi lokal yang ‘baik’ saja (al-qadîm
al-shâlih) yang mungkin diterima. Sementara penerimaannya pun harus
proporsional.
Sikap
akomodatif ini pula yang telah mengantarkan umat Islam sebagai
komunitas terbesar di Indonesia. Tanpa sikap akomodatif seperti ini
gesekan dan benturan dalam interaksi sosial di Indonesia akan terasakan
begitu kuat. Sikap kontradiktif terhadap budaya lokal akan bertentangan
dengan watak sosiologis dan geografis yang lebih memberikan peluang dan
potensi besar terhadap terbentuknya sikap yang akomodatif. Semoga Islam di Indonesia akan tetap berkembang selama masih membawakan kesejukan bagi kehidupan masyarakatnya(*).
Wallahul Muwafiq Ilaa Aqwamit Thariq
0 komentar:
Posting Komentar