Kamis, 26 Juli 2012

INDONESIA DI TENGAH PASAR BEBAS

Dalam peradaban baru dunia global, kemajuan teknologi dan informasi menjadi infrastruktur penopang bergeraknya globalisasi dan ekonomi neoliberal. Melalui teknologi informasi, pemegang modal raksasa di sektor keuangan dan industri dengan mudah memindahkan modalnya dari satu negara ke negara yang lain hanya dengan memencet mouse komputer. 
 
Selain teknologi informasi, sistem moneter dan pengetahuan juga dikuasai oleh pemodal raksasa dari/dan negera-negara dunia pertama. Tanpa menutup optimisme, andai kita jujur, Indonesia dalam posisi terkunci dalam gerak kenyataan global. Sebabnya, dalam konsep international division of labour teori world-system, negera-negara dunia pertamalah yang menguasai sistem dunia saat ini sebagai negara-negara pusat (core) – muara aliran surplus ekonomi yang bersumber dari negeri-negeri periphery dan semi-periphery.
Negara-negara pusat memainkan peran setrategis dalam setiap perumusan aturan internasional melalui lembaga-lembaga internasional. Sebagai contoh adalah ISO (International Standard Organization) yang menjadi salah satu aturan internasional dalam perdagangan barang lintas negara. Cara pandang penetapan aturan dalam ISO mengacu pada cara pandang negara dunia pertama, yang jelas berbeda dengan cara pandang negara-negara dunia ketiga. Aturan tersebut banyak merugikan negara-negara dunia ketiga karena cenderung menghadapkan negara dunia ketiga pada hukum besi mekanisme pasar.
 

POLA HISTORIS GLOBALISASI POLITIK

Item
Pra Awal Modern (Abad 14-18)
Modern
(Abad 19-20)
Kontemporer
(1945 - ...)
Ekstensits
Sebagian besar bersifat intra-teritorial dan intra-regional tetapi juga memulai ekspansi imperial.

Emperium global;
Muncul sistem negara bangsa
Sistem negara global;
Muncul tataan politik global;
Regionalisasi politik dan inter-regionalisme
Intensitas
Volumenya rendah, tetapi melonjak ketika para kompetitor politik atau ekonomi bertemu  dan berbenturan
Volumenya meningkat dan terjadi ekspansi hubungan
Terjadi peningkatan drastis pada kesepakatan-kesepakatan internasional, jaringan dan berbagai hubungan formal maupun informal.

Percepatan
Terbatas; Sporadis
Meningkat
Terjadi percepatan pada interaksi politik global seiring dengan kemajuan teknologi komunikasi.
Pengaruh (Negatif)
Sedikit; tetapi terkonsentrasi
Meningkatnya konsekuensi-konsekuensi institusional dan struktural
Tinggi: saling terkait, sensitif dan rentan.
Infrastruktur
Minimal; kerangka kerja amultilateral bergerak sangat lamban, mulai dari traktat hingga konferensi organisasi
Munculnya Organisasi dan rejim-rejim internasional maupun transnasional.
Perubahan besar baik pada ukuran, bentuk, jumlah rejim, organisasi internasional dan transnasinal serta mekanisme hukum.
Komunikasi global “realtime” dan infrastruktur media.

Institusionalisasi
Minimal, tetapi mulai ada diplomasi dan regularisasi jaringan kerja antar negara.
Perkembangan rejim-rejim, peraturan-peraturan dan hukum internasional bersifat tentatif tetapi rentan.
Ditandai dengan pengembangan rejim, hukum internasional, dasar-dasar hukum kosmopolitan serta struktur organisasi antar pemerintah maupun organisasi transnasional (swasta).
Stratifikasi
Perkembangan tatanan dunia yang Eropa sentris.
Organisasi politik lemah, tersebar dan tidak merata melintasi batas teritotial.
Hirarki kekuatan politik, militer dan ekonomi terkonsentrasi di Barat/Utara.
Kapabilitas politik dikembangkan, tetapi hubungan yang tidak seimbang (asimetris) tetap dipertahankan.
Dari Dunia yang Bipolar (perang dingin) ke Multipolar.
Kesenjangan Utara dan Selatan mulai dikikis  seiring dengan munculnya NICs (Negara Industri Baru) dan aktor-aktor non-negara.
Pola Interaksi
Persaingan; perang-perang terbatas; Konfliktual/Koersif; Imperialis.
Teritorial; Diplomatik; Geopolitik/Koersif; Imperialis; Konflik dan Kompetisi; Pembentukan ke arah “total war”
Deteritorialisasi dan reteritorialisasi.
“Reason of State” diupayakan dalam kerangka  hubungan kerjasama (kooperatif)  dan kolaboratif.;Kerjasama dan Persaingan;Geo-ekonomik

dan End of empire


Sumber : Global Transformations; Politic, Economic and Culture, David  Held  and  Anthony  McGrew, David Goldblatt and Jonathan Perraton, Polity Press, UK, 1999.

Mekanisme pasar sejauh membuka kesempatan kepada semua pihak untuk berinteraksi secara setara, sesungguhnya dapat diterima. Tetapi dalam kenyataan sistem neoliberal saat ini, prinsip kesetaraan hanya mimpi belaka. Prinsip perdagangan bebas yang dipandu dengan sistem moneter hampir-hampir tidak menyisakan ruang bagi ekonomi negara dunia ketiga untuk bertahan, apalagi menangguk laba. Dalam sistem-dunia saat ini para pemilik modal besarlah yang mengambil untung.
 
Sementara Indonesia berada persis di tengah Pasar Bebas dan terikat dengan berbagai perjanjian dagang baik di level regional maupun internasional. Kita telah menandatangani keanggotaan WTO yang akan membentuk dunia sebagai satu pasar pada tahun 2025. Dalam jangka yang lebih pendek, selain telah membangun komitmen untuk mewujudkan Asia Tenggara sebagai pasar bebas pada tahun 2015, Indonesia juga berkomitmen dalam perjanjian serupa dengan negara-negara Asia Pasifi (APEC). Dengan kesepakatan-kesepakatan tersebut, kemudian mencermati situasi sosial, politik dan ekonomi domestik saat ini, tak seorangpun yang tidak akan gelisah membayangkan Indonesia kedapan.
 
Apabila kita melihat sejarah panjang Indonesia (1945-2006), tampak bahwa negeri ini belum pernah sekalipun melakukan upaya serius untuk mengkonsolidasikan kekuatan sosial, politik dan ekonominya menghadapi situasi dunia pasca Perang Dingin. Dalam setiap kurun sejarah, telah terbukti Indonesia menjadi bulan-bulanan negara-negara core yang berebut sumber-sumber ekonomi untuk kepentingan survival mereka sendiri. Upaya serius untuk menghitung bandul gerak kenyataan global dan mencuri moment demi kepentingan bangsa seperti pernah dilakukan tahun 1945, belum pernah terjadi. Bahkan dalam setiap moment ‘perubahan’ penting di Indonesia (1966, 1998), kita sama sekali tidak memiliki skenario. Bila dicermati sungguh-sungguh baik pada tahun 1966 maupun 1998, kita dihadapkan pada situasi yang secara faktual tidak kita mengerti sepenuhnya sehingga kita tidak siap mengambil kendali.
 
Fakta tersebut, menurut kami, menunjukkan bahwa sampai hari ini cara pandang kita sebagai bagian dari bangsa masih terlalu sempit, kalah luas dan kalah awas dibanding kaum pergerakan generasi awal abad XX. Generasi terdahulu, meski tetap bukan contoh sempurna, membaca gerak dunia sambil mempersiapkan diri untuk mengambil kesempatan di ‘tikungan sejarah’. Sementara kita cenderung membaca gerak dunia dalam perdebatan teoritik yang kental, dan terhisap dalam perdebatan teoritik itu sendiri. Sehingga problem survival bangsa tidak kunjung diantisipasi. Apabila fakta ini tetap dipertahankan, maka kita tidak boleh marah atau mengeluh apabila 10, 15, 20 tahun kedepan, peran-peran kepemimpinan yang menentukan survival bangsa kembali didominasi oleh kaum teknokrat. Kita tidak boleh marah apabila kaum pergerakan yang (merasa) memiliki pertaruhan nasib survival bangsa dalam jangka panjang justru dipinggirkan. Dan memang kita tidak perlu marah apabila posisi tersebut merupakan pilihan yang diambil secara sadar. Namun, tentu saja tidaklah demikian.
 
Andai saja saat ini adalah lima puluh tahun silam dan kita telah memiliki keawasan seperti saat ini, niscaya kita akan mengikuti Mao Tse Tung atau Tan Malaka yang memilih kemerdekaan sepenuh-penuhnya, bukan negociated independence seperti yang sudah kita pilih. Dengan merdeka sepenuhnya kita memiliki kesempatan untuk berbenah diri ke dalam tanpa harus mengintegrasikan diri (tanpa persiapan) dalam interaksi global yang asimetris sekarang ini. Di situ, politik isolasi adalah pilihan yang mengandung konsekuensi tidak ringan. Bentuknya adalah seperti apa yang telah dilakukan China (RRC), selama beberapa dekade sibuk berbenah diri melakukan reformasi struktur internal dan kemudian dalam hitungan dekade kelima telah mampu bersaing dengan hegemon dunia. Cina telah membuktikan, there is an alternative (TIA) selain blue-print AS yang telah jadi pakem bagi negeri-negeri pinggiran (periphery).
 
Konsolidasi politik negara-negara penganut demokrasi liberal (Eropa dan Amerika) pasca Perang Dunia II ditujukan untuk menciptakan format baru penjajahan dari bentuk lama kolonialisme dan imperalisme (lihat tabel di atas). Konsolidasi tersebut memunculkan imperium global yang diikuti dengan perkembangan diplomasi multilateral, regulasi ekonomi internasional dan pembentukan institusi-institusi global, seperti PBB, WTO (World Trade Organization), IMF (International Monetary Fund), dan institusi regional seperti Uni Eropa dan NAFTA (North America Free Trade Agreement). Institusi-institusi internasional inilah yang menciptakan aturan main politik skala global khususnya yang menyangkut isu-isu perdagangan dan keamanan internasional. Perkembangan politik internasional tersebut telah menggerogoti batas-batas teritori negara sehingga potensial untuk memunculkan rezim internasional yang berpengaruh dalam menentukan masa depan negara-negara yang lain. Dampak lanjutannya, peran negara atas warganya semakin kecil, diganti oleh sebuah rezim global yang mampu menggerakkan struktur sosial dan politik sebuah negara.

Indonesia saat ini tidak akan mungkin terhindar dari proses politik internasional tersebut, apalagi dengan posisi geografis Indonesia di kawasan Asia-Pasifik yang strategis baik secara politik maupun ekonomi. Tanpa keawasan dan strategi jitu, Indonesia akan kehilangan banyak peran dan hanya menjadi aktor kecil dalam pentas dunia. Sementara, aktor non-negara mulai dari kalangan bisnis hingga organisasi-organisasi non-profit akan semakin memainkan peranan penting dalam lingkup nasional maupun internasional.

0 komentar: