Sejarah PMII
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan salah satu elemen mahasiswa yang terus bercita-cita mewujudkan Indonesia ke depan menjadi lebih baik. Lahirnya PMII tentu tidak berjalan mulus, banyak sekali hambatan dan rintangan. Hasrat mendirikan organisasi NU sudah lama bergolak, namun pihak NU belum memberikan green light.
Islam Dalam Masyarakat yang Berkebudayaaan
Agama dan budaya merupakan dua unsur penting dalam masyarakat yang saling mempengaruhi. Ketika ajaran agama masuk dalam sebuah komunitas yang berbudaya.
Makna Lambang PMII
Makna Lambang PMII dan Makna Bendera PMII
Islam Agama Rahmatan Lil 'alamin
Agama Islam yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW diperuntukkan bagi seluruh umat manusia pada umumnya. Oleh sebab itu, Islam dikenal sebagai agama yang bersifat universal. Sebagaimana firman Allah SWT di dalam Al Qur’an : “Wamaa arsalnaka illa rohmatan lil ‘alamin” Yang artinya :” Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (Q.S. Al Anbiya’ : 107).
Kisah Mahbub Junaidi
Mahbub Junaidi namanya “Pendekar Pena” panggilannya. Sosok kelahiran 27 juli 1939.
Minggu, 29 Juli 2012
PMII GELAR KAJIAN DAN DIALOG KE-ISLAMAN
Kamis, 26 Juli 2012
Sejarah PMII Dalam Dunia Kepemudaan dan Penyelamatan HMI
Kelahiran angkatan 66 ini merupakan reaksi terhadap kebijaksanaan Presiden Soekarnoe yang membiarkan PKI dan antek-anteknya tetap hidup di Bumi Pertiwi ini, kendatipun PKI melakukan makar dengan melakukan gerakan 30 September. Ketidakmampuan pemerintah Orde Lama untuk mengambil tindakan tegas terhadap PKI ini, mungkin dikarenakan kekhawatiran rezim Soekarnoe akan reaksi pemeritah Komunis Cina yang merupakan pendukung utama dalam menghadapi politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara barat lainnya. Tetapi tindakan rezim Orde Lama yang seperti ini berakibat fatal, dengan semakin banyaknya rakyat yang tidak puas terhadap rezim Soekarnoe, terutama mereka yang dulu sering difitnah oleh PKI serta antek-anteknya. Keadaan yang demikian itu semakin diperburuk oleh ketidak mampuan rezim Orde Lama dalam menangani persoalan ekonomi, disamping ketidakmampuan lembaga Legeslatif menjalankan fungsi kontrolnya terhadap penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan pemerintah Orde Lama.
PMII sebagai bagian dari mahasiswa dan generasi muda bangsa merasa terpanggil untuk membela kepentingan rakyat. Karena melihat lembaga Legeslatif tidak mampu menjalankan peran dan fungsinya serta tersumbatnya saluran dialog dengan pemerintah, maka mahasiswa mengambil alih peran legeslatif dan gerakan protes di jalan-jalan raya. Mereka meneriakkan aspirasi rakyat yang tertindas yang dikenal dengan TRI-TURA (tiga tuntutan hati nurani Rakyat). Sejak saat itulah gerakan mahasiswa, pemuda dan pelajar dikenal dengan istilah baru “GERAKAN PARLEMEN JALANAN”.
Gerakan parlemen jalanan ini sangat mungkin terjadi, karena suasana politik saat itu memungkinkan mahasiswa, pemuda dan pelajar matang secara politik. Hal ini akibat sistem politik yang dikembangkan pemerintah Orde Lama waktu itu.
Sebelum lebih jauh membicarakan angkatan 66 ada baiknya kita melihat peran generasi muda khususnya generasi muda Islam dalam sejarah kepemudaan di Indonesia, dari sini kita bisa melihat sejauh mana peran PMII dalam sejarah kepemudaan di Indonesia.
Sewaktu organisasi mahasiswa, pelajar dan pemuda yang dulunya mempunyai hubungan baik dengan eks partai Masyumi, seperti GPII (Gerakan pemuda Islam Indonesia), PII (Pelajar Islam Indonesia), dan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) sedang mengalami cobaan berat, terutama cobaan yang berasal dari fitnahan PKI dan organ-organ sayapnya, bahkan akhirnya GPII dibubarkan. Atas inisiatif GP. Ansor dan PMII menghimpun organisasi pemuda pelajar dan mahasiswa Islam, yang diharapkan mampu menumbuhkan rasa solidaritas dikalangan pemuda Islam, maka pada tanggal 19- 26 Desember 1964 bertempat di Jakarta diselenggarakan musyawarah generasi muda Islam (GEMUIS)
Musyawarah ini akhirnya memutuskan dibentuknya organisasi federasi pemuda, pelajar dan mahasiswa Islam yang kemudian dikenal dengan nama GEMUIS (generasi muda Islam). Salah satu hasil dari musyawarah itu adalah pernyataan yang berkenaan dengan usaha penyelamatan terhadap Nasib HMI yang sedang mengalami cobaan berat dari rongrongan dan fitnahan CGMI dan pemerintahan Orde Lama.
Pernyataan yang dikeluarkan sebagai hasil musyawarah Gemuis yang berkenaan dengan pembelaan terhadap HMI adalah :
HMI bukan onderbow dan tidak pernah mempunyai hubungan organisatoris dengan partai/organisasi manapun.
Masalah yang dihadapi HMI tidak dapat dipisahkan dari masalah keseluruhan Ummat Islam.
Peranan PMII dalam Gemuis cukup besar, ketika musyawarah pertama kali diadakan, Ketua I PP PMII sahabat Chalid Mawardi bertindak sebagai sekjen panitia Munas tersebut, bahkan dalam struktur kepengurusan Gemuis, PMII dipercaya menjadi sekjen persedium pusat.
3. Organisasi mahasiswa ekstra Universitas di Indonesia juga berhimpun dalam wadah yang dikenal dengan nama PPMI (Perhimpunan Pergerakan Mahasiswa Indonesia).
PMII dengan surat permohonan tanggal 14 Desember 1960 masuk menjadi anggota PPMI, yang secara aklamasi diterima oleh persedium pusat PPMI. Namun pada tahun 1965 ketika PMII ditawari jabatan Sekjen persedium pusat PPMI, PMII menolak tawaran itu, sebelum organisasi itu mengadakan kongres terlebih dahulu. PMII menuntut adanya perubahan struktural dalam organisasi tersebut. Karena PMII beranggapan PPMI terlalu didominir oleh organisasi-organisasi mahasiswa yang sebenarnya tidak mempunyai basis kekuatan massa dibawah, disamping PMII sangat menyesalkan sikap persedium pusat PPMI yang bertindak mengeluarkan HMI dari organisasi tersebut, tindakan berakibat fatal dikarenakan HMI mempunyai kekuatan massa yang besar yang didukung oleh organisasi mahasiswa Islam yang lain seperti PMII, SEMI (serikat mahasiswa Muslimin Indonesia) dan HIMMAH (himpunan mahasiswa al-wasliyah), akhirnya ketika terjadi pemberontakan PKI nasib PPMI ditinggalkan oleh anggota-anggotanya, hal ini dikarenakan sebagian besar pengurus PPMI terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam peristiwa pemberontakan tersebut.
4. Sebagai organisasi mahasiswa dan pemuda, PMII aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan dan kepemudaan baik ditingkat Nasional maupun ditingkat Internasional :
Pada tanggal 30 Maret sampai 6 April 1965, sahabat Chotibul Umam, atas nama utusan PMII, sahabat Mahbub Junaidi (ketua Umum PP PMII) atas nama PWI (persatuan Wartwan Indonesia) sahabat Chabibullah Asyhari atas nama Persatuan Wartawan Asia Afrika, hadir dalam seminar Internasional masalah Palestina yang dilaksanakan di Caero Mesir. Seminar ini diprakarsai oleh Organisasi mahasiswa Palestina yaitu General of Palestine Student (GUPS)
5. Sebagai tindak lanjut dari konprensi Islam Asia-Afrika yang diselenggarakan pada tanggal 6 – 12 Maret 1965 di Kota Bandung Jawa Barat, dibentuklah suatu wadah yang menghimpun ummat Islam se Asia-Afrika dengan nama OIAA (organisasi Islam Asia-Afrika). Badan dunia ini diketuai oleh KH. Ahmad Syaichu. Dalam struktur OIAA ini ada departemen yang mengurus bidang kemahasiswaan yaitu “Biro mahasiswa OIAA” . Dalam Biro ini PMII diwakili oleh sahabat Abdurrahman Saleh dan sahabat Siddiq Muhtadi, masing-masing sebagai ketua dan sekretaris
6. Dalam organisasi ekstra universitas sedunia WAY (word asembly of youth) PMII diwakili oleh sahabat Muslim Hasbullah, yang kemudian diganti oleh sahabat Umar Basalim. Kegiatan yang diikuti oleh PMII dalam Forum WAY tersebut adalah :
Leadership Training di India yang di ikuti oleh sahabat Umar Basalim
Seminar pemuda dan Family planning di Jakarta, di ikuti oleh sahabat Fahmi Ja’far dan sahabat Wahab Jailani (Ketua Koorcab PMII Jawa Tengah)
Leadership Training di Pasar minggu Jakarta, yang di ikuti Oleh sahabat Joko Purwono (ketua LPKP PP PMII)
Seminar Family Trainning di Amsterdam yang di ikuti oleh sahabat Zaini Abd, Syukur. Dll
7. Untuk mengatasi kekosongan yang diakibatkan oleh tidak aktifnya GEMUIS, serta organisasi-organisasi pemuda Islam lainnya yang tidak pernah berumur panjang, dikarenakan egoisme masing-masing organisasi mahasiswa Islam sendiri, maka PMII mesponsori berdirinya “Persatuan Mahasiswa dan Pelajar Indonesia” (PMPI). Organisasi ini dibentuk dengan tujuan antara lain : sebagai wadah penyalur aspirasi dari gabungan potensi pemuda pelajar dan mahasiswa Islam dengan menitikberatkan pada bidang agama dan solidaritas ummat Islam. Beberapa kegiatan yang pernah dilakukan antara lain:
Mengkoordinasi usaha-usaha yang merupakan tindak lanjut dari konfrensi ummat Islam Asia-Afrika.
Bantuan terhadap pengungsi Palestina baik moral maupun material
Demonstrasi terhadap kedatangan Kaisar Haile Selasie, Kepala negara Ethopia, yang saat itu sangat kejam dan menindas ummat Islam.
Dan usaha-usaha membendung gerakan “Kristenisasi” terutama di daerah pedalaman luar jawa dan penggarapan bekas anggota PKI.
Dalam PMPI ini PMII diwakili oleh sahabat Abduh Paddare yang sekaligus menjabat sebagai ketua persedium pusat organisasi tersebut.
8. Salah satu organisasi kemahasiswaan yang bergerak dibidang kesehatan adalah “Word University Service” (WUS) dalam organisasi ini PMII diwakili oleh sahabat Fahmi Ja’far
9. Dalam rangka memupuk ukhuwah Islamiyah terutama dikalangan generasi muda Islam, maka pada tanggal 14 Januari 1968, generasi muda islam mengeluarkan surat pernyataan yang ditanda tangani oleh :
Siddiq Muhtadi = PP PMII
Drs. Yunus Rahman = DPP SEMI
Iskandar Sarumala = PB KMI
Mar’I Muhammad = PB HMI
Muhammad Jasman = DPP IMM
Muchtar HN = PP HIMMAH
10. Dengan keluarnya SUPERSEMAR maka sebagian dari tuntutan KAMI terkabulkan, kini KAMI kembali seperti keadaan semula yakni mengkonsolidasi organisasi-organisasi ekstra dan intra universitas, namun nampaknya rasa persatuan dan kesatuan dalam tubuh KAMI semakin rapuh, hal ini diakibatkan beberapa hal :
Sebagaian besar aktivis KAMI sudah selesai masa studinya sehingga mereka tidak lagi bisa aktif lagi memimpin organisasi mahasiswa, sedang penggantinyatidak saling mengenal satu sama lain.
KAMI sebagai geraka aksi tidak mampu menyuguhkan suatu progam yang berkesinambungan.
Secara obyektif generasi muda mengalami kelelahan fisik dan mental dalam tahun-tahun 1965 – 1967 sering turun jalan berdemonstrasi.
Usaha-usaha untuk mempertahankan KAMI ini terus diupayakan, bahkan PMII sebagai organisasi yang dipercaya memimpin KAMI (sebagai ketua persedium KAMI pusat) tetap berusaha mempertahankannya, dengan pemikiran bahwa:
Pada dasarnya KAMI harus tetap dipertahankan eksistensinya
KAMI harus mampu mendorong terbentuknya organisasi nasional mahasiswa Indonesia yang multifungsi, yaitu :
a) Pengembangan kreasi dibidang pengamalan ilmu dan sistem group-group voluntir akan bisa lahir dari aktivitas yang demikian itu.
b) Sebagai moral fors yang faham akan ilmu politik dan tahu politik praktis. Dengan dinamika yang dimiliki diharapkan mampu menemukan strategi dan tujuan perjuangan nasional, militansi yang dimilikinyadiharapkan mampu mendobrak kebatilan dalam segala bentuknya.
c) Pengembangan upaya-upaya keamanan di berbagai bidang, baik fisik maupun spiritual, terutama terhadap ancaman kembalinya PKI dan Orde Lama.
Dalam usaha mempertahankan KAMI ini pernah diadakan Rapat Kerja KAMI pusat yang berlangsung pada tanggal 2 – 6 Juni 1967 di Ciawi Bogor, tetapi hasilnya tidak seperti yang diharapkan, bahkan SOMA (serikat organisasi mahasiswa lokal) Gabungan mahasiswa kedaerahan dan PMKRI serta dewan mahasiswa ITB menyatakan keluar dari KAMI. Usaha mempertahankan KAMI menemukan jalan buntu. Akhirnya berlanjut pada usaha pemerintah untuk menghimpun wadah generasi muda yang kelak kemudian hari dikenal dengan nama KNPI (komite nasional pemuda Indonesia).
MENGEMBANGKAN KONSEP ISLAM RAHMATAN LIL ‘ALAMIN
Agama Islam yang mengandung ajaran yang sempurna untuk dijadikan pedoman hidup manusia untuk menggapai keselamatan, kedamaian, kemakmuran, kesejahteraan baik di dunia maupun di akhirat, itulah misi Nabi Muhammad mengajarkan Islam kepada umat manusia. Kemakmuran disini bukan hanya ditujukan kepada manusia semata namun untuk seluruh makhluk yang ada di alam semesta ini yakni manusia, tumbuh-tumbuhan, binatang, alam dan lingkungan sekitar, serta semua makhluk ciptaan Allah. Oleh karena itu untuk mencapai itu semua harus memperhatikan kembali aspek hubungan antara manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia, serta hubungan manusia dengan alam. Karena dalam mengarungi kehidupan di dunia ini sudah pasti terdapat suatu hubungan atau interaksi.
Sumber : Wawancara dengan KH. Hafiduddin Hanif
REFLEKSI PARADIGMA PERGERAKAN
Dikemukakan dalam buku tersebut, salah satu latar belakang Paradigma Pergerakan (atau populer dengan nama Arus Balik) adalah kondisi sosio-politik bangsa yang ditandai oleh: 1) munculnya negara sebagai aktor atau agen otonom yang peranannya “mengatasi” masyarakat yang merupakan asal-usul eksistensinya, 2) menonjolnya peran dan fungsi birokrasi dan teknokrasi dalam proses rekayasa sosial, ekonomi dan politik, 3) semakin terpinggirkannya sektor-sektor “populer” dalam masyarakat – termasuk intelektual, 4) diterapkannya model politik eksklusioner melalui jaringan korporatis untuk menangani berbagai kepentingan politik, dan 5) penggunaan secara efektif hegemoni ideologi untuk memperkokoh dan melestarikan legitimasi sistem politik yang ada. Lima ciri-ciri tersebut tidak jauh berbeda dengan negara-negara kapitalis pinggiran (peripherial capitalist state) (1997; hal. 3).
Medan politik orde baru merupakan arena subur bagi sikap perlawanan PMII terhadap negara. Sikap perlawanan tersebut didorong pula oleh konstruksi teologi antoposentrisme-transendental yang menekankan posisi khalifatullah fil-ardh sebagai perwujudan penghambaan kepada Allah (‘abdullah). Selain oleh teologi antroposentrisme-transendetal, sikap perlawanan itu juga didorong dua tema pokok, pertama tidak menyetujui adanya otoritas penuh yang melingkupi otoritas masyarakat dan kedua menentang ekspansi dan hegemoni negara terhadap keinginan bebas individu dan masyarakat. (1997; hal. 17). Berikut ini ialah skema (Althusserian) yang lazim digunakan untuk menjelaskan struktur penindasan negara.
]
Rekayasa sosial melalui advokasi dilakukan untuk segala korban perubahan. Bentuk gerakannya ada tiga yakni sosialisasi wacana, penyadaran dan pemberdayaan serta pendampingan. Cita-cita besar dari advokasi tidak lain adalah sebagai bagian dari pendidikan politik masyarakat untuk mencapai angan-angan terwujudnya civil society (1997; hal. 30). Kedua jalan rekayasa tersebut memberikan energi yang luar biasa bagi PMII. Dikuatkan oleh bacaan tentang kondisi sosio-politik, dasar teologis dan filosofis, PMII berada di garis terdepan organisasi perlawanan terhadap negara. Lebih dari itu, di antara organisasi mahasiswa Islam, PMII menjadi organisasi paling progresif dan radikal dalam melakukan dekonstruksi teks-teks agama.
Pada periode sahabat Syaiful Bahri Anshari, diperkenalkan Paradigma Kritis Transformatif. Pada hakikatnya prinsip-prinsip dasar paradigma ini tidak jauh berbeda dengan Paradigma Pergerakan. Titik bedanya terletak pada pendalaman teoritik paradigma serta pengambilan eksemplar-eksemplar teori kritis madzhab Frankfurt (Frankfurt School) serta dari kritisisme wacana intelektual Muslim seperti Hassan Hanafi, Muhammad Arkoun, Ali Ashghar Engiiner dll. Sementara di lapangan terdapat pola yang sama dengan PMII periode sebelumnya; gerakan PMII terkonsentrasi pada aktivitas jalanan dan wacana-wacana kritis. Semangat perlawanan-oposisi (perang terbuka), baik dengan negara maupun dengan kapitalisme global masih sangat mewarnai gerakan PMII.
Kedua paradigma di atas mendapat ujian berat ketika KH Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden RI pada november 1999. Para aktifis PMII (dan aktifis civil society umumnya) mengalami kebingungan saat Gus Dur yang menjadi tokoh dan simbol perjuangan civil society di Indonesia naik ke tampuk kekuasan. Aktivis pro demokrasi mengalami dilema antara mendampingi Gus Dur dari jalur ekstraparlemen, atau bersikap sama sebagaimana terhadap presiden-presiden sebelumnya. Mendampingi atau mendukung didasari pada kenyataan bahwa masih banyak unsur orba baik di legislatif maupun eksekutif yang memusuhi presiden ke-4 tersebut. Namun pilihan tersebut akan memunculkan pandangan bahwa aktivis prodemokrasi (termasuk PMII) menanggalkan semangat perlawanannya. Meski demikian, secara nasional sikap PB PMII di masa kepengurusan Sahabat Nusron Wahid secara tegas-terbuka mengambil tempat sebagai pendukung demokrasi dan program reformasi yang secara konsisten dijalankan oleh presidan Gus Dur, sejalan dengan berbagai organisasi pro-dem yang lain.
Hanya titik persoalannya terletak pada paradigma gerakan PMII itu sendiri. Secara massif, paradigma gerakan PMII masih kental dengan nuansa perlawanan frontal baik terhadap negara maupun terhadap kekuatan di atas negara (kapitalis internasional). Inilah yang ditemukan di tingkat aktivis-aktivis PMII. Sehingga ruang taktis-strategis dalam kerangka cita-cita gerakan yang berorientasi jangka panjang justru tidak memperoleh tempat. Aktifis-aktifis PMII masih mudah terjebak-larut dalam persoalan temporal-spasial, sehingga gerak perkembangan internasional yang sangat berpengaruh terhadap arah perkembangan Indonesia sendiri luput dibaca. Dalam kalimat lain, dengan energi yang belum seberapa, aktivis PMII sering larut pada impian “membendung dominasi negara dan ekspansi neoliberal saat ini juga”. Efek besarnya, upaya taktis-strategis untuk mengakumulasikan kekuatan justru masih sedikit dilakukan.
Inilah mengapa kemudian dalam buku Membangun Sentrum Gerakan di Era Neo Liberal yang diterbitkan pada era sahabat A. Malik Haramain (2004), dikatakan bahwa dua paradigma di atas telah patah (2004: hal. 30). Kedua paradigma di atas melanjutkan kagagapan PMII dalam bersinggungan dengan kekuasan. Setidak-tidaknya ada tiga alasan untuk menjelaskan patahnya kedua paradigma ini. Pertama, keduanya didesain hanya untuk melakukan resistensi terhadap otoritarianisme tanpa membaca kompleksitas aktor di level nasional yang selalu terkait dengan perubahan di tingkat global dan siklus politik-ekonomi yang terjadi. Sebagai contoh maraknya LSM pro demokrasi dan gencarnya isu anti militerisme pada dekade 1990-an adalah akibat dari runtuhnya Uni Soviet sebagai rival USA dalam kompetisi hegemoni dunia.
Kedua, dua paradigma di atas hanya menjadi bunyi-bunyian yang tidak pernah secara real menjadi habitus atau laku di PMII. Akibatnya bentuk resistensi yang muncul adalah resisten tanpa tujuan, yang penting melawan. Sehingga ketika perlawanan itu berhasil menjatuhkan Soeharto terlepas ada aktor utama yang bermain, PMII dan organ-organ pro demokrasi lainnya tidak tahu harus berbuat apa.
Ketiga, pilihan dua paradigma di atas tidak didorong oleh setrategi sehingga paradigma dianggap sebagai suatu yang baku. Mestinya ketika medan pertempuran telah berganti, maka strategipun harus berbeda. Sayangnya yang terjadi pada PMII, ketika medan pertempuran melawan otoritarianisme orde baru telah dilewati, PMII masih berpikir normatif dengan mempertahankan nalar paradigma lama.
Nalar penyusunan gerakan di Indonesia setelah Tan Malaka lebih bersifat teoritik-akademik (logos), yakni diawali dengan berbagai konsep ideal tentang masyarakat atau negara yang berasal dari barat. Celakanya, konsep-konsep yang dipakai di kalangan akademis kita hampir seluruhnya beraroma liberalisme. Sehingga di tingkat intelektual pun tidak ada kemungkinan untuk meloloskan diri dari arus liberalisme, yang di level politik dan ekonomi maujud dalam neoliberalisme. Dengan kata lain, dalam upaya melawan neoliberalisme, banyak gerakan terperangkap di langkah pertama yakni tersedot oleh konsep-konsep liberalisme. Demokrasi, HAM, civil society, sipil vs militer, federalisme dll. difahami sebagai agenda substansial. Padahal dalam lapangan politik dan ekonomi, kesemuanya tadi nyaris menjadi mainan negara-negara neoliberal. Maka boleh dikata, semenjak dari pikiran gerakan semacam itu memang tidak akan pernah berhasil.
Dengan kata lain persoalan sulitnya membangun paradigma berbasis kenyataan di PMII itu pararel dengan kesulitan membuat agenda nasional yang berangkat dari kenyataan Indonesia. Konsekuensi yang harus diambil dari penyusunan paradigma semacam itu adalah, untuk sementara waktu organisasi akan tersisih dari pergaulan gerakan mainstream. Gerakan harus mampu berkayuh di antara gelombang panjang dan gelombang pendek, agar gelombang panjang tetap terkejar dan gelombang pendek tidak cukup kuat untuk menghancurkan biduk kita yang rapuh. Bagaimanapun untuk membangun gerakan kita harus mendahulukan realitas ketimbang logos.
INDONESIA DI TENGAH PASAR BEBAS
Negara-negara pusat memainkan peran setrategis dalam setiap perumusan aturan internasional melalui lembaga-lembaga internasional. Sebagai contoh adalah ISO (International Standard Organization) yang menjadi salah satu aturan internasional dalam perdagangan barang lintas negara. Cara pandang penetapan aturan dalam ISO mengacu pada cara pandang negara dunia pertama, yang jelas berbeda dengan cara pandang negara-negara dunia ketiga. Aturan tersebut banyak merugikan negara-negara dunia ketiga karena cenderung menghadapkan negara dunia ketiga pada hukum besi mekanisme pasar.
Item | Pra Awal Modern (Abad 14-18) | Modern (Abad 19-20) | Kontemporer (1945 - ...) |
Ekstensits | Sebagian besar bersifat intra-teritorial dan intra-regional tetapi juga memulai ekspansi imperial. | Emperium global; Muncul sistem negara bangsa | Sistem negara global; Muncul tataan politik global; Regionalisasi politik dan inter-regionalisme |
Intensitas | Volumenya rendah, tetapi melonjak ketika para kompetitor politik atau ekonomi bertemu dan berbenturan | Volumenya meningkat dan terjadi ekspansi hubungan | Terjadi peningkatan drastis pada kesepakatan-kesepakatan internasional, jaringan dan berbagai hubungan formal maupun informal. |
Percepatan | Terbatas; Sporadis | Meningkat | Terjadi percepatan pada interaksi politik global seiring dengan kemajuan teknologi komunikasi. |
Pengaruh (Negatif) | Sedikit; tetapi terkonsentrasi | Meningkatnya konsekuensi-konsekuensi institusional dan struktural | Tinggi: saling terkait, sensitif dan rentan. |
Infrastruktur | Minimal; kerangka kerja amultilateral bergerak sangat lamban, mulai dari traktat hingga konferensi organisasi | Munculnya Organisasi dan rejim-rejim internasional maupun transnasional. | Perubahan besar baik pada ukuran, bentuk, jumlah rejim, organisasi internasional dan transnasinal serta mekanisme hukum. Komunikasi global “realtime” dan infrastruktur media. |
Institusionalisasi | Minimal, tetapi mulai ada diplomasi dan regularisasi jaringan kerja antar negara. | Perkembangan rejim-rejim, peraturan-peraturan dan hukum internasional bersifat tentatif tetapi rentan. | Ditandai dengan pengembangan rejim, hukum internasional, dasar-dasar hukum kosmopolitan serta struktur organisasi antar pemerintah maupun organisasi transnasional (swasta). |
Stratifikasi | Perkembangan tatanan dunia yang Eropa sentris. Organisasi politik lemah, tersebar dan tidak merata melintasi batas teritotial. | Hirarki kekuatan politik, militer dan ekonomi terkonsentrasi di Barat/Utara. Kapabilitas politik dikembangkan, tetapi hubungan yang tidak seimbang (asimetris) tetap dipertahankan. | Dari Dunia yang Bipolar (perang dingin) ke Multipolar. Kesenjangan Utara dan Selatan mulai dikikis seiring dengan munculnya NICs (Negara Industri Baru) dan aktor-aktor non-negara. |
Pola Interaksi | Persaingan; perang-perang terbatas; Konfliktual/Koersif; Imperialis. | Teritorial; Diplomatik; Geopolitik/Koersif; Imperialis; Konflik dan Kompetisi; Pembentukan ke arah “total war” | Deteritorialisasi dan reteritorialisasi. “Reason of State” diupayakan dalam kerangka hubungan kerjasama (kooperatif) dan kolaboratif.;Kerjasama dan Persaingan;Geo-ekonomik dan End of empire |
Sementara Indonesia berada persis di tengah Pasar Bebas dan terikat dengan berbagai perjanjian dagang baik di level regional maupun internasional. Kita telah menandatangani keanggotaan WTO yang akan membentuk dunia sebagai satu pasar pada tahun 2025. Dalam jangka yang lebih pendek, selain telah membangun komitmen untuk mewujudkan Asia Tenggara sebagai pasar bebas pada tahun 2015, Indonesia juga berkomitmen dalam perjanjian serupa dengan negara-negara Asia Pasifi (APEC). Dengan kesepakatan-kesepakatan tersebut, kemudian mencermati situasi sosial, politik dan ekonomi domestik saat ini, tak seorangpun yang tidak akan gelisah membayangkan Indonesia kedapan.
Apabila kita melihat sejarah panjang Indonesia (1945-2006), tampak bahwa negeri ini belum pernah sekalipun melakukan upaya serius untuk mengkonsolidasikan kekuatan sosial, politik dan ekonominya menghadapi situasi dunia pasca Perang Dingin. Dalam setiap kurun sejarah, telah terbukti Indonesia menjadi bulan-bulanan negara-negara core yang berebut sumber-sumber ekonomi untuk kepentingan survival mereka sendiri. Upaya serius untuk menghitung bandul gerak kenyataan global dan mencuri moment demi kepentingan bangsa seperti pernah dilakukan tahun 1945, belum pernah terjadi. Bahkan dalam setiap moment ‘perubahan’ penting di Indonesia (1966, 1998), kita sama sekali tidak memiliki skenario. Bila dicermati sungguh-sungguh baik pada tahun 1966 maupun 1998, kita dihadapkan pada situasi yang secara faktual tidak kita mengerti sepenuhnya sehingga kita tidak siap mengambil kendali.
Fakta tersebut, menurut kami, menunjukkan bahwa sampai hari ini cara pandang kita sebagai bagian dari bangsa masih terlalu sempit, kalah luas dan kalah awas dibanding kaum pergerakan generasi awal abad XX. Generasi terdahulu, meski tetap bukan contoh sempurna, membaca gerak dunia sambil mempersiapkan diri untuk mengambil kesempatan di ‘tikungan sejarah’. Sementara kita cenderung membaca gerak dunia dalam perdebatan teoritik yang kental, dan terhisap dalam perdebatan teoritik itu sendiri. Sehingga problem survival bangsa tidak kunjung diantisipasi. Apabila fakta ini tetap dipertahankan, maka kita tidak boleh marah atau mengeluh apabila 10, 15, 20 tahun kedepan, peran-peran kepemimpinan yang menentukan survival bangsa kembali didominasi oleh kaum teknokrat. Kita tidak boleh marah apabila kaum pergerakan yang (merasa) memiliki pertaruhan nasib survival bangsa dalam jangka panjang justru dipinggirkan. Dan memang kita tidak perlu marah apabila posisi tersebut merupakan pilihan yang diambil secara sadar. Namun, tentu saja tidaklah demikian.
Andai saja saat ini adalah lima puluh tahun silam dan kita telah memiliki keawasan seperti saat ini, niscaya kita akan mengikuti Mao Tse Tung atau Tan Malaka yang memilih kemerdekaan sepenuh-penuhnya, bukan negociated independence seperti yang sudah kita pilih. Dengan merdeka sepenuhnya kita memiliki kesempatan untuk berbenah diri ke dalam tanpa harus mengintegrasikan diri (tanpa persiapan) dalam interaksi global yang asimetris sekarang ini. Di situ, politik isolasi adalah pilihan yang mengandung konsekuensi tidak ringan. Bentuknya adalah seperti apa yang telah dilakukan China (RRC), selama beberapa dekade sibuk berbenah diri melakukan reformasi struktur internal dan kemudian dalam hitungan dekade kelima telah mampu bersaing dengan hegemon dunia. Cina telah membuktikan, there is an alternative (TIA) selain blue-print AS yang telah jadi pakem bagi negeri-negeri pinggiran (periphery).
Konsolidasi politik negara-negara penganut demokrasi liberal (Eropa dan Amerika) pasca Perang Dunia II ditujukan untuk menciptakan format baru penjajahan dari bentuk lama kolonialisme dan imperalisme (lihat tabel di atas). Konsolidasi tersebut memunculkan imperium global yang diikuti dengan perkembangan diplomasi multilateral, regulasi ekonomi internasional dan pembentukan institusi-institusi global, seperti PBB, WTO (World Trade Organization), IMF (International Monetary Fund), dan institusi regional seperti Uni Eropa dan NAFTA (North America Free Trade Agreement). Institusi-institusi internasional inilah yang menciptakan aturan main politik skala global khususnya yang menyangkut isu-isu perdagangan dan keamanan internasional. Perkembangan politik internasional tersebut telah menggerogoti batas-batas teritori negara sehingga potensial untuk memunculkan rezim internasional yang berpengaruh dalam menentukan masa depan negara-negara yang lain. Dampak lanjutannya, peran negara atas warganya semakin kecil, diganti oleh sebuah rezim global yang mampu menggerakkan struktur sosial dan politik sebuah negara.
INDONESIA WARGA HABITAT GLOBAL
Potret sejarah ringkas di atas menunjukkan bahwa Indonesia tidak dapat dibaca tanpa mempertimbangkan dan menghitung alur gerak internasional. Bahkan dalam konteks gerakan, menghitung gerak internasional menjadi pra-syarat wajib dalam merumuskan gerakan di Indonesia. Ada pendapat bahwa pembacaan gerak internasional dirasa muluk-muluk dan terkesan tidak sambung dengan keadaan real sehari-hari orang per orang. Namun faktanya, negara-bangsa Indonesia merupakan bagian kenyataan global. Sehingga dalam konteks membangun gerakan, membaca kenyataan global dan posisi Indonesia di dalamnya mau tidak mau harus dilakukan.
Sumber : Buku Pengkaderan, 2006
Rabu, 25 Juli 2012
Citra Diri Ulul Albab PMII
b. Berjiwa optimis-transedental atas kemampuan mengatasi masalah kehidupan.
c. Berpikir secara dialektis.
d. Bersikap kritis.
e. Bertindak Transformatif
Selasa, 24 Juli 2012
SAFARI RAMADHAN 1433 H
Minggu, 22 Juli 2012
Mahbub Junaidi Sang Ketum PMII dengan Senjata Pena-nya
Sabtu, 21 Juli 2012
Memadukan Ilmu dan Amal
Sedangkan ilmu tidak dapat dikatakan ilmu jika ia tidak dihubungkan dengan amal perbuatan manusia. Rasulullah SAW mengibaratkan hubungan ilmu dan amal ini dengan pohon dan buahnya. Jika ilmu adalah sebatang pohon maka amal adalah buahnya. Jika ilmu tidak disertai dengan amal kebajikan maka ilmu tersebut tidak banyak berguna laksana pohon yang tak berbuah.
Dalam kitab Ta`limul Muta`allim, Syekh az-Zarnuji, menerangkan bahwa banyak sekali umat Islam di masanya yang mengalami kegagalan dalam menuntut ilmu. Kegegalan yang dimaksud bukanlah kegagalan lulus atau tidak lulus dalam ujian sekolah. Akan tetapi lebih jauh lagi merupakan kegagalan sebab tidak dapat menjadikan ilmu yang diperoleh bermanfaat bagi masyarakat luas. Dengan kata lain, ilmu yang tidak dapat dipetik buahnya.
Menurut Syekh Zarnuji, kegagalan ini disebabkan oleh kekeliruan motivasi menuntut ilmu (niat), memilih disiplin ilmu, guru dan teman, kurangnya penghormatan terhadap guru dan orang yang berilmu, kemalasan dalam belajar, kurangnya ibadah dan rendahnya sikap tawakkal (berserah diri kepada Allah), wara` (menjauhi makan barang haram), zuhud (melepaskan ketergantungan terhadap materi). Sementara seluruh hal di atas merupakan syarat-syarat dan jalan yang dibutuhkan oleh setiap pelajar dalam mencapai ilmu pengetahuan yang diridhai Allah SWT.
Dari syarat-syarat keberhasilan mendapatkan ilmu di atas, terlihat jelas bahwa sebenarnya pendidikan dalam Islam memberikan perpaduan yang indah antara ilmu dan amal. Bersendikan pada kesungguhan dalam mengasah potensi intelektual dan keikhlasan dalam beramal.
Barangsiapa yang berhasil memenuhi syarat-syarat dan benar dalam cara menuntut ilmu niscara mereka akan tercerahkan hati dan pikirannya. Mereka akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat baik bagi dirinya sendiri juga bagi masyarakt luas serta akan selalu berada di bawah petunjuk Allah SWT.
Sebaliknya mereka yang meninggalkan syarat-syarat yang diperlukan dalam menuntut ilmu dan belajar dengan jalan yang salah maka sudah dapat dipastikan mereka akan mengalami kegagalan dalam memadukan antara ilmu dan amal. Dalam dunia pendidikan Islam terdapat sebuah slogan yang sangat populer:
”Man zada ilman wa lam yazdad hudan lam yazdad minallahi illa bu`dan.” Artinya: Barangsiapa yang bertambah ilmunya akan tetapi tidak bertambah petunjuknya maka ia tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali semakin jauh dari Allah.