Kamis, 26 Juli 2012

INDONESIA WARGA HABITAT GLOBAL

Semenjak zaman Nusantara hingga zaman Negara-Bangsa, perjalanan sejarah Indonesia selalu terkait dengan perkembangan di belahan dunia lain. Hubungan dagang antara penduduk kerajaan-kerajaan di Nusantara telah terjalin sejak abad ke-8 M dengan bangsa Tionghoa, India, Mesir, Persia. Lalu mulai tahun 1511 hubungan dagang tersebut terjalin dengan bangsa Eropa melalui armada Portugis yang dipimpin oleh Alfonso d’Albuquerque. Secara kasat mata pula, itulah hubungan perdagangan asimetris pertama yang terjalin antara kerajaan-kerajaan Nusantara dengan bangsa asing.

Bila ditelisik satu per satu, hampir tidak ada satupun kerajaan Nusantara yang tidak terkait dengan perkembangan bangsa/kerajaan lain di luar Nusantara. Sebagai misal, perjalanan sejarah Samudera Pasai berhubungan dengan konflik politik-ekonomi-teologi antara Dinasti Fatimiah di Mesir yang Syi’ah dan Shalahuddin Al-Ayyubi (Sunni/Syafi’i). Melalui Samudera Pasai, Dinasti Fatimiah menguasai perdagangan lada. Menurut catatan sejarah, hasil yang didapat dari perdagangan lada ketika itu mampu mengalirkan keuntungan yang berlipat bagi dinasti tersebut.

Hingga saat Dinasti Fatimiah berhasil dikalahkan oleh tentara Shalahuddin pada tahun 1168, hubungan Samudera Pasai dengan Mesir terputus. Baru lebih dari satu abad kemudian (1285) Syi’ah di Samudera Pasai berhasil digeser oleh kaum Sunni madzhab Syafi’i yang saat itu berpusat di Mesir. Bahkan Sultan Malikul Saleh (Marah Silu) dilantik sebagai raja oleh Syaikh Ismail, utusan Dinasti Mamluk, dan menjadi raja Samudera Pasai pertama dari aliran Sunni. Keuntungan perdagangan lada dan berbagai jenis rempah-rempah pun mengalir kembali ke Mesir.

Kerajaan lain seperti Sriwijaya, Malaka dan Majapahit juga memiliki kecenderungan serupa. Kerajaan Sriwijaya dikenal sebagai salah satu pusat agama Buddha dan selalu dikunjungi oleh para pendeta yang berziarah ke India. Untuk melindungi diri dari serangan kerajaan Siam, tahun 1403 raja Parameswara (Malaka) meminta pengakuan kedaulatan dari Kaisar Yung-Lo (Tiongkok/Dinasti Ming). Demikian pula Majapahit. Menjelang keruntuhannya, raja Majapahit terakhir Prabu Girindrawardhana (1468-1527) bahkan berupaya untuk mencari dukungan Portugis dalam melawan Demak.

Sejarah pembentukan negara-bangsa (nation-state) Indonesia bahkan lebih jelas lagi dalam menunjukkan pengaruh gejolak di belahan dunia lain terhadap Indonesia. Kedatangan Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris ke bagian-bagian Nusantara merupakan buah dari persaingan dagang dan politik antar negeri-negeri Eropa tersebut. Salah satunya adalah persaingan dagang antara Portugis dan Spanyol yang melahirkan perjanjian Tordessilas yang membelah dunia menjadi dua bagian dengan Eropa sebagai titik tengahnya. Bagian timur ‘dimiliki’ oleh Portugis dan sebelah barat ‘diserahkan’ kepada Spanyol.

Politik etis yang banyak melahirkan intelektual-nasionalis generasi pertama Indonesia juga merupakan gelombang kesekian dari dinamika politik dan ekonomi Belanda-Eropa. Termasuk Nasionalisme dan konsep negara-bangsa (nation-state), merupakan sublimasi teoritik-konseptual yang lahir dari pergulatan sosio politik dan sosio ekonomi bangsa-bangsa di Eropa. Nasionalisme dikenal pertama kali sebagai teori melalui catatan kuliah umum yang disampaikan oleh Ernest Renan di Universitas Sorbonne Paris tahun 1882. Karya itu berjudul “Qu’est-ce qu’un nation?” (What is Nation?) yang berakar jauh dalam sejarah sosial dan ekonomi Revolusi Perancis 1678.

Proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945 terjadi di moment anti-klimaks Perang Dunia II, tepat ketika Negara-negara Sekutu berhasil menundukkan negara-negara Axis. Dengan cerdik (dan berani) aktivis pergerakan nasional mencuri moment untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Keawasan mengamati gerak internasional, kecerdikan dan keberanian semacam itu ternyata belum muncul kembali hingga dekade pertama abad XXI ini. Padahal dalam periode-periode tersebut hingga saat ini, Indonesia tetap dipengaruhi oleh perkembangan di balahan dunia lain dan oleh kenyataan global. Siapa yang dapat menyangkal bahwa politik dan ekonomi Indonesia terpencil dari Perang Dingin sepanjang tahun 1946 s.d. 1990? Dan siapa dapat membuktikan bahwa ekonomi dan politik Indonesia terpisah dari gerak Sistem Dunia neoliberal pasca Perang Dingin?.


Potret sejarah ringkas di atas menunjukkan bahwa Indonesia tidak dapat dibaca tanpa mempertimbangkan dan menghitung alur gerak internasional. Bahkan dalam konteks gerakan, menghitung gerak internasional menjadi pra-syarat wajib dalam merumuskan gerakan di Indonesia. Ada pendapat bahwa pembacaan gerak internasional dirasa muluk-muluk dan terkesan tidak sambung dengan keadaan real sehari-hari orang per orang. Namun faktanya, negara-bangsa Indonesia merupakan bagian kenyataan global. Sehingga dalam konteks membangun gerakan, membaca kenyataan global dan posisi Indonesia di dalamnya mau tidak mau harus dilakukan.

Sumber : Buku Pengkaderan, 2006

0 komentar: