Sejarah PMII

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan salah satu elemen mahasiswa yang terus bercita-cita mewujudkan Indonesia ke depan menjadi lebih baik. Lahirnya PMII tentu tidak berjalan mulus, banyak sekali hambatan dan rintangan. Hasrat mendirikan organisasi NU sudah lama bergolak, namun pihak NU belum memberikan green light.

Islam Dalam Masyarakat yang Berkebudayaaan

Agama dan budaya merupakan dua unsur penting dalam masyarakat yang saling mempengaruhi. Ketika ajaran agama masuk dalam sebuah komunitas yang berbudaya.

Makna Lambang PMII

Makna Lambang PMII dan Makna Bendera PMII

Islam Agama Rahmatan Lil 'alamin

Agama Islam yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW diperuntukkan bagi seluruh umat manusia pada umumnya. Oleh sebab itu, Islam dikenal sebagai agama yang bersifat universal. Sebagaimana firman Allah SWT di dalam Al Qur’an : “Wamaa arsalnaka illa rohmatan lil ‘alamin” Yang artinya :” Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (Q.S. Al Anbiya’ : 107).

Kisah Mahbub Junaidi

Mahbub Junaidi namanya “Pendekar Pena” panggilannya. Sosok kelahiran 27 juli 1939.

Minggu, 13 Januari 2013

SOLUSI UNTUK KEMISKINAN DI INDONESIA

Oleh : Faridh Al-Muhayat Uhib H, S.Hut - Ketua Komisariat PMII Universitas Lampung 2007-2008

"Dari sabang sampai merauke berjajar pulau-pulau, sambung menyambung menjadi satu itulah Indonesia”, petikan lagu tersebut tidak asing ditelinga kita. Bukti bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dan kaya akan sumberdaya alam. Dari pulau yang satu kepualu yang lain memiliki potensi yang sangat banyak, namun mengapa cengkraman penjajah masih terus berlangsung di negeri kita ini? Kenaikan harga minyak dunia menjadi alasan pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak, sehingga subsidi minyak dari pemerintah dihilangkan. Akan tetapi jika subsidi minyak dihilangkan kenapa pemerintah mengeluarkan bantuan langsung tunai (BLT)?

Perusahaan Negara (BUMN) dan perusahaan swasta (BUMS) berlomba-lomba untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, mulai dari tambang minyak bumi, hingga tambang batu-batuan yang nilainya trilyunan rupiah. Namun seberapa besar kesejahteraan masyarakat terjamin dengan adanya aktivitas pertambangan tersebut? Sampai saat ini pemerintah tidak berdaya untuk melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan yang dapat menjamin kelangsungan hidup orang banyak, justeru yang terjadi sebaliknya yaitu berbondong-bondong menjual (BBM) aset Negara.

Peta perekonomian dunia semakin terbaca dengan adanya spekulasi seperti yang saat ini dimainkan oleh para “oknum” di Indonesia yaitu dengan menaikkan harga bahan bakar minyak, sehingga rakyat menjerit sedangkan kesenjangan terus terjadi dimasyarakat. Apakah ini bagian dari konspirasi dunia yang mengharuskan pemerintah untuk menswastanisasi asset-aset Negara sehingga mudah untuk digoyahkan ketika masyarakat sangat bergantung dengan produk-produk yang berkaitan dengan kebutuhan hidup sehari-hari. Sepertinya para pemimpin bangsa ini gagal untuk mengemban pesan Presiden Sukarno yang beliau katakan adalah “Aku titipkan bangsa dan negara ini jika engkau sanggup menjaganya”. Jika penjajahan “gaya baru” ini terus menerus dibiarkan, bagaimana nasib anak cucu kita nanti? Apa yang harus kita perbuat?

Indonesia Bukan Negara Miskin

Seharusnya pemimpin kita mensyukuri atas nikmat yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa kepada mereka yang diberi kepercayaan untuk memimpin rakyat Indonesia agar dapat mengantarkan kedalam pelaksanaan nilai-nilai Pancasila. Bukan sebagai tempat untuk menumpuk harta kekayaan yang penuh manipulasi atas nama rakyat. Indonesia bukan negara miskin, maka jangan sampai menganggap miskin rakyat kita sendiri sedangkan para pemimpin di Indonesia hidup dengan glamour dan penuh dengan kemewahan. Apakah ini bentuk keadilan sosial? Kemiskinan tercipta karena adanya sistem yang mengundang “berhala” dalam kemiskinan itu sendiri seperti Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Jika berhala tersebut dibiarkan maka semakin kuat dan susah untuk dikalahkan.

Kekayaan/aset negara haruslah dimanfaatkan untuk megentaskan kemiskinan disekitar kita itulah kenapa pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 harus tetap ada, namun saat ini hasil amandemen sudah banyak dicampurtangani oleh kepentingan pemodal. Jika undang-undang sudah dibuat untuk memberikan peluang bagi para pemodal, apakah hal tersebut bukan bagian dari feodalisme? Jika bukan mengapa kemiskinan dibiarkan saja? Inilah bentuk kekufuran kita dalam hidup berbangsa dan bernegara kepada Tuhan Yang Maha Memberi. Cukupkah dengan Corporate Sosial Responcibility (CSR) dari perusahaan-perusahaan yang terus menerus mengeruk kekayaan sumberdaya alam bangsa Indonesia yang terbukti sampai saat ini banyak meninggalkan masalah seperti permasalahan kerusakan lingkungan, konflik perebutan lahan, kesenjangan sosial, sedangkan disisi lain pemerintah terus membuat sistem feodal gaya baru.

Solusi dengan Prinsip Islam

Islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamin (rahmat bagi seluruh alam) menjawab permasalahan disaat pemberitaan gencar tentang beberapa studi perbandingan Komisi VIII DPR RI dalam rangka penyusunan RUU Kemiskinan. Jawaban atas pemberantasan Kemiskinan tidaklah cukup dengan membaut undang-undang, namun bagaimana masyarakat diperkuat dengan keimanan yang lebih baik. Itulah pemimpin sejati yang bukan hanay membangun secara fisik gedung-gedung dan fasilitas mewah lainnya namun bagaimana memberikan solusi nyata dimasyarakat. Contoh-contoh para pemimpin yang baik yaitu Nabi Muhammad SAW. Beliau mendapatkan julukan Sidiq, Amanah, Fatonah karena kecerdasannya, kejujurannya, dan tanggung jawabnya sehingga banyak sebutan dan gelar untuk beliu. Namun sedikit sekali orang mencontoh beliau karena dipandang sebelah mata. Pengaruh beliaulah yang terus memancar menerangi hati para umatnya, yang berpegang teguh pada Al-Qur’an Kemiskinan haruslah diberantas ditengah-tengah hegemoni kepentingan global, Indonesia harus berdiri diatas kaki sendiri (Berdikari) dengan Pertama, Rajin Bekerja seperti yang diterangkan dalam Al-Qur’an Surat Al-Mulk Ayat 15 yang artinya “Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezki-Nya.” Kedua, Yang Kuat membantu yang lemah, diawali dari lingkup keluarga seperti dalam Surat Al-Anfal Ayat 75 yang artinya “Dan anggota keluarga, sebagaimana lebih berhak terhadap anggota keluarga yang lain, menurut Kitab Allah.” Ketiga, zakat, infaq, sedekah, dan wakaf. Hal tersebut seperti perintah Allah SWT dalam Surat Al-Hajj Ayat 41 yang artinya “Dan sesungguhnya Allah akan menolong siapa yang menolong (Agama-Nya) karena sesungguhnya Allah itu Maha kuat, Maha teguh. Yaitu, mereka yang sekiranya Kami beri kedudukan yang teguh di bumi ini, mereka mau mendirikan shalat dan menunaikan zakat…..”. Selain itu perintah Allah terdapat dalam Alqur’an surat Al-Baqarah ayat 261 yang artinya “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah seupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir; seratus biji Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”. Keempat, musaadah yaitu memberikan bantuan kepada orang lain yang mengalami musibah. Kelima, Jiwar yaitu bantuan yang diberikan berkaitan dengan urusan bertetangga. Keenam, Memberdayakan sumber daya manusia yang menganggur. Ketujuh, Pengaturan kebijaksanaan fiskal dalam Islam tidak dikenal adanya konflik antara materi dan jiwa, dan tidak ada pemisahan antara ekonomi dan negara, kebijaksanaan fiskal merupakan salah satu perangkat untuk mencapai tujuan syariah yang dijelaskan Imam al-Ghazali termasuk meningkatkan kesejahteraan dengan tetap menjaga keimanan, kehidupan, intelektualitas, kekayaan dan kepemilikan.

Solusi tersebut menjadi penawaran atas kondisi saat ini jika aset-aset Negara banyak yang diperjualbelikan dengan mudah sehingga sektor-sektor perekonomian yang merupakan urat nadi bangsa Indonesia menjadi lemah kemudian rakyat dibuat semakin menderita.(*)

HUTAN KEKUATAN BANGSA INDONESIA

Menguak Misteri Sumber Daya Hutan untuk Menjawab Tantangan Masa Depan Bangsa Indonesia Oleh : Faridh Al-Muhayat Uhib H, S.Hut -Ketua Komisariat PMII Universitas Lampung 2008-2009) Indonesia yang kaya akan sumber daya alam khususnya hutan telah terbukti memberikan hasil kepada Negara Indonesia baik dalam berupa materiil maupun immaterial. Berapapun besarnya nilai dari hutan tidak dapat di hitung dengan angka-angka, walaupun saat ini telah banyak upaya untuk penghitungan besaran dari hutan atau high conservation value forest (HCVF). Karena hutan bagian dari alam semesta ciptaan Tuhan Yang Maha Esa perlu disyukuri dengan memanfatkannya secara bijak dan arif agar sumber daya hutan dapat menghasilkan manfaat yang lebih besar dikemudian hari. Jangan sampai bangsa kita menjadi bangsa yang kufur akan nikmat dari Tuhan YME karena melimpahnya kekayaan hutan yang bagaikan emas hijau terdampar dari sabang samapai merauke sehingga kita sebagai rakyat yang berdaulat atas negara kesatuan republik Indonesia (NKRI) ini tidak dapat lagi menikmati hasil dari hutan dan tinggal cerita belaka. Kerusakan hutan yang meliputi kerusakan ekosistem, hidroorologi, ekologi, tatanan sosial budaya masyarakat lokal merupakan salah satu dampak dari ketidak benaran kita dalam mengelola hutan. Jika kita mengelola secara benar adakah kerusakan akan terjadi? Tentu saja ada tetapi dapat diminimalisir secara objektif dan transparatif, sesuai dengan sistem pengelolaannya. Maka dampak kerusakan tersebut berakibat pada sebuah sistem tatanan negara Indonesia yaitu tidak sehatnya bangsa Indonesia baik secara mental, spiritual, jasmani maupun rohani. Sakit secara mental dapat diartikan sebagai dampak dari kerakusan manusia dalam mengambil sumber daya hutan secara berlebihan sehingga tidak akan puas akan hasil yang telah ia dapat. Manusia-manusia seperti ini jika dibiarkan maka akan menimbulkan manusia-manusia baru lagi, baik yang sama maupun yang berbeda. Manusia-manusia tersebut hidup di NKRI dan akan berinteraksi dengan manusia lain, sudah barang tentu akan menjadi candu bagi manusia lainnya yang ketika mentalitas dari manusia tersebut tidak segera ditangani. Karena mental bangsa kita ditentukan oleh mental-mental penduduknya. Secara spiritual, dampak dari rusaknya hutan yaitu kedekatan dari batiniah kepada Sang Pencipta, sesama manusia, dengan alam akan berpengaruh. Kita lihat bagaimana negara-negara maju yang kondisi alamnya sudah tidak bagus lagi. Mereka sangat sedikit memiliki lahan lagi untuk tempat tumbuh pohon, seperti di Jepang, Cina, Korea. Mereka tidak sadar bahwa sebenarnya batiniah mereka terhadap Tuhan telah terputus. Bagaimana batiniah dengan Tuhan dapat terputus? Kita mengikuti sebuah pola logika yang memang hutan sebagai salah satu penyambung batiniah dengan Tuhan. Ketika kita di dalam hutan, dipinggir hutan dan di luar hutan kita rasakan hal yang berbeda. Ketika didalam hutan kita mengetahui banyak hal yang ada disekitar kita. Ketika kita di pinggir hutan kita mengetahui hutan hanya dari pinggirnya saja, apa yang kita ketuahui selain hanya pemandangan dari luar? Berbeda dengan suasana di luar hutan, kita tidak tahu sama sekali apa itu hutan dan isinya. Dari logika tersebut Tuhan memberikan kita aqlu atau akal kita untuk kembali berfikir sebenarnya apa yang terjadi dengan diri kita dan alam kita. Maka hutan merupakan salah satu pemicu kita untuk melihat kebesaran ciptaan-Nya dan kita wajib mensyukurinya. Hubungan batin manusia dengan alam, bagaimana manusia dapat menyatukan batinnya dengan alam ketika kita melihat hutan telah rusak. Dampaknya yaitu pembentukan karakter yang tidak sehat. Alam menjadi pertanyaan besar, sejauh mana kita menjadikan alam sebagai tempat kita untuk berinteraksi dan mengelolanya? Apakah kita tidak menyadari bahwa alam memberikan banyak manfaat secara langsung maupun tidak langsung, baik manfaat ekonomi, ekologi, sosial, budaya dan lain-lain tetapi yang kita perbuat justeru merusaknya dan menghabisinya sebagai salah satu pemuas hasrat kita. Pernahkah kita berfikir untuk merawatnya, menjaganya secara sungguh-sungguh. Karena kita tahu bahwa hutan sebagai penyehat dalam batin kita maka sudah seharusnya kita berbondong-bondong untuk menyelamatkannya dari kepunahan yang saat ini terjadi. Mengapa hutan dapat menyehatkan Negara kita? Kita ketahui salah satu sumbangan terbesar hutan adalah oksigen (O2). Oksigen dihasilkan dari pohon dan tumbuhan yang mampu mereduksi gas polutan. Mampukah manusia mereduksinya? Karena resep yang paling manjur untuk menguras polutan-polutan adalah dengan memperbanyak pohon yaitu dengan mengadakan hutan, baik dalam skala keci maupun besar di berbagai tempat baik di pedalaman maupun di perkotaan. Jika negara penuh dengan polutan akhirnya banyak peluang yang hilang baik peluang bisnis, peluang maju, peluah mandiri, peluang cerdas, peluang sukses, peluang dan peluang lainnya akan hilang satu persatu. Sebagai cotoh kecil saja, jika Negara kita memiliki hutan yang rusak dan akhirnya negara tidak sehat, apakah akan ada orang yang memikirkan untuk mandiri? untuk maju? untuk pesat bisnisnya? untuk cerdas? untuk sukses?. Rakyat akan sibuk sendiri untuk mendapatkan peluang bagi dirinya mendapatkan cara sehat tanpa memikirkan orang lain, orang akan pergi dari bisnis karena tidak sehat udaranya, orang akan bodoh karena terganggu dengan kondisi negara tidak sehat udaranya. Banyak gangguan yang muncul ketika negara kita tidak sehat, maka saat ini harus mengurangi penyebab tidak sehatnya Negara dengan melestarikan hutan Indonesia. Maka mari kita selamatkan hutan Indonesia yang masih tersisa ini demi keberlangsungan hidup anak cucu kita nanti agar bangsa Indonesia kedepan menjadi macan dunia yang menyejukkan kehidupan di muka bumi ini. (*)

Sabtu, 12 Januari 2013

Arti Lambang dan Bendera PMII


LAMBANG PMII
Pencipta lambang PMII : H. Said Budairi
Makna lambang PMII

1.1. Bentuk :
a. Perisai berarti ketahanan dan keampuhan mahasiswa Islam terhadap berbagai tantangan dan pengaruh dari luar.
b. Bintang adalah perlambang ketinggian dan semangat cita-cita yang selalu memancar.
c. 5 (lima) bintang sebelah atas melambangkan Rasulullah dengan empat sahabat terkemuka (khulafaurrasyidin).
d. 4 (empat) bintang sebelah bawah menggambarkan empat mazhab yang berhadluan Ahlussunah Wal Jama’ah.
e. 9 (sembilan) bintang secara keseluruhan dapat berarti :
1. Rasulullah dengan empat orang sahabatnya serta empat orang imam mazhab itu laksana bintang yang selalu bersinar cemerlang, mempunyai kedudukan yang tinggi dan penerang umat manusia.
2. Sembilan bintang juga menggambarkan sembilan orang pemuka penyebar agama islam di Indonesia yang disebut dengan Wali Songo

1.2. Warna:
a. Biru, sebagaimana tulisan PMII, berarti kedalaman ilmu pengetahuan yang harus dimiliki dan harus digali oleh warga pergerakan, biru juga menggambarkan lautan Indonesia dan merupakan kesatuan Wawasan Nusantara
b. Biru muda, sebagaimana dasar perisai sebelah bawah berarti ketinggian ilmu pengetahuan, budi pekerti dan taqwa.
c. Kuning, sebagaimana perisai sebelah atas berarti identitas mahasiswa yang menjadi sifat dasar pergerakan, lambang kebesaran dan semangat yang selalu menyala serta penuh harapan menyongsong masa depan
1.3. Penggunaan:
a. Lambang PMII digunakan pada papan nama, bendera, kop surat, stempel, badge, jaket, kartu anggota, dan benda atau tempat lain yang tujuannya untuk menunjukkan identitas organisasi.
b. Ukuran lambang PMII disesuaikan dengan wadah penggunaanya.

2. BENDERA PMII
a. Pencipta Bendera PMII : Shaimory
b. Ukuran Bendera PMII : Panjang dan lebar (4 : 3)
c. Wrana dasar bendera PMII : Kuning
d. Isi bendera PMII :
- Lambang PMII terletak di bagian tengah
- Tulisan PMII terletak di sebelah kiri lambang membujur ke bawah.
e. Penggunaan bendera PMII
- Digunakan pada upacara-upacara resmi organisasi baik intern maupun ekstern dan upacara nasional.

Sejarah, Tujuan, dan Makna PMII

A. Sejarah
 
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan salah satu elemen mahasiswa yang terus bercita-cita mewujudkan Indonesia ke depan menjadi lebih baik.  Lahirnya PMII tentu tidak berjalan mulus, banyak sekali hambatan dan rintangan. Hasrat mendirikan organisasi NU sudah lama bergolak, namun pihak NU belum memberikan green light. Belum menganggap perlu adanya organisasi tersendiri untuk mewadahi anak-anak NU yang belajar di perguruan tinggi. melihat fenomena yang ini, keinginan  intelektual-intelektual muda itu tak pernah kendur, bahkan semakin berkobar-kobar  dari kampus ke kampus. hal ini bisa dimengerti karena kondisi sosial politik pada dasawarsa 50-an memang sangat memungkinkan untuk lahirnya organisasi baru. Banyak organisasi Mahasiswa bermunculan dibawah naungan payung induknya.  Misalkan saja HMI yang dekat dengan Masyumi, SEMI dengan PSII, KMI dengan PERTI, IMM dengan Muhammadiyah dan Himmah yang bernaung dibawah Al-Washliyah.

Hal yang wajar jika intelektual-intelektual muda NU ingin mendirikan wadah tersendiri dan bernaung dibawah panji bintang sembilan, dan benar keinginan itu diwujudkan di Jakarta pada bulan Desember 1955, berdirilah Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (IMANU) yang dipelopori oleh Wa'il Harits Sugianto. Sedangkan di Surakarta berdiri KMNU (Keluarga Mahasiswa Nahdhatul Ulama) yang dipelopori oleh Mustahal Ahmad. Namun keberadaan kedua organisasi mahasiswa tersebut tidak direstui bahkan ditentang oleh Pimpinan Pusat IPNU dan PBNU dengan alasan IPNU baru saja berdiri dua tahun sebelumnya yakni tanggal 24 Februari 1954 di Semarang. IPNU punya kekhawatiran jika IMANU dan KMNU akan memperlemah eksistensi IPNU. Jadi keberatan NU bukan terletak pada prinsip berdirinya IMANU dan KMNU, tetapi lebih pada pertimbangan waktu, pembagian tugas dan efektifitas organisasi. Oleh karenanya, sampai pada konggres IPNU yang ke-2 (awal 1957 di pekalongan) dan ke-3 (akhir 1958 di Cirebon). NU belum memandang perlu adanya wadah tersendiri bagi mahasiswa NU. Namun kecenderungan ini sudah mulai diantisipasi dalam bentuk kelonggaran menambah Departemen Perguruan Tinggi dalam kestrukturan organisasi IPNU.

Disamping latar belakang lahirnya PMII seperti diatas, pada waktu itu intelektual muda NU yang ada di organisasi lain seperti HMI merasa tidak puas atas pola gerak HMI. Mahasiswa NU menganggap bahwa HMI sudah berpihak pada salah satu golongan yang kemudian ditengarai bahwa HMI adalah anderbow partai Masyumi, sehinggga mahasiswa NU di HMI juga mencari alternatif lain. Senada denga pendapat Deliar Nur (1987), beliau mengatakan bahwa PMII merupakan cermin ketidakpuasan sebagian mahasiswa muslim terhadap HMI, yang dianggap bahwa HMI dekat dengan golongan modernis (Muhammadiyah) dan dalam urusan politik lebih dekat dengan Masyumi.

Berdasarkan permasalahan di atas dapat ditarik benang merah atau pokok-pokok pikiran dari makna dari kelahiran PMII: 1) Bahwa PMII lahir karena ketidakmampuan Departemen Perguruan Tinggi IPNU dalam menampung aspirasi anak muda NU di Perguruan Tinggi. 2) PMII lahir dari rekayasa politik sekelompok mahasiswa muslim (NU) untuk mengembangkan kelembagaan politik menjadi underbow NU dalam upaya merealisasikan aspirasi politiknya. 3) PMII lahir dalam rangka mengembangkan paham Ahlussunah Waljama`ah dikalangan mahasiswa. 4) PMII lahir dari ketidakpuasan mahasiswa NU yang saat itu ada di HMI, karena HMI tidak lagi mempresentasikan paham mereka (Mahasiswa NU) dan nota bene HMI adalah underbouw MASYUMI. 5) Bahwa lahirnya PMII merupakan wujud kebebasan berpikir, artinya sebagai mahasiswa harus menyadari sikap menentukan kehendak sendiri atas dasar pilihan sikap dan idealisme yang dianutnya. Dengan demikian ide dasar pendirian PMII adalah murni dari intelektual-intelektual muda NU sendiri bahwa  harus bernaung dibawah panji NU itu bukan berarti sekedar pertimbangan praktis semata, misalnya karena kondisi pada saat itu yang memang nyaris menciptakan iklim dependensi sebagai suatu kemutlakan. Tetapi, keterikatan PMII kepada NU memang sudah terbentuk dan sengaja dibangun atas dasar kesamaan nilai, kultur, akidah, cita-cita dan bahkan pola berpikir, bertindak dan berperilaku.

Konferensi Besar IPNU (14-16 Maret 1960 di kaliurang), disepakati untuk mendirikan wadah tersendiri bagi mahsiswa NU, yang disambut dengan berkumpulnya tokoh-tokoh mahasiswa NU yang tergabung dalam IPNU, keputusan penunjukan tim perumus pendirian organisasi yang terdiri dari 13 tokoh mahasiswa NU. Mereka adalah:

1.      Khalid Mawardi (Jakarta)
2.      M. Said Budairy (Jakarta)
3.      M. Sobich Ubaid (Jakarta)
4.      Makmun Syukri (Bandung)
5.      Hilman (Bandung)
6.      Ismail Makki (Yogyakarta)
7.      Munsif Nakhrowi (Yogyakarta)
8.      Nuril Huda Suaidi (Surakarta)
9.      Laily Mansyur (Surakarta)
10.  Abd. Wahhab Jaelani (Semarang)
11.  Hizbulloh Huda (Surabaya)
12.  M. Kholid Narbuko (Malang)
13.  Ahmad Hussein (Makassar)

Kemudian dalam sebuah musyawarah selama tiga hari (14-16 April 1960) di Taman Pendidikan Putri Khadijah (Sekarang UNSURI) Surabaya. Dengan semangat membara, mereka membahas nama dan bentuk organisasi yang telah lama mereka idam-idamkan. Kemudian organisasi itu diberi nama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Musyawarah juga menghasilkan susunan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga organisasi serta memilih dan menetapkan sahabat Mahbub Djunaidi sebagai ketua umum, M. Khalid Mawardi sebagai wakil ketua, dan M. Said Budairy sebagai sekretaris umum. Ketiga orang tersebut diberi amanat dan wewenang untuk menyusun kelengkapan kepengurusan PB PMII. Adapun PMII dideklarasikan secara resmi pada tanggal 17 April 1960 masehi atau bertepatan dengan tanggal 17 Syawwal 1379 Hijriyah.

Setelah berdirinya, PMII harus mengakui dengan tetap berpegang teguh pada sikap Dependensi timbul berbagai pertimbangan menguntungkan atau tidak dalam bersikap dan berperilaku untuk sebuah kebebasan menentukan nasib sendiri. Oleh karena itu haruslah diakui, bahwa peristiwa besar dalam sejarah PMII adalah ketika dipergunakannya istilah Independent dalam deklarasi Murnajati tanggal 14 Juli 1972 di Malang dalam MUBES III PMII, seolah telah terjadi pembelahan diri anak ragil NU dari induknya. Sejauh pertimbangan-pertimbangan yang terekam dalam dokumen historis, sikap independensi itu tidak lebih dari dari proses pendewasaan.

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sebagai generasi muda bangsa yang ingin lebih eksis dimata masyarakat bangsanya. Ini terlihat jelas dari tiga butir pertimbangan yang melatar belakangi sikap independensi PMII tersebut. Pertama, PMII melihat pembangunan dan pembaharuan mutlak memerlukan insan-insan Indonesia yang berbudi luhur, taqwa kepada Allah SWT, berilmu dan cakap serta tanggung jawab, bagi keberhasilan pembangunan yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat. Kedua, PMII selaku generasi muda indonesia sadar akan perannya untuk ikut serta bertanggungjawab, bagi keberhasilan pembangunan yang dapat dinikmati secar merata oleh seluruh rakyat. Ketiga, bahwa perjuangan PMII yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan idealisme sesuai deklarasi tawangmangu, menuntut berkembangnya sifat-sifat kreatif, keterbukaan dalam sikap, dan pembinaan rasa tanggungjawab. Berdasarkan pertimbangan itulah, PMII menyatakan diri sebagai organisasi Independent, tidak terikat baik sikap maupun tindakan kepada siapapun, dan hanya komitmen terhadap perjuangan organisasi dan cita-cita perjuangan nasional yang berlandaskan Pancasila.

A.     Tujuan PMII
PMII bertujuan untuk mendidik kader-kader bangsa dan membentuk pribadi muslim Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, terampil, cerdas dan siap mengamalkan ilmu pengetahuannya dengan penuh tanggung jawab. PMII dalam sejarahnya merupakan pelopor, pembaharu dan pengemban amanat intelektual dalam meningkatkan harkat martabat bangsa Indonesia.

B.     Makna Filosofis PMII
Nama PMII disusun dari empat kata yaitu “Pergerakan”, “Mahasiswa”, “Islam”, dan “Indonesia”. Makna “Pergerakan” yang dikandung dalam PMII adalah dinamika dari hamba (makhluk) yang senantiasa bergerak menuju tujuan idealnya memberikan kontribusi positif pada alam sekitarnya. “Pergerakan” dalam hubungannya dengan organisasi mahasiswa menuntut upaya sadar untuk membina dan mengembangkan potensi Ketuhanan dan kemanusiaan agar gerak dinamika menuju tujuannya selalu berada di dalam kualitas kekhalifahannya.

Pengertian “Mahasiswa” adalah golongan generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai identitas diri. Identitas diri mahasiswa terbangun oleh citra diri sebagai insan religius, insan dinamis, insan sosial, dan insan mandiri. Dari identitas mahasiswa tersebut terpantul tanggung jawab keagamaan, intelektual, sosial kemasyarakatan, dan tanggung jawab individual baik sebagai hamba Tuhan maupun sebagai warga bangsa dan negara. “Islam” yang terkandung dalam PMII adalah Islam sebagai agama yang dipahami dengan haluan/paradigma ahlussunah waljama’ah yaitu konsep pendekatan terhadap ajaran agama Islam secara proporsional antara iman, islam, dan ikhsan yang di dalam pola pikir, pola sikap, dan pola perilakunya tercermin sikap-sikap selektif, akomodatif, dan integratif.

Islam terbuka, progresif, dan transformatif demikian platform PMII, yaitu Islam yang terbuka, menerima dan menghargai segala bentuk perbedaan. Keberbedaan adalah sebuah rahmat, karena dengan perbedaan itulah kita dapat saling berdialog antara satu dengan yang lainnya demi mewujudkan tatanan yang demokratis dan beradab (civilized). Sedangkan pengertian “Indonesia” yang terkandung di dalam PMII adalah masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang mempunyai falsafah dan ideologi bangsa (Pancasila) serta UUD 1945 dengan kesadaran kesatuan dan keutuhan bangsa dan negara yang terbentang dari Sabang sampai Merauke yang diikat dengan kesadaran wawasan nusantara.

Sebagai sebuah organisasi islam, PMII berpandangan bahwa nilai-nilai keislaman (religionitas) dan keindonesiaan (nation state) merupakan perwujudan kesadaran seagai insan muslim Indonesia. Sedangkan kerangka keagamaan berdasarkan atas nilai keadilan, kebenaran, toleransi, moderat dan kemanusiaan. PMII  dirancang sebagai organ/instrumen perubahan sosial (social change). Secara individual, PMII menawarkan Liberasi dari segala hegemoni dan dominasi ideologi, Ide maupun gagasan. Secara kelembagaan, PMII adalah barisan intelektual muda yang menawarkan beragam format gerakan mulai dari keislaman, kebudayaan pers, wacana, ekonomi, hingga gerakan massa. PMII cukup mewadahi pluralitas potensi, minat dan kecenderungan otentitas individu. Ingat, masuk menjadi anggota PMII harus dilatarbelakangi dengan sebuah kesadaran sosial dan bukan sekedar untuk membunuh waktu.

Sabtu, 05 Januari 2013

Konsolidasi Demokrasi Indonesia

Oleh : Juwono S
 
Setiap akhir tahun berbagai kalangan di dunia menerbitkan survei kemajuan demokrasi di beberapa negara maju maupun negara berkembang.

Masing-masing survei membuat kajian berdasarkan selera ukuran dan indikator masing-masing.Ada yang mengedepankan “keterbukaan politik” seperti kemerdekaan pers, kebebasan berserikat, penghormatan pada golongan minoritas (suku, agama, dan ras). Ada juga yang mendasarkan pada besaran “golongan menengah” masingmasing negara. Survei bisnis dan ekonomi umumnya mengacu pada kemampuan pengelolaan utang publik maupun utang swasta serta kemampuan pengendalian fiskal negara.

Indonesia telah lama disebut sebagai “negara demokrasi terbesar ketiga”, setelah India dan Amerika Serikat, sedikitnya menurut hasil Bali Democracy Forum yang diselenggarakan 9-10 Desember 2010.Namun,beberapa kalangan mempertanyakan tolok ukur yang dipakai untuk pemeringkatan seperti itu.

Terutama kalangan aktivis yang menekankan pentingnya demokrasi ekonomi,sosial,dan budaya sebagai sandaran matra demokrasi dalam arti luas. Karena tolok ukur yang berbeda, muncul berbagai interpretasi tentang makna keberhasilan demokrasi di negara-negara seperti India, China,Brasil,dan Indonesia.

Kalau ditinjau dari tolok ukur hak asasi manusia (HAM) dalam lima matra yang utuh (kebebasan sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya), tidak ada negara maju maupun berkembang yang sempurna menjalankan demokrasi. Di India dan China, misalnya, yang masing-masing berpenduduk 1,1 dan 1,3 miliar manusia,hanya 300-350 juta orang yang memenuhi tolok ukur HAM secara utuh.

Jumlah orang India yang mampu secara ekonomi dan sosial menikmati “demokrasi ” hanyalah 300 juta yang menduduki “kelas menengah” India dengan pendapatan per kapita antara USD3.000-6.000 per tahun. Selebihnya, sekitar 700 juta manusia, belum terjangkau hak ekonomi, sosial, dan budaya.

India pemeringkat pertama demokrasi dunia kalau diukur hanya dari 2 matra HAM,yaitu kebebasan sipil dan kebebasan politik.Dari segi hak ekonomi, sosial, dan budaya, lebih dari 700 orang India terjerat dalam kenistaan yang menyedihkan.Demokrasi “gaya Westminster” tidak bersendikan keadilan dan kewajaran sosial, ekonomi, dan budaya.

“Kelas menengah” di China juga hanya berkisar 300- 350 juta orang yang sudah menikmati “kenaikan kelas” ekonomi selama 30 tahun kemajuan pesat China sejak 1979. Tetapi, rakyat China yang di pedalaman dan hidup jauh dari pusat-pusat ekonomi China di sepanjang kota-kota pantai selatan masih bergelut dengan perusakan lingkungan, penurunan kesehatan,dan kemiskinan yang amat mencengkam. Mukjizat“Konsensus Beijing” tidak bersendikan lima matra HAM yang utuh.

Mukjizat Brasil yang kerap dipuja- puja kalangan media negara maju juga tidak kalah memprihatinkan. Ketimpangan ekonomi antara kaya dan miskin,antara kota industri dan hutan di pedalaman, pembunuhan terhadap kaum miskin kota.

Di sejumlah negara Eropa Barat sekarang sedang dikaji sampai di mana demokrasi Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia bisa luput dari menjeratnya utang negara yang dialami Yunani, Spanyol, dan Irlandia.Pengelolaan uang negara jadi ukuran penting demokrasi yang sejati karena jaminan sosial ekonomi dari negara terancam beban pengetatan fiskal.

Di Amerika Serikat (AS), jawara demokrasi negara paling kaya di dunia,utang negaranya bahkan sudah mencapai 66% dari pendapat domestik bruto. Dana talangan pemerintah sebesar USD850 miliar lebih dipakai dan dinikmati oleh 13 bank swasta terbesar yang asetnya mencapai USD10,5 triliun.

AS mungkin demokrasi politik kedua terbesar di dunia; tetapi AS adalah suatu oligarki perbankan/keuangan di Wall Street, yang juga menguasai komisi-komisi ekonomi dan keuangan di DPR dan Senat AS. Reformasi layanan kesehatan untuk 30 juta orang AS tersendat oleh DPR dan Senat Amerika yang dikuasai lobi-lobi industri obat dan kesehatan yang amat kuat.

Terlepas dari debat demokrasi politik dan demokrasi ekonomi mancanegara, bagaimana demokrasi Indonesia? Jika ditinjau dari segi lima matra HAM secara utuh (sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya), potret demokrasi Indonesia tidak terlalu jelek, tetapi juga belum terlalu bagus. Dari 237 juta orang Indonesia, hanya sekitar 45- 50 juta “kelas menengah Indonesia” yang hidup layak dalam arti memiliki hunian layak untuk manusia, akses pada layanan publik yang memadai, cukup sandang pangan, serta terjangkau listrik dan air minum.Kelas
menengah Indonesia ini pendapatannya sekitar USD3.000- 7.500 setahun. Umumnya orang profesional atau semiprofesional di kota-kota besar (Jakarta, Surabaya,Medan,Makassar, Semarang,Palembang, dan sebagian kota madya yang memiliki infrastruktur yang memadai).

Dalam pertemuan Kabinet Indonesia Bersatu II dan para gubernur se-Indonesia pada April 2010, Presiden SBY menekankan pentingnya kebangkitan kelas menengah Indonesia untuk ”memajukan kualitas demokrasi Indonesia.” Kelas menengah Indonesia ini adalah andalan memajukan hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya secara utuh dan tak terpisahkan. Mereka kini diandalkan sebagai motor penggerak Indonesia yang lebih adil dan sejahtera dari Sabang sampai Merauke.

Kelas menengah yang 45-50 juta inilah yang menjadi sasaran bidik industri media massa hiburan, televisi,dan aneka ragam “talkshow”. Mereka orang-orang mapan yang naik ke dunia gemerlap “di atas garis kenikmatan”.

Mereka harus diingatkan untuk memperkuat konsolidasi demokrasi Indonesia ke bawah dengan mengurangi ketimpangan ekonomi,menutup celah sosial dan budaya yang masih mencengkam lebih dari separuh penduduk Indonesia, termasuk 57 juta kelompok usia 15-35 tahun yang rentan kerawanan sosial politik. Kelas menengah Indonesia ini harus menghindar diri dari “perangkap negara menengah” di mana anggota masyarakat yang telah naik ke kelas menengah menjadi puas diri dan tidak peduli pada mereka yang masih tertinggal.

Dan kelas menengah Indonesia harus berlomba untuk lebih baik daripada kelas menengah India,China,Brasil,bahkan kelas menengah AS sekalipun. Jika berhasil, barulah kita pantas menyatakan diri sebagai negara demokrasi yang berkualitas

SILSILAH GUS DUR

KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bin
KH. Abdul Wahid Hasyim bin
KH. Hasyim Asy’ari bin
KH. As’ari bin
Abu Sarwan bin
Abdul Wahid bin
Abdul Halim bin
Abdurrohman (P. Sambud Bagda) bin
Abdul Halim (P. Benawa) bin
Abdurrohman (Jaka Tingkir) bin
Ainul Yaqin (Sunan Giri) bin
Ishak bin
Ibrohim Asmuro bin
Jamaludin Khusen bin
Ahmad Syah Jalal bin
Abdulloh Khon bin
Amir Abdul Malik bin
Alawi bin
Muhammad Shohibul Mirbat bin
Ali Choli’ Qosam bin
Alawi Muhammad bin
Muhammad bin Alawi bin
Ubaidillah bin
Ahmad Al-Muhajir Ilallah bin
Isa Arrumi bin
Muhammad Annaqib bin
Ali Al-’Uroidi bin
Ja’far Shodiq bin
Muhammad Al-Baqir bin
Ali Zaenal Abidin bin
Husein putra
Siti Fathimah Az-Zahro binti
Rasulillah Muhammad SAW

Jumat, 04 Januari 2013

MAPABA BERSAMA KOMISARIAT- KOMISARIAT KAMPUS UMUM

PMII CABANG BANDAR LAMPUNG dalam waktu dekat ini tepatnya pada Hari Sabtu Tanggal 19 Januari 2013 akan melaksanakan Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA).  Sahabat Rubiat selaku ketua pelaksana kegiatan ini mengatakan bahwa,  Kaderisasi PMII di Kampus Umum masih sulit terutama dalam proses penambahan kuantitas kader, walaupun secara kualitas relatif bisa mengimbangi kader-kader komisariat lain.  harus diakui proses kaderisasi di kampus umum sering mengalami pasang surut siklus kehidupan organisasinya. barangkat dari masalah tersebut, untuk menghidupkan kembali gairah gerak sahabat-sahabat dan demi berlangsungnya proses kaderisasi di komisariat-komisariat kampus umum, Pengurus Cabang PMII Bandar Lampung ingin melakukan ekspansi langsung ke kampus-kampus umum, terlebih kampus swasta yang ada di Bandar Lampung. ungkap Rubiat.  sampai saat ini Anggota yang telah mendaftar sudah ada sekitar 20 Calon Anggota. sedangkan target peserta 50 Calon Anggota. Mapaba yang akan di Kantor Lakpesdam NU jalan RA. Basyid Labuhan Dalam Tanjung Seneng Bandar Lampung ini selain menyuguhkan materi-materi sesuai kurikulum Kaderisasi Formal PMII juga ditambah materi Wirausaha dan Ekonomi Mandiri, insyaAllah akan mendatangkan pemateri handal.

Rabu, 02 Januari 2013

MENGEMBANGKAN KONSEP ISLAM RAHMATAN LIL ‘ALAMIN

Agama Islam yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW diperuntukkan bagi seluruh umat manusia pada umumnya. Oleh sebab itu, Islam dikenal sebagai agama yang bersifat universal. Sebagaimana firman Allah SWT di dalam Al Qur’an  : “Wamaa arsalnaka illa rohmatan lil ‘alamin” Yang artinya :” Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (Q.S. Al Anbiya’ : 107).
Dalam konteks Islam rahmatan lil'alamin , Islam telah mengatur tata hubungan menyangkut aspek teologis, ritual, sosial, dan humanitas. Dalam segi teologis, Islam memberi rumusan tegas yang harus diyakini oleh setiap pemeluknya. Namun, hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk memaksa non-Muslim memeluk Islam (la ikraha fi al-din). Begitu halnya dalam tataran ritual yang memang sudah ditentukan operasionalnya dalam Alquran dan hadis. Namun, dalam konteks sosial, Islam sesungguhnya hanya berbicara mengenai ketentuan-ketentuan dasar atau pilar-pilarnya saja, yang penerjemahan operasionalnya secara detail dan komprehensif tergantung pada kesepakatan dan pemahaman masing-masing komunitas, yang tentu memiliki keunikan berdasarkan keberagaman lokalitas nilai dan sejarah yang dimilikinya.
Entitas Islam sebagai rahmat lil'alamin mengakui eksistensi pluralitas karena Islam memandang pluralitas sebagai sunnatullah, yaitu fungsi pengujian Allah pads manusia, fakta sosial, dan rekayasa sosial (social engineering) kemajuan umat manusia.
Agama Islam yang mengandung ajaran yang sempurna untuk dijadikan pedoman hidup manusia untuk menggapai keselamatan, kedamaian, kemakmuran, kesejahteraan baik di dunia maupun di akhirat, itulah misi Nabi Muhammad mengajarkan Islam kepada umat manusia. Kemakmuran disini bukan hanya ditujukan kepada manusia semata namun untuk seluruh makhluk yang ada di alam semesta ini yakni manusia, tumbuh-tumbuhan, binatang, alam dan lingkungan sekitar, serta semua makhluk ciptaan Allah. Oleh karena itu untuk mencapai itu semua harus memperhatikan kembali aspek hubungan antara manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia, serta hubungan manusia dengan alam. Karena dalam mengarungi kehidupan di dunia ini sudah pasti terdapat suatu hubungan atau interaksi.

Hubungan Manusia dengan Allah SWT.
Salah satu dasar hubungan antara manusia dengan Allah SWT adalah suatu keyakinan manusia itu sendiri terhadap Allah SWT sebagai Robb semesta alam. Hubungan vertikal antara manusia dengan Allah SWT harus dilandasi sebuah keimanan bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Tuhan tempat mengadu, bergantung dan tempat memohon pertolongan. Pada hakikatnya semua manusia di dunia ini membutuhkan Tuhan untuk ketentraman hati dan keselamatan jiwa. Sebagai umat Islam dasar keimanan terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al-Ikhlas: “Qul huwallahu ahad, Allahush shomad, Lam yalid walam yuulad walam yakullahu kufuan ahad”.
Yang artinya : “ Katakan, bahwa Dia-lah Allah Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.” (Q.S. Al- Ikhlas : 1-4).
Keyakinan seseorang kepada Allah  akan memberikan ketenangan dalam hidup manusia. Keyakinan atau keimanan inilah yang akan membawa manusia ke dalam  ketaqwaan. Ketaqwaan manusia dapat mengalami pasang surut, sehingga ketaqwaan inilah yang harus senantiasa ditingkatkan. Pemaknaan keimanan itu sendiri adalah meyakini dalam hati, mengikrarkan dengan lisan (ucapan) dan diamalkan dengan tindakan dan perbuatan, tentunya dengan melaksanakan semua perintah Allah SWT dan menjauhi semua larangan-larangan-Nya.

Hubungan Manusia dengan Manusia lainnya.
Manusia dalam kesehariannya sudah tentu berhubungan dan berinteraksi dengan manusia lainnya karena manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Sehingga hubungan antar manusia itu diatur dalam Al Qur’an dan Hadist agar tercipta keharmonisan, ketentraman dan kedamaian dalam kehidupannya. Hal ini diatur dalam firman Allah SWT :“Wa’tashimu bihablillahi jami’awwalaa tafarroqu, wadzkuru ni’matallahi ‘alaikum idzkuntum a’daa am fa allafa baina quluubikum faashbahtum bini’mati ikhwanan, ….. “
Yang artinya : “Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu berceraiberai dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara.” ( Q.S.Ali Imron : 103)
Dalam hidup ini harus senantiasa berpegang teguh pada ajaran-ajaran agama Islam yang benar. Dan sesama muslim kita senantiasa menghormati perbedaan yang terjadi. Kita tidak boleh menuduh seseorang sebagai orang kafir, munafiq, atau mengejek sesama muslim karena perbedaan itu. Tetapi apabila ada dari saudara kita sesama muslim yang menyimpang dari ajaran Islam kita harus mengajaknya untuk kembali kejalan yang benar (amar ma’ruf nahi mungkar).
Namun dalam hal aqidah kita harus sama yakni mengakui bahwa hanya Allah-lah yang patut kita sembah. Sesama muslim harus bersatu dan saling tolong menolong dalam kebaikan. Dalam pelaksanaan secara teknisnya dalam bermuamalah terdapat 3 macam yaitu :
Pertama, ukhuwah Islamiyah (persaudaraan antarumat Islam). Sejarah peradaban Islam diwarnai oleh perbedaan corak pandang keberagamaan, baik domain teologi, hukum, maupun spiritualitas.  Kedua, ukhwah wathaniyah (persaudaraan antarbangsa). Kerja sama antarbangsa mesti dijalin sebaik mungkin dalam rangka menuju perdamaian dan kesejahteraan dunia. Hubungan bangsa-bangsa ini tanpa membedakan latar belakang agama bangsa tersebut. Demarkasi kultural, teologis, dan struktural, pada wilayah ini musti didialogkan dan diupayakan pola relasi saling menguntungkan satu dan lainnya.
Ketiga, ukhuwah basyariyah atau insaniyah (persaudaraan antarmanusia). Persaudaraan antar sesama manusia yakni kita senantiasa berlaku baik pada setiap manusia karena derajat kita sama dihadapan Allah kecuali iman dan taqwa yang membedakannya. Islam menganggap bahwa seluruh umat manusia, tanpa harus membedakan suku, ras, warna kulit, bahkan agama, adalah saudara yang harus dilindungi dan saling melindungi. Islam mengharamkan penganiayaan terhadap orang lain di luar Islam dan meniscayakan hormat-menghormati dan sifat toleransi.
Ketiga macam ukhuwah ini harus diwujudkan secara berimbang menurut porsinya masing-masing. Satu dengan lainnya tidak boleh dipertentangkan. Melalui tiga dimensi ukhuwah inilah, Islam rahmatan lil 'alamin (pemberi rahmat alam semesta) akan terealisasi. Sebab, ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathaniyah merupakan landasan dan hal yang fundamental bagi terwujudnya ukhuwah insaniyah . Oleh karena itu, baik sebagai umat Islam maupun bangsa Indonesia, kita harus memerhatikan ukhuwah Islamiyah, ukhuwah insaniyah , dan ukhuwah wathaniyah secara serius, saksama, dan penuh kejernihan. Dalam hidup bertetangga dengan orang lain, bukan famili, bahkan non-Muslim atau non-Indonesia, kita diwajibkan berukhuwah dan memuliakan mereka dalam arti kerja sama yang baik selama mereka tidak menginjak dan menyakiti atau mengajak perang.

Hubungan Manusia dengan Alam
Perlakuan manusia terhadap alam tersebut dimaksudkan untuk memakmurkan kehidupan di dunia dan diarahkan untuk kebaikan akhirat. Di sini berlaku upaya berkelanjutan untuk mentransendensikan segala aspek kehidupan manusia. Sebab akhirat adalah masa depan eskatologis yang tak terelakkan. Kehidupan akhirat dicapai dengan sukses kalau kehidupan manusia benar-benar
fungsional dan beramal shaleh (al-Baqarah, 62; al-A’ashr).
            Kearah semua itulah hubungan manusia dengan alam ditujukan. Dengan sendirinya cara-cara memanfaatkan alam, memakmurkan bumi dan menyelenggara-kan kehidupan pada umumnya juga harus bersesuaian dengan tujuan yang terdapat dalam hubungan antara manusia dengan alam tersebut. Cara-cara itu dilakukan untuk mencukupi kebutuhan dasar dalam kehidupan bersama. Melalui pandangan ini haruslah dijamin kebutuhan manusia terhadap pekerjaan, nafkah dan masa depan, maka jelaslah hubungan manusia dengan alam merupakan hubungan pemanfaatan alam untuk kemakmuran bersama (al Mu’minun, 17-22; al-Hajj,65). Hidup bersama antar manusia berarti hidup antar kerjasama, tolong menolong dan tenggang rasa (Abasa, 17-32; an-Naazi’aat, 27-33).

MENGENAL SOSOK KH. M HASYIM ASY`ARI

KH. M. Hasyim Asy’ari
Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari lahir pada hari Selasa, 24 Dzulqa’dah 1287 H, bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871 M di Desa Gedang, satu kilometer sebelah utara Kota Jombang, Jawa Timur. Ayahnya bernama Kiai Asy’ari berasal dari Demak, Jawa Tengah. Ibunya bernama Halimah, puteri Kiai Utsman, pendiri Pesantren Gedang.

KH. M. Hasyim Asy’ari merupakan keturunan kesepuluh dari Prabu Brawijaya VI keturunan kedelapan dari jaka tingkir (raja kesutanan pajang). Mula-mula beliau belajar agama dibawah bimbingan ayahnya sendiri. Otaknya yang cerdas menyebabkan ia lebih mudah menguasai ilmu-ilmu pengetahuan agama, misalnya: Ilmu Tauhid, Fiqih, Tafsir, Hadits dan Bahasa Arab. Karena kecerdasannya itu, sehingga pada umur 13 tahun ia sudah diberi izin oleh ayahnya untuk mengajar para santri yang usianya jauh lebih tua dari dirinya.

Mula-mula Kiai Hasyim menimba ilmu di Pesantren Wonokoyo Probolinggo. Kemudian mendalami ilmu agama ke Pesantren Langitan, Tuban. Dan setelahnya nyantri ke Pesantren Trenggilis, Semarang. Kemudian nyantri lagi di Demangan, Bangkalan di Pulau Garam (Madura) di bawah asuhan Kiai Cholil. Dan mendalami ilmu agama lagi demi memuaskan jiwanya yang haus akan ilmu pengetahuan di Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo) yang di asuh Kiai Ya’qub inilah, Kiai Hasyim semacam benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kiai Ya’qub dikenal sebagian ulama’ berpandangan luas cukup alim dalam beragama, cukup lama Kiai Hasyim menimba ilmu di Pesantren Siwalan, dalam kurun waktu sekitar 5 tahun Kiai Hasyim menimba ilmu di Pesantren Siwalan.

Kemauan yang keras untuk mendalami ilmu agama, menjadikan diri Muhammad Hasyim sebagai musafir pencari ilmu. Selama bertahun-tahun berkelana dari pondok satu ke pondok yang lain. Pada tahun 1892 KH. Hasyim Asy’ari pergi menimba ilmu ke Mekah, bahkan beliau bermukim di Makkah selama bertahun-tahun dan berguru kepada ulama-ulama Makkah yang termasyhur pada saat itu, seperti: Syekh Muhammad Khatib Minangkabau, Syekh Nawawi Banten dan Syekh Mahfudz At Tarmisi, Syekh Ahmad Amin Al-Aththar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said Yamani, Syekh Rahmatullah, Syekh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As-Saqqaf, dan Sayyid Husein Al-Habsyi. Muhammad Hasyim adalah murid kesayangan Syekh Mahfudz, sehingga beliau juga dikenal sebagai ahli hadits dan memperoleh ijazah sebagai pengajar Shahih Bukhari. Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah di Johor, Malaysia dan mengajar di sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy'ari mendirikan pesantren di Tebuireng, Jombang.

Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi dari gurunya, Syekh Mahfudh at-Tarmisi di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru kepada Syekh ternama asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping Syekh Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau. Kepada dua guru besar itu pulalah Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru. Dalam hal tarekat, Hasyim tidak menganggap bahwa semua bentuk praktek keagamaan waktu itu salah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya, ia berpesan agar ummat Islam berhati-hati bila memasuki kehidupan tarekat.

Pada tahun 1926 bersama K.H. Abdul Wahab Hasbullah dan sejumlah ulama lainnya di Jawa Timur, Kyai Hasyim memprakarsai lahirnya Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Sejak awal berdirinya, Kyai Hasym dipercayakan memimpin organisasi itu sebagai Rois Akbar. Jabatan ini dipegangnya dalam beberapa periode kepengurusan.
Setelah NU berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat. Terbukti, pada l937 ketika beberapa ormas Islam membentuk badan federasi partai dan perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal dengan sebuta MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) Kiai Hasyim diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah memimpin Masyumi, partai politik Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia.
KH. M. Hasyim Asy’ari adalah seorang ulama yang luar biasa. Hampir seluruh kiai di Jawa mempersembahkan gelar “Hadratus Syekh” yang artinya “Maha Guru” kepadanya, karena beliau adalah seorang ulama yang secara gigih dan tegas mempertahankan ajaran-ajaran madzhab. Dalam hal madzhab, beliau memandang sebagai masalah yang prinsip, guna memahami maksud sebenarnya dari Al Quran dan Hadits. Sebab tanpa mempelajari pendapat ulama-ulama besar khususnya Imam Empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali, maka hanya akan menghasilkan pemutar balikan pengertian dari ajaran Islam itu sendiri. Penegasan ini disampaikan beliau dihadapan para ulama peserta Muktamar NU III, September 1932 dan penegasan itu kemudian dikenal sebagai “Muqaddimah Qonun Asasi Nahdlatul Ulama”.

Dalam rangka mengabdikan diri untuk kepentingan umat, maka KH. M. Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren Tebuireng, Jombang pada tahun 1899 M. Pengabdian Kiai Hasyim bukan saja terbatas pada dunia pesantren, melainkan juga pada bangsa dan negara. Sumbangan beliau dalam membangkitkan semangat nasionalisme dan patriotisme pada saat jiwa bangsa sedang terbelenggu penjajah, tidaklah bisa diukur dengan angka dan harta. Memang cukup sulit mengelompokkan mana yang pengabdian terhadap agama, dan yang mana pula pengabdian beliau terhadap bangsa dan negara. Sebab ternyata kedua unsur itu saling memadu dalam diri Kiai Hasyim. Di satu pihak beliau sebagai pencetak ribuan ulama atau kiai di seluruh Jawa, di lain pihak belaiu seringkali ditemui tokoh-tokoh pejuang nasional seperti Bung Tomo maupun Jenderal Soedirman guna mendapatkan saran dan bimbingan dalam rangka perjuangan mengusir penjajah.

Diceritakan oleh H. Abu Bakar Atjeh dalam Sejarah Hidup KH Abdul Wahid Hasyim bahwa pada tahun 1937 datang seorang amtenar tinggi penguasa Belanda menjumpai Kyai Hasyim untuk menyampaikan tanda kehormatan pemerintah Belanda kepadanya berupa bintang emas. Dengan tegas Kyai HAsyim menolak pemberian itu karena khawatir keikhlasan hatinya beramal akan ternoda oleh hal-hal yang bersifat materiil. Tidak mudah meluluhkan cita-cita Kyai Hasyim sebab ia adalah Ulama yang berpendirian teguh, pantang mundur.

Pada masa revolusi fisik melawan penjajah Belanda tersebut, KH Hayim Asy’ari dikenal karena ketegasannya terhadap penjajah dan seruan Jihadnya yang menggelorakan para santri dan masyarakat Islam. Beliau mengajak mereka untuk berjihad melawan penjajah dan menolak bekerja sama dengan penjajah.

Demikian pula halnya di masa pemerintahan Jepang. Pada tahun 1942, tatkala penguasa Jepang menduduki Jombang, KH Hasyim ditangkap dan dimasukkan kedalam tahanan. Lalu diasingkan ke Mojokerto untuk ditawan bersama-sama sengan serdadu-serdadu sekutu. Berbulan-bulan ia mendekam dalam penjara tanpa mengetahui kesalahan apa yang dituduhkan atas dirinya.


Pada tanggal 7 Ramadlan 1366 bertepatan dengan tanggal 25 Juli 1947, KH.M. Hasyim Asy’ari berpulang ke Rahmatullah. Atas jasa beliau, pemerintah Indonesia menganugerahi gelar “Pahlawan Nasional” (SK Presiden RI No.294 Tahun 1964, tgl 17 Nop 1964).

Islam Dalam Masyarakat yang Berkebudayaaan

Agama dan budaya merupakan dua unsur penting dalam masyarakat yang saling mempengaruhi. Ketika ajaran agama masuk dalam sebuah komunitas yang berbudaya, akan terjadi tarik menarik antara kepentingan agama di satu sisi dengan kepentingan budaya di sisi lain. Demikian juga halnya dengan agama Islam yang diturunkan di tengah-tengah masyarakat Arab yang memiliki adat-istiadat dan tradisi secara turun-temurun. Mau tidak mau dakwah Islam yang dilakukan Rasulullah harus selalu mempertimbangkan segi-segi budaya masyarakat Arab waktu itu. Bahkan, sebagian ayat al-Qur’an turun melalui tahapan penyesuaian budaya setempat.

Proses adaptasi antara ajaran Islam (wahyu) dengan kondisi masyarakat dapat dilihat dengan banyaknya ayat yang memiliki asbâb al-nuzûl. Asbâb al-nuzûl merupakan penjelasan tentang sebab atau kausalitas sebuah ajaran yang diintegrasikan dan ditetapkan berlakunya dalam lingkungan sosial masyarakat. Asbâb al-nuzûl juga merupakan bukti adanya negosiasi antara teks Al-Qur’an dengan konteks masyarakat sebagai sasaran atau tujuan wahyu.

Hubungan antara agama dengan kebudayaan merupakan sesuatu yang ambivalen. Agama (Islam) dan budaya mempunyai independensi masing-masing, tetapi keduanya memiliki wilayah yang tumpang-tindih. Di sisi lain, kenyataan tersebut tidak menghalangi kemungkinan manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya.

Pada perkembangan selanjutnya terdapat perbedaan pendapat di kalangan umat Islam tentang hasil dari proses dialog tersebut. Sebagian berpendapat rumusan ketetapan dianggap sebagai ajaran final yang harus diterapkan di semua lapisan ummat Islam, sedangkan pendapat lain mengemukakan bahwa yang final bukanlah hasil dari proses dialog, tetapi nilai dasar yang ingin disampaikan dari ayat yang bersangkutan. Sehingga sangat mungkin terjadi perbedaan aplikasi dari ketentuan yang sudah ada. Hal ini karena masing-masing umat Islam memiliki budaya yang berbeda, hasil akhirnya ditentukan oleh kreatifitas masyarakat dalam mendialogkan kebudayaan mereka dengan ajaran agama yang diyakininya

Di sisi lain terdapat pendapat bahwa Islam tidak identik dengan Arab, sehingga tidak semua yang berbau Arab adalah Islam. Harus dibedakan antara Islam sebagai agama dan Arab sebagai budaya. Di sinilah perlunya memilah antara mana yang merupakan ajaran dasar Islam dan mana yang telah berakulturasi dengan budaya Arab. Islam adalah agama universal sehingga ajarannya harus bisa diterapkan di manapun dan pada waktu kapan pun.

Atas dasar inilah, pemikiran akulturasi Islam dengan budaya lokal dan relasi ajaran agama (Islam) dengan nilai-nilai lokal muncul termasuk di Indonesia. Allah SWT menciptakan manusia dalam kemajemukan yang terdiri atas suku, bangsa dan tersebar di berbagai tempat. Kemajemukan tersebut melahirkan adat dan tradisi yang sangat beragam. Namun demikian manusia dibekali software yang tidak diberikan kepada makhluk lain, yaitu akal. Dengan akal inilah manusia menjadi makhluk yang sangat terhormat dan diharapkan bisa menjadi khalifah di muka bumi serta mampu menciptakan kreasi-kreasi baru yang membawa kemaslahatan bagi sesama. Dengan kesempurnaan yang dimilikinya, Allah SWT ‘menaruh harapan’ bahwa mereka mampu melakukan yang terbaik di muka bumi. Semua itu sebagai amanah Allah SWT yang harus kita manifestasikan untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah Yang Maha Esa.

Masyarakat Indonesia memiliki beragam adat dan tradisi yang berbeda dengan negara-negara lain, bahkan dari satu daerah ke daerah yang lain. Beragamnya agama, bahasa dan budaya adalah keniscayaan dalam konteks keindonesiaan. Ketika masuk ke Indonesia lewat Walisongo, Islam begitu ramah menyapa umat. Tidak ada tindakan anarkis dan frontal melawan tradisi. Kelihaian Walisongo mengakomodasi budaya setempat ke dalam ajaran-ajaran Islam, menampakkan hasil yang luar biasa. Para masyarakat yang sebelumnya menjadi penganut kuat ajaran dinamisme dan animisme, pelan-pelan berbondong-bondong menghadiri majelis-majelis yang diselenggarakan Walisongo. Mereka hadir bukan karena dipaksa, tapi karena sadar bahwa ajaran Islam sangat simpatik dan ‘patut’ diikuti.

Itu hasil kreasi yang patut diapresiasi. Islam adalah agama yang mampu berakumulasi, bahkan hampir bisa dikatakan tak pernah bermasalah dengan budaya setempat. Bahkan budaya bisa didesain ulang atau dimodifikasi dengan tampilan yang elegan menurut syara’ dan lebih berdayaguna demi meningkatkan kasejahteraan hidup. Dengan demikian, kehadiran Islam di tengah masyarakat, dimanapun dan sampai kapanpun, akan selalu menjadi rahmatan lil alamin. Adat atau tradisi yang dimaksud di sini adalah adat yang tumbuh dan berkembang disuatu komunitas dan hal itu –secara prinsip- tidak terdapat dalam ritual syariah Islam, baik pada masa Rasulullah SAW. Adat atau tradisi semacam ini adalah sah-sah saja dan tak masalah. Tentunya dengan catatan, adat atau tradisi tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai luhur Islam, mempunyai tujuan mulia dan disertai niat ibadah karena Allah SWT. Dalam Kaidah fikih dikatakan, “al-Adah Muhakkamah ma lam yukhalif al-Syar'” (Tradisi itu diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan dasar-dasar syariah).

Sahabat Abdullah bin Abbas mengatakan: Setiap sesuatu yang umat Islam menganggap baik, maka menurut Allah baik juga, dan yang mereka anggap buruk, maka buruk juga manurut Allah” (Diriwayatkan Al-Hakim). Ia juga berpesan: Sesungguhnya Allah melihat hati hambanya, selalu ditemukan hati Muhammad SAW, sebaik-baiknya hati hambanya, lalu memilihnya untuk-Nya, dan mengutusnya. Lalu melihat hati hambanya selain Muhammad, dan ditemukan beberapa hati sahabatnya, lalu menjadikannya menteri bagi nadi-Nya. Setiap suatu yang umat Islam menganggap baik, maka menurut Allah baik juga, dan yang mereka anggap buruk, maka buruk juga menurut Allah” (Diriwayatkan oleh Ahmad)

Dalam Hasiyah as-Sanady disebutkan, “Bahwa sesungguhnya sesuatu yang mubah (tidak ada perintah dan tidak ada larangan) bisa menjadi amal ibadah selama disertai niat baik. Pelakunya mendapatkan imbalan pahala atas amal tersebut sebagaimana pahalanya orang-orang yang beribadah”. (Hasiyah as-Sanady, Jilid 4, hal.368).

Imam Syafi’i memberikan batasan ideal tentang adat atau tradisi ini, menurutnya, selama adat atau tradisi itu tidak bertentangan dengan dasar-dasar syariat, itu hal terpuji. Artinya, agama memperbolehkannya. Sebaliknya, jika adat atau tradisi tersebut bertentangan dengan dasar-dasar syariat, hal itu dilarang dalam Islam. Menurut Imam Syafi’i yang dinukil oleh Baihaqi dalam kitabnya Manakip As Syafi’i lil Baihaqi:  Hal baru (bid’ah) terbagi menjadi 2 (dua) macam. Adakalanya hal baru itu bertentangan dengan Al-Qur'an, as-Sunnah, al-Atsar, atau ijma Ulama. Itulah bid’ah yang tercela. Sedangkan hal baru yang tidak bertentangan dengan dasar-dasar agama tersebut adalah bid’ah yang terpuji. (Fathul Bari, karya Ibn Hajar, jilid 20, hal:330).

Dengan cara mengisi seluruh elemen budaya dam kehidupan dengan nilai-nilai Islam tanpa harus mengilangkan dan merubah budaya tersebut, menyebabkan Islam bisa diterima dengan mudah oleh masyarakat. Implikasi logis dari model dakwah tersebut, yakni terjadinya akulturasi Islam dengan budaya lokal. Selain karena proses akulturasi budaya akomodatif tersebut, menurut Ibnu Kholdun, juga karena kondisi geografis seperti kesuburan dan iklim atau cuaca yang sejuk dan nyaman yang berpengaruh juga terhadap perilaku penduduknya.

Islam sebagai entitas yang hidup dan dinamis, ia terus berkembang, baik karena perjalanan usianya maupun karena persentuhannya dengan berbagai budaya dan tradisi. Islam harus didefinisikan berdasarkan suara umat Islam itu sendiri sesuai dengan konteks budayanya masing-masing. Dialektika yang dinamis selalu terjadi antara Islam dalam kategori universal-normatif dengan lokalitas-historis di mana dia hidup.

Corak keberislaman di Indonesia yang masih mewarisi produk Islamisasi para pendakwah di masa lampau yang dilakukan para ‘wali’ itu masih terus dilestarikan sebagai ekspresi ke-Islam-an di satu sisi dan ekspresi lokalitas di sisi yang lain.

Pada dasarnya Islam merupakan agama yang bersikap akomodatif, selektif, dan proporsional dalam merespons tradisi lokal. Akomodatif yang dimaksud adalah bahwa Islam dibenarkan menerima tradisi lokal, namun ia juga selektif dalam arti bahwa tidak semua tradisi lokal diakomodasi, tetapi tradisi lokal yang ‘baik’ saja (al-qadîm al-shâlih) yang mungkin diterima. Sementara penerimaannya pun harus proporsional.

Sikap akomodatif ini pula yang telah mengantarkan umat Islam sebagai komunitas terbesar di Indonesia. Tanpa sikap akomodatif seperti ini gesekan dan benturan dalam interaksi sosial di Indonesia akan terasakan begitu kuat. Sikap kontradiktif terhadap budaya lokal akan bertentangan dengan watak sosiologis dan geografis yang lebih memberikan peluang dan potensi besar terhadap terbentuknya sikap yang akomodatif. Semoga Islam di Indonesia akan tetap berkembang selama masih membawakan kesejukan bagi kehidupan masyarakatnya(*).
Wallahul Muwafiq Ilaa Aqwamit Thariq