Rabu, 04 Juli 2012

‘Quo Vadis’ Demokrasi

M. Iwan Satriawan, S.H, M.H (Dosen Hukum Unila)

Demokrasi berasal dari penggalan kata Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat dan kata kratos atau cratein yang berarti pemerintahan. Dari dua penggalan kata tersebut dapat diartikan kata demokrasi berarti suatu pemerintahan oleh rakyat.
Kata pemerintahan oleh rakyat sendiri sebetulnya memiliki tiga konotasi dasar yaitu, pertama, suatu pemerintahan yang dipilih oleh rakyat. Kedua, suatu pemerintahan oleh rakyat biasa (bukan kaum bangsawan). Ketiga, suatu pemerintahan oleh rakyat kecil dan miskin (government by the poor).
Namun, secara umum demokrasi diartikan oleh para ahli sebagai suatu sistem pemerintahan dalam suatu negara, di mana semua warga negara memiliki hak dan kewajiban yang dijamin kedudukan dan kekuasaannya, baik dalam menjalankan kehidupannya maupun dalam berpartisipasi terhadap kekuasaan negara. Rakyat berhak untuk ikut serta dalam menjalankan negara atau mengawasi jalannya kekuasaan negara, baik secara langsung maupun melalui wakil-wakilnya yang telah dipilih secara jujur dan adil.
Demokrasi di Amerika
Pada abad ke-21 ini, suatu pemerintahan demokrasi seolah-olah menjadi keyword untuk menjadikan rakyat di suatu negara menjadi lebih sejahtera. Salah satu aktor utama penyebarluas semangat demokrasi di seluruh belahan dunia adalah Amerika Serikat yang berjuluk Negeri Paman Sam.
Namun, sejatinya, menurut William R. Nylen dalam bukunya Participatory Democracy versus Elitist Democracy: Lessons from Brazil (2003), demokrasi AS telah menyimpang dari pengertian demokrasi sebagai kekuasaan dari, oleh, dan untuk rakyat. Demokrasi Amerika telah menjadi kendaraan bagi elite untuk mengamankan dan meluaskan kepentingannya, sembari mengasingkan kepentingan mayoritas rakyat Amerika.
Untuk menjelaskan kesimpulannya ini, Nylen meminjam Norberto Bobbio, seorang ilmuwan politik asal Italia, yang menyatakan demokrasi adalah sebuah proses "menjadi", senantiasa bertransformasi, dan menjadikannya sesuatu yang alamiah. "Democracy is dynamic, despotism is static and always essentially the same," tulis Bobbio. Dinamis karena demokrasi pertama-tama dan terutama adalah a conflictual process of inclussionary adaptation both reflecting and spurring on changes in the overall balance of social and political power.
Sebaliknya, ujar Nylen, demokrasi di Amerika kini telah menjadi stagnan dan dalam proses pembusukan, karena apa yang disebut proses inclussionary adaptation itu secara esensial telah berhenti dan bertransformasi menjadi mechanism of exclusion.
Masih menurut Nylen, berhentinya proses inclussionary adaptation tersebut disebabkan dua hal. Pertama, demokrasi AS yang bertumpu pada pilar utamanya, yaitu demokrasi perwakilan (representative democracy) dan perdagangan bebas kapitalisme (free enterprise capitalism), telah menjadi ajang koalisi dan bagi-bagi kekuasaan (sharing of power) di antara para politisi dan pengusaha. Dalam keadaan demikian, proses pemilihan umum tak ubahnya seperti tingkah korporasi yang mengiklankan produk-produk mereka.
Demokrasi di Indonesia?
Seiring dengan bergulirnya reformasi yang ditandai dengan amendemen UUD 1945, dapat kita ketemukan perihal pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Dalam bunyi UUD 1945 Pasal 1 Ayat (2) disebutkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Akan tetapi, pelaksanaan demokrasi tersebut tidak harus secara normatif disebutkan dalam sebuah undang-undang. Dapat juga suatu negara disebut sebagai negara demokrasi yang dicirikan dari lima hal, yakni adanya kedaulatan rakyat, terjaminnya hak asasi manusia (HAM), persamaan di depan hukum, pembatasan kekuasaan secara konstitusional, dan adanya pemilihan umum yang jujur dan adil.
Salah satu ciri dari pelaksanaan demokrasi adalah adanya perlindungan dan penegakan HAM berupa kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengemukakan pendapat sebagaimana teruang dalam bunyi Pasal 28 E UUD 1945.
Namun, fenomena yang terjadi saat ini pelaksanaan demokrasi di Indonesia sudah keluar dari jalurnya. Dengan alasan menjalankan demokrasi, akhir-akhir ini makin marak tindakan-tindakan "tidak dewasa" dari beberapa oknum masyarakat akibat putusan dari lembaga peradilan yang dirasa tidak memenuhi rasa keadilan menurut versi mereka.
Hal ini nampak pada hampir setiap terjadi pemilihan kepala daerah, dapat dipastikan akan banyak permohonan pembatalan hasil perhitungan pemilukada ke Mahkamah Konstitusi akibat adanya indikasi kecurangan oleh lawannya yang menang.
Realitas ini dapat penulis artikan kedewasaan berdemokrasi belum sepenuhnya dapat dilaksanakan oleh seluruh masyarakat. Peserta pemilukada hanya siap menang, tetapi tidak siap kalah. Sehingga, ketika kalah, yang muncul adalah tuduhan curang kepada pemenang. Maka, kondisi demokrasi di Indonesia tidak jauh berbeda dengan Amerika Serikat.
Beda Indonesia-Amerika
Perbedaan yang cukup esensial adalah keberadaan demokrasi di Amerika didahului oleh kesejahteraan rakyat sehingga muncul kedewasaan dalam menghadapai kegagalan dalam proses demokrasi (baca: pemilu). Berbeda dengan Indonesia yang berusaha membangun demokrasi terlebih dulu baru berharap munculnya kesejahteraan.
Fenomena ini muncul tatkala kita kalah dalam pemilu, maka kita akan menuduh lawan bermain curang dan melakukan politik uang. Inilah demokrasi yang saat ini dijalankan di Indonesia. Demokrasi tanpa demos (rakyat) karena semuanya dilakukan untuk kepentingan pribadi sehingga yang muncul adalah egoisme, bukan altruism atau sifat yang lebih mementingkan orang lain. Tidak pernah terbersit dalam pikiran kita bahwa jika dikritik dalam pekerjaan itu sebagai hal yang biasa, kalah dalam persaingan atau pertandingan juga hal yang lumrah.

0 komentar: