|
Mutakin |
Mutakin
Ketua
Umum PC PMII
Bandarlampung
Agama selalu hidup dalam sejarah
umat manusia dan mengikuti perkembangan zaman. Dari waktu ke waktu agama mengalami
penafsiran ulang yang kadang digunakan kelompok-kelompok tertentu untuk membela
kepentingannya. Murad W Hofmann (2006 dalam mujtahid, 2011) sebagai tokoh yang
sangat concern terhadap perdamaian
agama, berusaha mempertemukan antara agama, dalam hal ini misalnya, Islam dan
Kristen, dengan membuka jalan dialog, kerjasama dan alternatif lainnya. Selama
ini, kedua agama ini saling menyimpan kecurigaan yang kuat dan tak jarang
hingga meletuskan konflik dan konfrontasi yang destruktif bagi tumbuhnya keharmonisan
bagi antar pemeluk agama.
Islam
sendiri dalam wataknya yang asli adalah anti kekerasan. Watak Islam yang asli
sebagaimana ditunjukkan oleh Rasulullah ketika beliau hijrah ke thaif Uthiopia.
Sesampai di Uthiopia beliau dilempari batu oleh sebagian penduduk sampai berlumuran
darah, namun beliau tidak mengutuk mereka melainkan justru mendo`akan petunjuk,
dan rahmat bagi mereka. Demikian juga ketika perang Uhud, Rasulullah tidak
membenci para pemanah yang tidak setia pada perintah beliau yang mengakibatkan
kekalahan, melainkan beliau berlaku lemah lembut dan tetap mengayomi mereka.
Rosul-rosul Allah yang pengampun terhadap kesalahan umatnya terbukti lebih
berhasil dalam misinya dari pada yang sebaliknya.
Sikap
lemah lembut dengan penuh kasih sayang sudah sepatutnya dipercontohkan oleh
para orang tua, para pendidik dan komunitas sekolah lainnya sebagai manivestasi
ajaran agama yang diyakininya. Kekerasan
harusnya tidak boleh terjadi dilingkungan sekolah seperti yang yang terjadi di
dunia pendidikan yang marak diakhir-akhir ini.
Agama mengajarkan kasih sayang dan kelemah lembutan serta
pengampunan. sama halnya dalam agama
kristen katolik disebutkan dalam ensiklik (surat pernyataan Paus) Redempotoris
Missio yang dikeluarkan Paus Yohanes Paulus II tahun 1990.
Saling mengerti,
memahami, menaruh cinta kasih dan menghormati satu dengan yang lainnya adalah
ajaran agama yang seharusnya diterapkan oleh manusia yang beragama. Bangsa
Indonesia yang merupakan bangsa yang multikulturalisme. Bangsa yang didalamnya terdapat
bermacam budaya, suku, etnik, dan agama, sehingga orang-orang didalamnya baik
secara idividu maupun kelompok sudah sepatutnya untuk bersikap toleran. Oleh
karena itu, umat beragama harus menegaskan kembali identitas keagamaan di
tengah-tengah umat beragama lain yang juga eksis. Pluralisme keagamaan sudah
menjadi kenyataan sejarah yang tidak mungkin bisa dihindari, menafikan
pluralisme sama artinya dengan menafikan keberadaan manusia itu sendiri. Namun,
pluralisme dan perbedaan (eksoterik) agama sering menjadi sumber konflik dan
ketegangan di antara umat beragama. Bahkan umat beragama sebagian besar masih
memandang agama lain dalam konteks "superior" dan
"inferior".
Setiap
permasalahan harus dilihat dari dua perspektif-dialegtis: objektifikasi dan
transendensi, demokrasi dan teokrasi.
Objektifikasi maksudnya, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
seluruh komponen bangsa harus saling mengerti dan memahami, harus bermusyawarah
untuk memecahkan persoalan bersama, harus saling bekerjasama dan tolong
menolong, berbuat yang menguntungkan masyarakat serta senantiasa menjaga
keseimbangan, keharmonisan dan keserasian.
Objektifitas
menuntut masing-masing kelompok kepentingan daqlam masyarakat untuk menahan
diri, tidak memaksakan kehendak apalagi menafikan pihak lain. Sebab manusia
secara antologis (dalam realitasnya) terdiri dari berbagai bangsa, suku, agama,
kelas, partai, golongan dan sebagainya.
Sedangkan
yang dimaksud dengan transendensi dalam Islam adalah kesadaran bahwa manusia itu
memiliki fitrah dan hanif.
Keyakinan fitrah tidak hanya mengatakan bahwa manusia berasal dari Tuhan
melainkan lebih dari itu bahwa manusia adalah “Miniatur Tuhan”. Agama telah mencandra bahwa manusia adalah
Khalifah Allah di muka bumi. Karena itu dalam kompleksitas pelaksaan tugas
kekhalifahan manusia perlu menginternalisasi nila-nilai ketuhan seperti berlaku
adil, kasih sayang, menegakkan kebenaran dan kearifan. Transendensi juga bermakna bahwa tindakan
manusia itu bersifat taklif, karena
itu manusia harus senantiasa memiliki responsibility
dan accountability baik secara
vertikal di hadapan Tuhan maupun secara horisontal kepada sesama manusia dan
kepada alam.
Harusnya kita Arif melihat Bangsa Indonesia yang Multiagama,
tidak berdasarkan mayoritas tetapi merangkul semua kalangan dari penduduk
Nusantara, founding father telah menetapkan
ideologi Bangsa yang termuat dalam “Pancasila”. Dalam hal ini penulis ingin
melihat satu dari lima point ideologi Bangsa Indonesia yaitu sila pertama
“Ketuhanan yang Maha Esa”. Makna sila pertama ini lebih menekankan Sifat-sifat
Luhur/ Mulia Tuhan yang mutlak harus ada dalam individu, kelompok dan Bangsa
Indonesia. Hal ini juga menunjukkan pentingnya menginternalisasikan nilai-nilai
Luhur Tuhan. Sifat-sifat Luhur tersebut diantaranya penyayang, pengasih,
pengampun/pemaaf dan sebagainya.
opini ini pernah dipublikasikan aleh Lampung Post pada Hari Jum`at Tanggal 23 November 2012