Oleh : Juwono S
Setiap akhir tahun berbagai kalangan di dunia
menerbitkan survei kemajuan demokrasi di beberapa negara maju maupun
negara berkembang.
Masing-masing survei membuat kajian berdasarkan selera ukuran dan
indikator masing-masing.Ada yang mengedepankan “keterbukaan politik”
seperti kemerdekaan pers, kebebasan berserikat, penghormatan pada
golongan minoritas (suku, agama, dan ras). Ada juga yang mendasarkan
pada besaran “golongan menengah” masingmasing negara. Survei bisnis dan
ekonomi umumnya mengacu pada kemampuan pengelolaan utang publik maupun
utang swasta serta kemampuan pengendalian fiskal negara.
Indonesia telah lama disebut sebagai “negara demokrasi terbesar ketiga”,
setelah India dan Amerika Serikat, sedikitnya menurut hasil Bali
Democracy Forum yang diselenggarakan 9-10 Desember 2010.Namun,beberapa
kalangan mempertanyakan tolok ukur yang dipakai untuk pemeringkatan
seperti itu.
Terutama kalangan aktivis yang menekankan
pentingnya demokrasi ekonomi,sosial,dan budaya sebagai sandaran matra
demokrasi dalam arti luas. Karena tolok ukur yang berbeda, muncul
berbagai interpretasi tentang makna keberhasilan demokrasi di
negara-negara seperti India, China,Brasil,dan Indonesia.
Kalau
ditinjau dari tolok ukur hak asasi manusia (HAM) dalam lima matra yang
utuh (kebebasan sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya), tidak ada
negara maju maupun berkembang yang sempurna menjalankan demokrasi. Di
India dan China, misalnya, yang masing-masing berpenduduk 1,1 dan 1,3
miliar manusia,hanya 300-350 juta orang yang memenuhi tolok ukur HAM
secara utuh.
Jumlah orang India yang mampu secara ekonomi dan
sosial menikmati “demokrasi ” hanyalah 300 juta yang menduduki “kelas
menengah” India dengan pendapatan per kapita antara USD3.000-6.000 per
tahun. Selebihnya, sekitar 700 juta manusia, belum terjangkau hak
ekonomi, sosial, dan budaya.
India pemeringkat pertama
demokrasi dunia kalau diukur hanya dari 2 matra HAM,yaitu kebebasan
sipil dan kebebasan politik.Dari segi hak ekonomi, sosial, dan budaya,
lebih dari 700 orang India terjerat dalam kenistaan yang
menyedihkan.Demokrasi “gaya Westminster” tidak bersendikan keadilan dan
kewajaran sosial, ekonomi, dan budaya.
“Kelas menengah” di
China juga hanya berkisar 300- 350 juta orang yang sudah menikmati
“kenaikan kelas” ekonomi selama 30 tahun kemajuan pesat China sejak
1979. Tetapi, rakyat China yang di pedalaman dan hidup jauh dari
pusat-pusat ekonomi China di sepanjang kota-kota pantai selatan masih
bergelut dengan perusakan lingkungan, penurunan kesehatan,dan kemiskinan
yang amat mencengkam. Mukjizat“Konsensus Beijing” tidak bersendikan
lima matra HAM yang utuh.
Mukjizat Brasil yang kerap dipuja-
puja kalangan media negara maju juga tidak kalah memprihatinkan.
Ketimpangan ekonomi antara kaya dan miskin,antara kota industri dan
hutan di pedalaman, pembunuhan terhadap kaum miskin kota.
Di
sejumlah negara Eropa Barat sekarang sedang dikaji sampai di mana
demokrasi Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia bisa luput dari
menjeratnya utang negara yang dialami Yunani, Spanyol, dan
Irlandia.Pengelolaan uang negara jadi ukuran penting demokrasi yang
sejati karena jaminan sosial ekonomi dari negara terancam beban
pengetatan fiskal.
Di Amerika Serikat (AS), jawara demokrasi
negara paling kaya di dunia,utang negaranya bahkan sudah mencapai 66%
dari pendapat domestik bruto. Dana talangan pemerintah sebesar USD850
miliar lebih dipakai dan dinikmati oleh 13 bank swasta terbesar yang
asetnya mencapai USD10,5 triliun.
AS mungkin demokrasi politik
kedua terbesar di dunia; tetapi AS adalah suatu oligarki
perbankan/keuangan di Wall Street, yang juga menguasai komisi-komisi
ekonomi dan keuangan di DPR dan Senat AS. Reformasi layanan kesehatan
untuk 30 juta orang AS tersendat oleh DPR dan Senat Amerika yang
dikuasai lobi-lobi industri obat dan kesehatan yang amat kuat.
Terlepas dari debat demokrasi politik dan demokrasi ekonomi mancanegara,
bagaimana demokrasi Indonesia? Jika ditinjau dari segi lima matra HAM
secara utuh (sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya), potret demokrasi
Indonesia tidak terlalu jelek, tetapi juga belum terlalu bagus. Dari 237
juta orang Indonesia, hanya sekitar 45- 50 juta “kelas menengah
Indonesia” yang hidup layak dalam arti memiliki hunian layak untuk
manusia, akses pada layanan publik yang memadai, cukup sandang pangan,
serta terjangkau listrik dan air minum.Kelas
menengah Indonesia ini
pendapatannya sekitar USD3.000- 7.500 setahun. Umumnya orang profesional
atau semiprofesional di kota-kota besar (Jakarta,
Surabaya,Medan,Makassar, Semarang,Palembang, dan sebagian kota madya
yang memiliki infrastruktur yang memadai).
Dalam pertemuan
Kabinet Indonesia Bersatu II dan para gubernur se-Indonesia pada April
2010, Presiden SBY menekankan pentingnya kebangkitan kelas menengah
Indonesia untuk ”memajukan kualitas demokrasi Indonesia.” Kelas menengah
Indonesia ini adalah andalan memajukan hak sipil, politik, ekonomi,
sosial, dan budaya secara utuh dan tak terpisahkan. Mereka kini
diandalkan sebagai motor penggerak Indonesia yang lebih adil dan
sejahtera dari Sabang sampai Merauke.
Kelas menengah yang 45-50
juta inilah yang menjadi sasaran bidik industri media massa hiburan,
televisi,dan aneka ragam “talkshow”. Mereka orang-orang mapan yang naik
ke dunia gemerlap “di atas garis kenikmatan”.
Mereka harus
diingatkan untuk memperkuat konsolidasi demokrasi Indonesia ke bawah
dengan mengurangi ketimpangan ekonomi,menutup celah sosial dan budaya
yang masih mencengkam lebih dari separuh penduduk Indonesia, termasuk 57
juta kelompok usia 15-35 tahun yang rentan kerawanan sosial politik.
Kelas menengah Indonesia ini harus menghindar diri dari “perangkap
negara menengah” di mana anggota masyarakat yang telah naik ke kelas
menengah menjadi puas diri dan tidak peduli pada mereka yang masih
tertinggal.
Dan kelas menengah Indonesia harus berlomba untuk
lebih baik daripada kelas menengah India,China,Brasil,bahkan kelas
menengah AS sekalipun. Jika berhasil, barulah kita pantas menyatakan
diri sebagai negara demokrasi yang berkualitas
Sabtu, 05 Januari 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar