Oleh : KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur ) |
Contoh lain yang dapat dikemukakan di sini, terjadi ketika penulis masih menjadi santri di Pondok Pesantren Tambak Beras, Kabupaten Jombang. Tiap Jum’at dan Selasa siang, sehabis dzuhur atau sekitar jam 1 siang hingga jam 4 sore penulis mengaji kepada kakeknya dari Ibu, KH. M. Bisri Syansuri di Denanyar, Kabupaten Jombang. Pada suatu ketika seorang pemimpin lokal Nahdlatul Ulama (NU) menunggu dengan sabar hingga acara penulis mengaji selesai di waktu Ashar itu. Ia lalu mengatakan kepada Kyai Bisri, bahwa ia mempunyai delapan orang anak dan berniat berqurban bagi mereka. Namun uangnya hanya cukup untuk membeli seekor lembu. Padahal sesuai dengan ketentuan fiqh/ hukum Islam, binatang itu hanya dapat dijadikan qurban bagi tujuh orang anaknya.
Kyai Bisri menyatakan kepadanya, bahwa ia harus memilih antara dua hal: menunda qurban hingga tahun depan atau berqurban tahun ini hanya untuk tujuh orang anak. Orang itu pun dengan mata kuyu dan muka sangat sedih segera meninggalkan tempat itu. Kyai Bisri meminta kepada penulis artikel ini, untuk membonceng di atas sepeda orang tersebut mengantarkan ke rumah ipar Kyai Bisri yaitu Kyai A. Wahab Chasbullah, Ra’is ’Aam atau orang pertama NU. Penulis membonceng orang itu di atas sepedanya ke Tambak Beras, empat kilometer jauhnya. Di sana penulis menyatakan kepada Kyai Wahab, bahwa orang itu disuruh Kyai Bisri untuk bertemu dengan sang ipar. Orang itu lalu menyampaikan kepada Kyai Wahab seperti apa yang dikemukakannya kepada Kyai Bisri.
Kyai Wahab lalu menanyakan, apakah ia punya uang untuk membeli seekor lembu dan seekor kambing? Orang itu menyatakan, bahwa ia mempunyai uang sejumlah itu. Kata Kyai Wahab, lembu itu dapat dijadikan qurban untuk tujuh orang anak. Adapun kambing digunakan sebagai binatang ancik-ancik (alat untuk mencapai sesuatu yang tinggi) bagi anak ke delapan. Orang itu lalu sangat gembira dengan “pemecahan” seperti itu. Ia keluar dari rumah Kyai Wahab dengan senyum gembira. Kyai Wahab telah memperlihatkan kepemimpinannya pada saat itu. Berkat kepemimpinan itu, ia membuat sang pengurus lokal NU itu sangat bergembira dan tentunya merasa berhutang budi pada Kyai Wahab seumur hidupnya.
Sudah tentu kepemimpinan seperti itu, memiliki dimensinya masing-masing. Hal ini terlihat ketika Bung Karno merencanakan pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Kyai Wahab menerima gagasan itu, karena NU adalah satu-satunya kekuatan politik formal gerakan Islam yang masih ‘bertahan’ dalam dunia politik. Kalau gagasan itu ditolak, maka dalam DPR-GR yang akan dibentuk itu, tentu tak ada wakil gerakan Islam. Karena itu ia menerima gagasan tersebut. Ini bertentangan dengan iparnya sendiri, Kyai Bisri yang menjadi Wakil Ra’is ‘Aam atau orang kedua dalam NU. Menurutnya, DPR yang dibubarkan Soekarno adalah hasil pemilu tahun 1955. Kalau itu dibubarkan maka sebagai gantinya, lembaga perwakilan rakyat tersebut haruslah hasil sebuah pemilu. Kyai Bisri dan Kyai Wahab bersikukuh dengan pendapatnya masing-masing, sehingga berbulan-bulan lamanya tidak ada keputusan tentang hal itu. Baru kemudian Kyai Wahab menyatakan secara formal bahwa ia menerima gagsan tersebut, sedangkan Kyai Bisri tetap menolak gagasan itu. Hingga berakhirnya Demokrasi Terpimpin dua orang itu menunjukkan kepemimpinan yang saling berlawanan, bukan?
Sindo, Jakarta, 20 Febuari 2008