Sejarah PMII

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan salah satu elemen mahasiswa yang terus bercita-cita mewujudkan Indonesia ke depan menjadi lebih baik. Lahirnya PMII tentu tidak berjalan mulus, banyak sekali hambatan dan rintangan. Hasrat mendirikan organisasi NU sudah lama bergolak, namun pihak NU belum memberikan green light.

Islam Dalam Masyarakat yang Berkebudayaaan

Agama dan budaya merupakan dua unsur penting dalam masyarakat yang saling mempengaruhi. Ketika ajaran agama masuk dalam sebuah komunitas yang berbudaya.

Makna Lambang PMII

Makna Lambang PMII dan Makna Bendera PMII

Islam Agama Rahmatan Lil 'alamin

Agama Islam yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW diperuntukkan bagi seluruh umat manusia pada umumnya. Oleh sebab itu, Islam dikenal sebagai agama yang bersifat universal. Sebagaimana firman Allah SWT di dalam Al Qur’an : “Wamaa arsalnaka illa rohmatan lil ‘alamin” Yang artinya :” Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (Q.S. Al Anbiya’ : 107).

Kisah Mahbub Junaidi

Mahbub Junaidi namanya “Pendekar Pena” panggilannya. Sosok kelahiran 27 juli 1939.

Minggu, 29 Juli 2012

PMII GELAR KAJIAN DAN DIALOG KE-ISLAMAN


(Sabtu/28/07/2012)  PMII Cabang Bandarlampung menggelar Kegiatan Safari Ramadhan 1433H. Kegiatan ini dilaksanakan di Masjid Nurul Iman Sepang Jaya Bandarlampung, yang diikuti oleh masyarakat Sepangjaya, Risma dan perwakilan mahasiswa dari seluruh perguruan tinggi yang ada di Bandarlampung yang tergabung dalam Pergerakan Mahasiswa  Islam Indonesia (PMII). Kegiatan ini berisi kajian dan dialog menjelang berbuka puasa, dengan mengusung tema universal yaitu “membumikan Islam Rahmatan Lil’alamin” dengan narasumber DR. KH. Khairuddin Tahmid, MH. yang merupakan dosen fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Lampung. Menurut ketua pelaksana kegiatan Angga Andala “Kegiatan safari Ramadhan ini merupakan salah satu progja PMII Cabang Bandarlampung dan terseleggara atas kerjasama PMII dengan Harian LampungPost serta Remaja Islam Masjid dan Kegiatan  Insyallah akan dilaksanakan rutin setiap satu kali dalam seminggu pada bulan Ramadhan tahun ini, dengan lokasi yang berbeda diseluruh Bandarlampung”.

Dalam sambutannya saat membuka acara Ketua Umum PC PMII Bandarlampung Mutakin yang juga menjadi moderator dialog menyampaikan bahwa puasa merupakan salah satu ibadah untuk mensucikan jiwa, meningkatkan keimanan serta mengajarkan kita tentang bagaimana mengangkat derajad untuk menjadi manusia yang bermartabat dan lebih dekat dengan Allah Subhanahu Wata'ala. Dalam kajian dan dialog ini, DR.KH.Khoiruddin Tahmid,MH menyampaikan  bahwa kaum Muslimin dan Muslimat untuk senantiasa berusaha mengaktualisasikan hikmah Bulan Suci Ramadhan ke dalam kehidupan pribadi maupun sosial kemasyarakatan dengan menjunjung tinggi keimanan guna mendukung terciptanya keshalehan secara pribadi dan shaleh secara sosial dalam bingkai Islam yang Rahmatan Lilalamin.

Suasana khusyuk mewarnai kegiatan safari Ramadhan PMII ini. Jamaah sangat antusias dalam menerima materi tausiyah dari narasumber. Kegitan ini diakhiri dengan doa dan buka puasa bersama dilanjutkan dengan sholat Maghrib berjamaah.

Kamis, 26 Juli 2012

Sejarah PMII Dalam Dunia Kepemudaan dan Penyelamatan HMI

PMII Sebagai organisasi mahasiswa yang juga berdimensi kepemudaan, maka aktivitas-aktivitas yang dilakukan disamping di dunia kemahasiswaan juga dunia kepemudaan. Aktivitas PMII yang patut dicatat disini antara kurun waktu 1965 – 1968, hal ini penting karena berkaitan dengan lahirnya angkatan baru dalam dunia kepemudaan di Indonesia, yang akhirnya angkatan ini dikenal dengan istilah “ANGKATAN 66”.

Kelahiran angkatan 66 ini merupakan reaksi terhadap kebijaksanaan Presiden Soekarnoe yang membiarkan PKI dan antek-anteknya tetap hidup di Bumi Pertiwi ini, kendatipun PKI melakukan makar dengan melakukan gerakan 30 September. Ketidakmampuan pemerintah Orde Lama untuk mengambil tindakan tegas terhadap PKI ini, mungkin dikarenakan kekhawatiran rezim Soekarnoe akan reaksi pemeritah Komunis Cina yang merupakan pendukung utama dalam menghadapi politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara barat lainnya. Tetapi tindakan rezim Orde Lama yang seperti ini berakibat fatal, dengan semakin banyaknya rakyat yang tidak puas terhadap rezim Soekarnoe, terutama mereka yang dulu sering difitnah oleh PKI serta antek-anteknya. Keadaan yang demikian itu semakin diperburuk oleh ketidak mampuan rezim Orde Lama dalam menangani persoalan ekonomi, disamping ketidakmampuan lembaga Legeslatif menjalankan fungsi kontrolnya terhadap penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan pemerintah Orde Lama.

PMII sebagai bagian dari mahasiswa dan generasi muda bangsa merasa terpanggil untuk membela kepentingan rakyat. Karena melihat lembaga Legeslatif tidak mampu menjalankan peran dan fungsinya serta tersumbatnya saluran dialog dengan pemerintah, maka mahasiswa mengambil alih peran legeslatif dan gerakan protes di jalan-jalan raya. Mereka meneriakkan aspirasi rakyat yang tertindas yang dikenal dengan TRI-TURA (tiga tuntutan hati nurani Rakyat). Sejak saat itulah gerakan mahasiswa, pemuda dan pelajar dikenal dengan istilah baru “GERAKAN PARLEMEN JALANAN”.

Gerakan parlemen jalanan ini sangat mungkin terjadi, karena suasana politik saat itu memungkinkan mahasiswa, pemuda dan pelajar matang secara politik. Hal ini akibat sistem politik yang dikembangkan pemerintah Orde Lama waktu itu.

Sebelum lebih jauh membicarakan angkatan 66 ada baiknya kita melihat peran generasi muda khususnya generasi muda Islam dalam sejarah kepemudaan di Indonesia, dari sini kita bisa melihat sejauh mana peran PMII dalam sejarah kepemudaan di Indonesia.

Sewaktu organisasi mahasiswa, pelajar dan pemuda yang dulunya mempunyai hubungan baik dengan eks partai Masyumi, seperti GPII (Gerakan pemuda Islam Indonesia), PII (Pelajar Islam Indonesia), dan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) sedang mengalami cobaan berat, terutama cobaan yang berasal dari fitnahan PKI dan organ-organ sayapnya, bahkan akhirnya GPII dibubarkan. Atas inisiatif GP. Ansor dan PMII menghimpun organisasi pemuda pelajar dan mahasiswa Islam, yang diharapkan mampu menumbuhkan rasa solidaritas dikalangan pemuda Islam, maka pada tanggal 19- 26 Desember 1964 bertempat di Jakarta diselenggarakan musyawarah generasi muda Islam (GEMUIS)

Musyawarah ini akhirnya memutuskan dibentuknya organisasi federasi pemuda, pelajar dan mahasiswa Islam yang kemudian dikenal dengan nama GEMUIS (generasi muda Islam). Salah satu hasil dari musyawarah itu adalah pernyataan yang berkenaan dengan usaha penyelamatan terhadap Nasib HMI yang sedang mengalami cobaan berat dari rongrongan dan fitnahan CGMI dan pemerintahan Orde Lama.

Pernyataan yang dikeluarkan sebagai hasil musyawarah Gemuis yang berkenaan dengan pembelaan terhadap HMI adalah :

    HMI bukan onderbow dan tidak pernah mempunyai hubungan organisatoris dengan partai/organisasi manapun.
    Masalah yang dihadapi HMI tidak dapat dipisahkan dari masalah keseluruhan Ummat Islam.

Peranan PMII dalam Gemuis cukup besar, ketika musyawarah pertama kali diadakan, Ketua I PP PMII sahabat Chalid Mawardi bertindak sebagai sekjen panitia Munas tersebut, bahkan dalam struktur kepengurusan Gemuis, PMII dipercaya menjadi sekjen persedium pusat.

3. Organisasi mahasiswa ekstra Universitas di Indonesia juga berhimpun dalam wadah yang dikenal dengan nama PPMI (Perhimpunan Pergerakan Mahasiswa Indonesia).

PMII dengan surat permohonan tanggal 14 Desember 1960 masuk menjadi anggota PPMI, yang secara aklamasi diterima oleh persedium pusat PPMI. Namun pada tahun 1965 ketika PMII ditawari jabatan Sekjen persedium pusat PPMI, PMII menolak tawaran itu, sebelum organisasi itu mengadakan kongres terlebih dahulu. PMII menuntut adanya perubahan struktural dalam organisasi tersebut. Karena PMII beranggapan PPMI terlalu didominir oleh organisasi-organisasi mahasiswa yang sebenarnya tidak mempunyai basis kekuatan massa dibawah, disamping PMII sangat menyesalkan sikap persedium pusat PPMI yang bertindak mengeluarkan HMI dari organisasi tersebut, tindakan berakibat fatal dikarenakan HMI mempunyai kekuatan massa yang besar yang didukung oleh organisasi mahasiswa Islam yang lain seperti PMII, SEMI (serikat mahasiswa Muslimin Indonesia) dan HIMMAH (himpunan mahasiswa al-wasliyah), akhirnya ketika terjadi pemberontakan PKI nasib PPMI ditinggalkan oleh anggota-anggotanya, hal ini dikarenakan sebagian besar pengurus PPMI terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam peristiwa pemberontakan tersebut.

4. Sebagai organisasi mahasiswa dan pemuda, PMII aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan dan kepemudaan baik ditingkat Nasional maupun ditingkat Internasional :

Pada tanggal 30 Maret sampai 6 April 1965, sahabat Chotibul Umam, atas nama utusan PMII,  sahabat Mahbub Junaidi (ketua Umum PP PMII) atas nama PWI (persatuan Wartwan Indonesia) sahabat Chabibullah Asyhari atas nama Persatuan Wartawan Asia Afrika, hadir dalam seminar Internasional masalah Palestina yang dilaksanakan di Caero Mesir. Seminar ini diprakarsai oleh Organisasi mahasiswa Palestina yaitu General of Palestine Student (GUPS)

5. Sebagai tindak lanjut dari konprensi Islam Asia-Afrika yang diselenggarakan pada tanggal 6 – 12 Maret 1965 di Kota Bandung Jawa Barat, dibentuklah suatu wadah yang menghimpun ummat Islam se Asia-Afrika dengan nama OIAA (organisasi Islam Asia-Afrika). Badan dunia ini diketuai oleh KH. Ahmad Syaichu. Dalam struktur OIAA ini ada departemen yang mengurus bidang kemahasiswaan yaitu “Biro mahasiswa OIAA” . Dalam Biro ini PMII diwakili oleh sahabat Abdurrahman Saleh dan sahabat Siddiq Muhtadi, masing-masing sebagai ketua dan sekretaris

6. Dalam organisasi ekstra universitas sedunia WAY (word asembly of youth) PMII diwakili oleh sahabat Muslim Hasbullah, yang kemudian diganti oleh sahabat Umar Basalim. Kegiatan yang diikuti oleh PMII dalam Forum WAY tersebut adalah :

    Leadership Training di India yang di ikuti oleh  sahabat Umar Basalim
    Seminar pemuda dan Family planning di Jakarta, di ikuti oleh sahabat Fahmi Ja’far dan sahabat Wahab Jailani (Ketua Koorcab PMII Jawa Tengah)
    Leadership Training di Pasar minggu Jakarta, yang di ikuti Oleh sahabat Joko Purwono (ketua LPKP PP PMII)
    Seminar Family Trainning di Amsterdam yang di ikuti oleh sahabat Zaini Abd, Syukur. Dll

7.  Untuk mengatasi kekosongan yang diakibatkan oleh tidak aktifnya GEMUIS, serta organisasi-organisasi pemuda Islam lainnya yang tidak pernah berumur panjang, dikarenakan egoisme masing-masing organisasi mahasiswa Islam sendiri, maka PMII mesponsori berdirinya “Persatuan Mahasiswa dan Pelajar Indonesia” (PMPI).  Organisasi ini dibentuk dengan tujuan antara lain : sebagai wadah penyalur aspirasi dari gabungan potensi pemuda pelajar dan mahasiswa Islam dengan menitikberatkan pada bidang agama dan solidaritas ummat Islam. Beberapa kegiatan yang pernah dilakukan antara lain:

    Mengkoordinasi usaha-usaha yang merupakan tindak lanjut dari konfrensi ummat Islam Asia-Afrika.
    Bantuan terhadap pengungsi Palestina baik moral maupun material
    Demonstrasi terhadap kedatangan Kaisar Haile Selasie, Kepala negara Ethopia, yang saat itu sangat kejam dan menindas ummat Islam.
    Dan usaha-usaha membendung gerakan “Kristenisasi” terutama di daerah pedalaman luar jawa dan penggarapan bekas anggota PKI.

Dalam PMPI ini PMII diwakili oleh sahabat Abduh Paddare yang sekaligus menjabat sebagai ketua persedium pusat organisasi tersebut.

8. Salah satu organisasi kemahasiswaan yang bergerak dibidang kesehatan adalah “Word University Service” (WUS) dalam organisasi ini PMII diwakili oleh sahabat Fahmi Ja’far

9. Dalam rangka memupuk ukhuwah Islamiyah terutama dikalangan generasi muda Islam, maka pada tanggal 14 Januari 1968, generasi muda islam mengeluarkan surat pernyataan yang ditanda tangani  oleh :

    Siddiq Muhtadi                   = PP PMII
    Drs. Yunus Rahman          = DPP SEMI
    Iskandar Sarumala            = PB KMI
    Mar’I Muhammad            = PB HMI
    Muhammad Jasman          = DPP IMM
    Muchtar HN                     = PP HIMMAH

10. Dengan keluarnya SUPERSEMAR maka sebagian dari tuntutan KAMI terkabulkan, kini KAMI kembali seperti keadaan semula yakni mengkonsolidasi organisasi-organisasi ekstra dan intra universitas, namun nampaknya rasa persatuan dan kesatuan dalam tubuh KAMI semakin rapuh, hal ini diakibatkan beberapa hal :

    Sebagaian besar aktivis KAMI sudah selesai masa studinya sehingga mereka tidak lagi bisa aktif lagi memimpin organisasi mahasiswa, sedang penggantinyatidak saling mengenal satu sama lain.
    KAMI sebagai geraka aksi tidak mampu menyuguhkan suatu progam yang berkesinambungan.
    Secara obyektif generasi muda mengalami kelelahan fisik dan mental dalam tahun-tahun 1965 – 1967 sering turun jalan berdemonstrasi.

Usaha-usaha untuk mempertahankan KAMI ini terus diupayakan, bahkan PMII sebagai organisasi yang dipercaya memimpin KAMI (sebagai ketua persedium KAMI pusat) tetap berusaha mempertahankannya, dengan pemikiran bahwa:

    Pada dasarnya KAMI harus tetap dipertahankan eksistensinya
    KAMI harus mampu mendorong terbentuknya organisasi nasional mahasiswa  Indonesia yang multifungsi, yaitu :

 a)   Pengembangan kreasi dibidang pengamalan ilmu dan sistem group-group voluntir akan bisa lahir dari aktivitas yang demikian itu.

 b) Sebagai moral fors yang faham akan ilmu politik dan tahu politik praktis. Dengan dinamika yang dimiliki diharapkan mampu menemukan strategi dan tujuan perjuangan nasional, militansi yang dimilikinyadiharapkan mampu mendobrak kebatilan dalam segala bentuknya.

c)  Pengembangan upaya-upaya keamanan di berbagai bidang, baik fisik maupun spiritual, terutama terhadap ancaman kembalinya PKI dan Orde Lama.

Dalam usaha mempertahankan KAMI ini pernah diadakan Rapat Kerja KAMI pusat yang berlangsung pada tanggal 2 – 6 Juni 1967 di Ciawi Bogor, tetapi hasilnya tidak seperti yang diharapkan, bahkan SOMA (serikat organisasi mahasiswa lokal) Gabungan mahasiswa kedaerahan dan PMKRI serta dewan mahasiswa ITB menyatakan keluar dari KAMI. Usaha mempertahankan KAMI menemukan jalan buntu. Akhirnya berlanjut pada usaha pemerintah untuk menghimpun wadah generasi muda yang kelak kemudian hari dikenal dengan nama KNPI (komite nasional pemuda Indonesia).

MENGEMBANGKAN KONSEP ISLAM RAHMATAN LIL ‘ALAMIN

Agama Islam yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW diperuntukkan bagi seluruh umat manusia pada umumnya. Oleh sebab itu, Islam dikenal sebagai agama yang bersifat universal. Sebagaimana firman Allah SWT di dalam Al Qur’an  : “Wamaa arsalnaka illa rohmatan lil ‘alamin” Yang artinya :” Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (Q.S. Al Anbiya’ : 107).
Dalam konteks Islam rahmatan lil'alamin , Islam telah mengatur tata hubungan menyangkut aspek teologis, ritual, sosial, dan humanitas. Dalam segi teologis, Islam memberi rumusan tegas yang harus diyakini oleh setiap pemeluknya. Namun, hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk memaksa non-Muslim memeluk Islam (la ikraha fi al-din). Begitu halnya dalam tataran ritual yang memang sudah ditentukan operasionalnya dalam Alquran dan hadis. Namun, dalam konteks sosial, Islam sesungguhnya hanya berbicara mengenai ketentuan-ketentuan dasar atau pilar-pilarnya saja, yang penerjemahan operasionalnya secara detail dan komprehensif tergantung pada kesepakatan dan pemahaman masing-masing komunitas, yang tentu memiliki keunikan berdasarkan keberagaman lokalitas nilai dan sejarah yang dimilikinya.
Entitas Islam sebagai rahmat lil'alamin mengakui eksistensi pluralitas karena Islam memandang pluralitas sebagai sunnatullah, yaitu fungsi pengujian Allah pads manusia, fakta sosial, dan rekayasa sosial (social engineering) kemajuan umat manusia.

Agama Islam yang mengandung ajaran yang sempurna untuk dijadikan pedoman hidup manusia untuk menggapai keselamatan, kedamaian, kemakmuran, kesejahteraan baik di dunia maupun di akhirat, itulah misi Nabi Muhammad mengajarkan Islam kepada umat manusia. Kemakmuran disini bukan hanya ditujukan kepada manusia semata namun untuk seluruh makhluk yang ada di alam semesta ini yakni manusia, tumbuh-tumbuhan, binatang, alam dan lingkungan sekitar, serta semua makhluk ciptaan Allah. Oleh karena itu untuk mencapai itu semua harus memperhatikan kembali aspek hubungan antara manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia, serta hubungan manusia dengan alam. Karena dalam mengarungi kehidupan di dunia ini sudah pasti terdapat suatu hubungan atau interaksi.

Hubungan Manusia dengan Allah SWT.
Salah satu dasar hubungan antara manusia dengan Allah SWT adalah suatu keyakinan manusia itu sendiri terhadap Allah SWT sebagai Robb semesta alam. Hubungan vertikal antara manusia dengan Allah SWT harus dilandasi sebuah keimanan bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Tuhan tempat mengadu, bergantung dan tempat memohon pertolongan. Pada hakikatnya semua manusia di dunia ini membutuhkan Tuhan untuk ketentraman hati dan keselamatan jiwa. Sebagai umat Islam dasar keimanan terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al-Ikhlas: “Qul huwallahu ahad, Allahush shomad, Lam yalid walam yuulad walam yakullahu kufuan ahad”.
Yang artinya : “ Katakan, bahwa Dia-lah Allah Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.” (Q.S. Al- Ikhlas : 1-4).
Keyakinan seseorang kepada Allah  akan memberikan ketenangan dalam hidup manusia. Keyakinan atau keimanan inilah yang akan membawa manusia ke dalam  ketaqwaan. Ketaqwaan manusia dapat mengalami pasang surut, sehingga ketaqwaan inilah yang harus senantiasa ditingkatkan. Pemaknaan keimanan itu sendiri adalah meyakini dalam hati, mengikrarkan dengan lisan (ucapan) dan diamalkan dengan tindakan dan perbuatan, tentunya dengan melaksanakan semua perintah Allah SWT dan menjauhi semua larangan-larangan-Nya.

Hubungan Manusia dengan Manusia lainnya.
Manusia dalam kesehariannya sudah tentu berhubungan dan berinteraksi dengan manusia lainnya karena manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Sehingga hubungan antar manusia itu diatur dalam Al Qur’an dan Hadist agar tercipta keharmonisan, ketentraman dan kedamaian dalam kehidupannya. Hal ini diatur dalam firman Allah SWT :“Wa’tashimu bihablillahi jami’awwalaa tafarroqu, wadzkuru ni’matallahi ‘alaikum idzkuntum a’daa am fa allafa baina quluubikum faashbahtum bini’mati ikhwanan, ….. “
Yang artinya : “Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu berceraiberai dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara.” ( Q.S.Ali Imron : 103)
Dalam hidup ini harus senantiasa berpegang teguh pada ajaran-ajaran agama Islam yang benar. Dan sesama muslim kita senantiasa menghormati perbedaan yang terjadi. Kita tidak boleh menuduh seseorang sebagai orang kafir, munafiq, atau mengejek sesama muslim karena perbedaan itu. Tetapi apabila ada dari saudara kita sesama muslim yang menyimpang dari ajaran Islam kita harus mengajaknya untuk kembali kejalan yang benar (amar ma’ruf nahi mungkar).
Namun dalam hal aqidah kita harus sama yakni mengakui bahwa hanya Allah-lah yang patut kita sembah. Sesama muslim harus bersatu dan saling tolong menolong dalam kebaikan. Dalam pelaksanaan secara teknisnya dalam bermuamalah terdapat 3 macam yaitu :
Pertama, ukhuwah Islamiyah (persaudaraan antarumat Islam). Sejarah peradaban Islam diwarnai oleh perbedaan corak pandang keberagamaan, baik domain teologi, hukum, maupun spiritualitas.  Kedua, ukhwah wathaniyah (persaudaraan antarbangsa). Kerja sama antarbangsa mesti dijalin sebaik mungkin dalam rangka menuju perdamaian dan kesejahteraan dunia. Hubungan bangsa-bangsa ini tanpa membedakan latar belakang agama bangsa tersebut. Demarkasi kultural, teologis, dan struktural, pada wilayah ini musti didialogkan dan diupayakan pola relasi saling menguntungkan satu dan lainnya.
Ketiga, ukhuwah basyariyah atau insaniyah (persaudaraan antarmanusia). Persaudaraan antar sesama manusia yakni kita senantiasa berlaku baik pada setiap manusia karena derajat kita sama dihadapan Allah kecuali iman dan taqwa yang membedakannya. Islam menganggap bahwa seluruh umat manusia, tanpa harus membedakan suku, ras, warna kulit, bahkan agama, adalah saudara yang harus dilindungi dan saling melindungi. Islam mengharamkan penganiayaan terhadap orang lain di luar Islam dan meniscayakan hormat-menghormati dan sifat toleransi.
Ketiga macam ukhuwah ini harus diwujudkan secara berimbang menurut porsinya masing-masing. Satu dengan lainnya tidak boleh dipertentangkan. Melalui tiga dimensi ukhuwah inilah, Islam rahmatan lil 'alamin (pemberi rahmat alam semesta) akan terealisasi. Sebab, ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathaniyah merupakan landasan dan hal yang fundamental bagi terwujudnya ukhuwah insaniyah . Oleh karena itu, baik sebagai umat Islam maupun bangsa Indonesia, kita harus memerhatikan ukhuwah Islamiyah, ukhuwah insaniyah , dan ukhuwah wathaniyah secara serius, saksama, dan penuh kejernihan. Dalam hidup bertetangga dengan orang lain, bukan famili, bahkan non-Muslim atau non-Indonesia, kita diwajibkan berukhuwah dan memuliakan mereka dalam arti kerja sama yang baik selama mereka tidak menginjak dan menyakiti atau mengajak perang.

Hubungan Manusia dengan Alam
Perlakuan manusia terhadap alam tersebut dimaksudkan untuk memakmurkan kehidupan di dunia dan diarahkan untuk kebaikan akhirat. Di sini berlaku upaya berkelanjutan untuk mentransendensikan segala aspek kehidupan manusia. Sebab akhirat adalah masa depan eskatologis yang tak terelakkan. Kehidupan akhirat dicapai dengan sukses kalau kehidupan manusia benar-benar
fungsional dan beramal shaleh (al-Baqarah, 62; al-A’ashr).

           Kearah semua itulah hubungan manusia dengan alam ditujukan. Dengan sendirinya cara-cara memanfaatkan alam, memakmurkan bumi dan menyelenggara-kan kehidupan pada umumnya juga harus bersesuaian dengan tujuan yang terdapat dalam hubungan antara manusia dengan alam tersebut. Cara-cara itu dilakukan untuk mencukupi kebutuhan dasar dalam kehidupan bersama. Melalui pandangan ini haruslah dijamin kebutuhan manusia terhadap pekerjaan, nafkah dan masa depan, maka jelaslah hubungan manusia dengan alam merupakan hubungan pemanfaatan alam untuk kemakmuran bersama (al Mu’minun, 17-22; al-Hajj,65). Hidup bersama antar manusia berarti hidup antar kerjasama, tolong menolong dan tenggang rasa (Abasa, 17-32; an-Naazi’aat, 27-33).

Sumber : Wawancara dengan KH. Hafiduddin Hanif 

REFLEKSI PARADIGMA PERGERAKAN


Nalar gerak PMII secara teoritik mulai terbangun secara sistematis pada masa kepengurusan Sahabat Muhaimin Iskandar (Ketum) dan Rusdin M. Noor (Sekjend). Untuk pertama kalinya istilah Paradigma yang populer dalam bidang sosiologi digunakan untuk menyatakan apa yang oleh PMII disebut prinsip-prinsip dasar yang akan dijadikan acuan dalam segenap pluraltas strategi sesuai lokalitas masalah dan medan juang. Dimuat dalam buku berjudul Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran (November 1997), Paradigma Pergerakan disambut massif oleh seluruh anggota dan kader PMII di seluruh Indonesia. Paradigma Pergerakan, demikian ‘judulnya’, dirasa mampu menjawab kegelisahan anggota pergerakan yang gerah dengan situasi sosial-politik nasional.
 
Dikemukakan dalam buku tersebut, salah satu latar belakang Paradigma Pergerakan (atau populer dengan nama Arus Balik) adalah kondisi sosio-politik bangsa yang ditandai oleh: 1) munculnya negara sebagai aktor atau agen otonom yang peranannya “mengatasi” masyarakat yang merupakan asal-usul eksistensinya, 2) menonjolnya peran dan fungsi birokrasi dan teknokrasi dalam proses rekayasa sosial, ekonomi dan politik, 3) semakin terpinggirkannya sektor-sektor “populer” dalam masyarakat – termasuk intelektual, 4) diterapkannya model politik eksklusioner melalui jaringan korporatis untuk menangani berbagai kepentingan politik, dan 5) penggunaan secara efektif hegemoni ideologi untuk memperkokoh dan melestarikan legitimasi sistem politik yang ada. Lima ciri-ciri tersebut tidak jauh berbeda dengan negara-negara kapitalis pinggiran (peripherial capitalist state) (1997; hal. 3).
 
Medan politik orde baru merupakan arena subur bagi sikap perlawanan PMII terhadap negara. Sikap perlawanan tersebut didorong pula oleh konstruksi teologi antoposentrisme-transendental yang menekankan posisi khalifatullah fil-ardh sebagai perwujudan penghambaan kepada Allah (‘abdullah). Selain oleh teologi antroposentrisme-transendetal, sikap perlawanan itu juga didorong dua tema pokok, pertama tidak menyetujui adanya otoritas penuh yang melingkupi otoritas masyarakat dan kedua menentang ekspansi dan hegemoni negara terhadap keinginan bebas individu dan masyarakat. (1997; hal. 17). Berikut ini ialah skema (Althusserian) yang lazim digunakan untuk menjelaskan struktur penindasan negara.
 
]





Bagian penting lain dalam paradigma tersebut adalah mengenai proses rekayasa sosial yang akan ditempuh PMII. Rekayasa sosial oleh PMII diarahkan menjadi dua pola yaitu pasar bebas ide (free market of ideas – FMI) dan Advokasi. FMI mengasumsikan adanya transaksi gagasan yang terjadi secara sehat yang dilakukan oleh individu-individu yang bebas dan kreatif sebagai hasil dari proses liberasi dan independensi. Dalam FMI, individu diasumsikan telah ‘sampai’ pada penemuan dan kesadaran individualitasnya sebagai subyek yang memiliki otoritas penuh di muka bumi – terlepas dari faktor di luar manusia (heteronom) yang membelenggu individu.
 
Rekayasa sosial melalui advokasi dilakukan untuk segala korban perubahan. Bentuk gerakannya ada tiga yakni sosialisasi wacana, penyadaran dan pemberdayaan serta pendampingan. Cita-cita besar dari advokasi tidak lain adalah sebagai bagian dari pendidikan politik masyarakat untuk mencapai angan-angan terwujudnya civil society (1997; hal. 30). Kedua jalan rekayasa tersebut memberikan energi yang luar biasa bagi PMII. Dikuatkan oleh bacaan tentang kondisi sosio-politik, dasar teologis dan filosofis, PMII berada di garis terdepan organisasi perlawanan terhadap negara. Lebih dari itu, di antara organisasi mahasiswa Islam, PMII menjadi organisasi paling progresif dan radikal dalam melakukan dekonstruksi teks-teks agama.
 
Pada periode sahabat Syaiful Bahri Anshari, diperkenalkan Paradigma Kritis Transformatif. Pada hakikatnya prinsip-prinsip dasar paradigma ini tidak jauh berbeda dengan Paradigma Pergerakan. Titik bedanya terletak pada pendalaman teoritik paradigma serta pengambilan eksemplar-eksemplar teori kritis madzhab Frankfurt (Frankfurt School) serta dari kritisisme wacana intelektual Muslim seperti Hassan Hanafi, Muhammad Arkoun, Ali Ashghar Engiiner dll. Sementara di lapangan terdapat pola yang sama dengan PMII periode sebelumnya; gerakan PMII terkonsentrasi pada aktivitas jalanan dan wacana-wacana kritis. Semangat perlawanan-oposisi (perang terbuka), baik dengan negara maupun dengan kapitalisme global masih sangat mewarnai gerakan PMII.
 
Kedua paradigma di atas mendapat ujian berat ketika KH Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden RI pada november 1999. Para aktifis PMII (dan aktifis civil society umumnya) mengalami kebingungan saat Gus Dur yang menjadi tokoh dan simbol perjuangan civil society di Indonesia naik ke tampuk kekuasan. Aktivis pro demokrasi mengalami dilema antara mendampingi Gus Dur dari jalur ekstraparlemen, atau bersikap sama sebagaimana terhadap presiden-presiden sebelumnya. Mendampingi atau mendukung didasari pada kenyataan bahwa masih banyak unsur orba baik di legislatif maupun eksekutif yang memusuhi presiden ke-4 tersebut. Namun pilihan tersebut akan memunculkan pandangan bahwa aktivis prodemokrasi (termasuk PMII) menanggalkan semangat perlawanannya. Meski demikian, secara nasional sikap PB PMII di masa kepengurusan Sahabat Nusron Wahid secara tegas-terbuka mengambil tempat sebagai pendukung demokrasi dan program reformasi yang secara konsisten dijalankan oleh presidan Gus Dur, sejalan dengan berbagai organisasi pro-dem yang lain.
 
Hanya titik persoalannya terletak pada paradigma gerakan PMII itu sendiri. Secara massif, paradigma gerakan PMII masih kental dengan nuansa perlawanan frontal baik terhadap negara maupun terhadap kekuatan di atas negara (kapitalis internasional). Inilah yang ditemukan di tingkat aktivis-aktivis PMII. Sehingga ruang taktis-strategis dalam kerangka cita-cita gerakan yang berorientasi jangka panjang justru tidak memperoleh tempat. Aktifis-aktifis PMII masih mudah terjebak-larut dalam persoalan temporal-spasial, sehingga gerak perkembangan internasional yang sangat berpengaruh terhadap arah perkembangan Indonesia sendiri luput dibaca. Dalam kalimat lain, dengan energi yang belum seberapa, aktivis PMII sering larut pada impian “membendung dominasi negara dan ekspansi neoliberal saat ini juga”. Efek besarnya, upaya taktis-strategis untuk mengakumulasikan kekuatan justru masih sedikit dilakukan.
 
Inilah mengapa kemudian dalam buku Membangun Sentrum Gerakan di Era Neo Liberal yang diterbitkan pada era sahabat A. Malik Haramain (2004), dikatakan bahwa dua paradigma di atas telah patah (2004: hal. 30). Kedua paradigma di atas melanjutkan kagagapan PMII dalam bersinggungan dengan kekuasan. Setidak-tidaknya ada tiga alasan untuk menjelaskan patahnya kedua paradigma ini. Pertama, keduanya didesain hanya untuk melakukan resistensi terhadap otoritarianisme tanpa membaca kompleksitas aktor di level nasional yang selalu terkait dengan perubahan di tingkat global dan siklus politik-ekonomi yang terjadi. Sebagai contoh maraknya LSM pro demokrasi dan gencarnya isu anti militerisme pada dekade 1990-an adalah akibat dari runtuhnya Uni Soviet sebagai rival USA dalam kompetisi hegemoni dunia.
 
Kedua, dua paradigma di atas hanya menjadi bunyi-bunyian yang tidak pernah secara real menjadi habitus atau laku di PMII. Akibatnya bentuk resistensi yang muncul adalah resisten tanpa tujuan, yang penting melawan. Sehingga ketika perlawanan itu berhasil menjatuhkan Soeharto terlepas ada aktor utama yang bermain, PMII dan organ-organ pro demokrasi lainnya tidak tahu harus berbuat apa.
 
Ketiga, pilihan dua paradigma di atas tidak didorong oleh setrategi sehingga paradigma dianggap sebagai suatu yang baku. Mestinya ketika medan pertempuran telah berganti, maka strategipun harus berbeda. Sayangnya yang terjadi pada PMII, ketika medan pertempuran melawan otoritarianisme orde baru telah dilewati, PMII masih berpikir normatif dengan mempertahankan nalar paradigma lama.
  
Nalar penyusunan gerakan di Indonesia setelah Tan Malaka lebih bersifat teoritik-akademik (logos), yakni diawali dengan berbagai konsep ideal tentang masyarakat atau negara yang berasal dari barat. Celakanya, konsep-konsep yang dipakai di kalangan akademis kita hampir seluruhnya beraroma liberalisme. Sehingga di tingkat intelektual pun tidak ada kemungkinan untuk meloloskan diri dari arus liberalisme, yang di level politik dan ekonomi maujud dalam neoliberalisme. Dengan kata lain, dalam upaya melawan neoliberalisme, banyak gerakan terperangkap di langkah pertama yakni tersedot oleh konsep-konsep liberalisme. Demokrasi, HAM, civil society, sipil vs militer, federalisme dll. difahami sebagai agenda substansial. Padahal dalam lapangan politik dan ekonomi, kesemuanya tadi nyaris menjadi mainan negara-negara neoliberal. Maka boleh dikata, semenjak dari pikiran gerakan semacam itu memang tidak akan pernah berhasil.
 
Dengan kata lain persoalan sulitnya membangun paradigma berbasis kenyataan di PMII itu pararel dengan kesulitan membuat agenda nasional yang berangkat dari kenyataan Indonesia. Konsekuensi yang harus diambil dari penyusunan paradigma semacam itu adalah, untuk sementara waktu organisasi akan tersisih dari pergaulan gerakan mainstream. Gerakan harus mampu berkayuh di antara gelombang panjang dan gelombang pendek, agar gelombang panjang tetap terkejar dan gelombang pendek tidak cukup kuat untuk menghancurkan biduk kita yang rapuh. Bagaimanapun untuk membangun gerakan kita harus mendahulukan realitas ketimbang logos.

INDONESIA DI TENGAH PASAR BEBAS

Dalam peradaban baru dunia global, kemajuan teknologi dan informasi menjadi infrastruktur penopang bergeraknya globalisasi dan ekonomi neoliberal. Melalui teknologi informasi, pemegang modal raksasa di sektor keuangan dan industri dengan mudah memindahkan modalnya dari satu negara ke negara yang lain hanya dengan memencet mouse komputer. 
 
Selain teknologi informasi, sistem moneter dan pengetahuan juga dikuasai oleh pemodal raksasa dari/dan negera-negara dunia pertama. Tanpa menutup optimisme, andai kita jujur, Indonesia dalam posisi terkunci dalam gerak kenyataan global. Sebabnya, dalam konsep international division of labour teori world-system, negera-negara dunia pertamalah yang menguasai sistem dunia saat ini sebagai negara-negara pusat (core) – muara aliran surplus ekonomi yang bersumber dari negeri-negeri periphery dan semi-periphery.
Negara-negara pusat memainkan peran setrategis dalam setiap perumusan aturan internasional melalui lembaga-lembaga internasional. Sebagai contoh adalah ISO (International Standard Organization) yang menjadi salah satu aturan internasional dalam perdagangan barang lintas negara. Cara pandang penetapan aturan dalam ISO mengacu pada cara pandang negara dunia pertama, yang jelas berbeda dengan cara pandang negara-negara dunia ketiga. Aturan tersebut banyak merugikan negara-negara dunia ketiga karena cenderung menghadapkan negara dunia ketiga pada hukum besi mekanisme pasar.
 

POLA HISTORIS GLOBALISASI POLITIK

Item
Pra Awal Modern (Abad 14-18)
Modern
(Abad 19-20)
Kontemporer
(1945 - ...)
Ekstensits
Sebagian besar bersifat intra-teritorial dan intra-regional tetapi juga memulai ekspansi imperial.

Emperium global;
Muncul sistem negara bangsa
Sistem negara global;
Muncul tataan politik global;
Regionalisasi politik dan inter-regionalisme
Intensitas
Volumenya rendah, tetapi melonjak ketika para kompetitor politik atau ekonomi bertemu  dan berbenturan
Volumenya meningkat dan terjadi ekspansi hubungan
Terjadi peningkatan drastis pada kesepakatan-kesepakatan internasional, jaringan dan berbagai hubungan formal maupun informal.

Percepatan
Terbatas; Sporadis
Meningkat
Terjadi percepatan pada interaksi politik global seiring dengan kemajuan teknologi komunikasi.
Pengaruh (Negatif)
Sedikit; tetapi terkonsentrasi
Meningkatnya konsekuensi-konsekuensi institusional dan struktural
Tinggi: saling terkait, sensitif dan rentan.
Infrastruktur
Minimal; kerangka kerja amultilateral bergerak sangat lamban, mulai dari traktat hingga konferensi organisasi
Munculnya Organisasi dan rejim-rejim internasional maupun transnasional.
Perubahan besar baik pada ukuran, bentuk, jumlah rejim, organisasi internasional dan transnasinal serta mekanisme hukum.
Komunikasi global “realtime” dan infrastruktur media.

Institusionalisasi
Minimal, tetapi mulai ada diplomasi dan regularisasi jaringan kerja antar negara.
Perkembangan rejim-rejim, peraturan-peraturan dan hukum internasional bersifat tentatif tetapi rentan.
Ditandai dengan pengembangan rejim, hukum internasional, dasar-dasar hukum kosmopolitan serta struktur organisasi antar pemerintah maupun organisasi transnasional (swasta).
Stratifikasi
Perkembangan tatanan dunia yang Eropa sentris.
Organisasi politik lemah, tersebar dan tidak merata melintasi batas teritotial.
Hirarki kekuatan politik, militer dan ekonomi terkonsentrasi di Barat/Utara.
Kapabilitas politik dikembangkan, tetapi hubungan yang tidak seimbang (asimetris) tetap dipertahankan.
Dari Dunia yang Bipolar (perang dingin) ke Multipolar.
Kesenjangan Utara dan Selatan mulai dikikis  seiring dengan munculnya NICs (Negara Industri Baru) dan aktor-aktor non-negara.
Pola Interaksi
Persaingan; perang-perang terbatas; Konfliktual/Koersif; Imperialis.
Teritorial; Diplomatik; Geopolitik/Koersif; Imperialis; Konflik dan Kompetisi; Pembentukan ke arah “total war”
Deteritorialisasi dan reteritorialisasi.
“Reason of State” diupayakan dalam kerangka  hubungan kerjasama (kooperatif)  dan kolaboratif.;Kerjasama dan Persaingan;Geo-ekonomik

dan End of empire


Sumber : Global Transformations; Politic, Economic and Culture, David  Held  and  Anthony  McGrew, David Goldblatt and Jonathan Perraton, Polity Press, UK, 1999.

Mekanisme pasar sejauh membuka kesempatan kepada semua pihak untuk berinteraksi secara setara, sesungguhnya dapat diterima. Tetapi dalam kenyataan sistem neoliberal saat ini, prinsip kesetaraan hanya mimpi belaka. Prinsip perdagangan bebas yang dipandu dengan sistem moneter hampir-hampir tidak menyisakan ruang bagi ekonomi negara dunia ketiga untuk bertahan, apalagi menangguk laba. Dalam sistem-dunia saat ini para pemilik modal besarlah yang mengambil untung.
 
Sementara Indonesia berada persis di tengah Pasar Bebas dan terikat dengan berbagai perjanjian dagang baik di level regional maupun internasional. Kita telah menandatangani keanggotaan WTO yang akan membentuk dunia sebagai satu pasar pada tahun 2025. Dalam jangka yang lebih pendek, selain telah membangun komitmen untuk mewujudkan Asia Tenggara sebagai pasar bebas pada tahun 2015, Indonesia juga berkomitmen dalam perjanjian serupa dengan negara-negara Asia Pasifi (APEC). Dengan kesepakatan-kesepakatan tersebut, kemudian mencermati situasi sosial, politik dan ekonomi domestik saat ini, tak seorangpun yang tidak akan gelisah membayangkan Indonesia kedapan.
 
Apabila kita melihat sejarah panjang Indonesia (1945-2006), tampak bahwa negeri ini belum pernah sekalipun melakukan upaya serius untuk mengkonsolidasikan kekuatan sosial, politik dan ekonominya menghadapi situasi dunia pasca Perang Dingin. Dalam setiap kurun sejarah, telah terbukti Indonesia menjadi bulan-bulanan negara-negara core yang berebut sumber-sumber ekonomi untuk kepentingan survival mereka sendiri. Upaya serius untuk menghitung bandul gerak kenyataan global dan mencuri moment demi kepentingan bangsa seperti pernah dilakukan tahun 1945, belum pernah terjadi. Bahkan dalam setiap moment ‘perubahan’ penting di Indonesia (1966, 1998), kita sama sekali tidak memiliki skenario. Bila dicermati sungguh-sungguh baik pada tahun 1966 maupun 1998, kita dihadapkan pada situasi yang secara faktual tidak kita mengerti sepenuhnya sehingga kita tidak siap mengambil kendali.
 
Fakta tersebut, menurut kami, menunjukkan bahwa sampai hari ini cara pandang kita sebagai bagian dari bangsa masih terlalu sempit, kalah luas dan kalah awas dibanding kaum pergerakan generasi awal abad XX. Generasi terdahulu, meski tetap bukan contoh sempurna, membaca gerak dunia sambil mempersiapkan diri untuk mengambil kesempatan di ‘tikungan sejarah’. Sementara kita cenderung membaca gerak dunia dalam perdebatan teoritik yang kental, dan terhisap dalam perdebatan teoritik itu sendiri. Sehingga problem survival bangsa tidak kunjung diantisipasi. Apabila fakta ini tetap dipertahankan, maka kita tidak boleh marah atau mengeluh apabila 10, 15, 20 tahun kedepan, peran-peran kepemimpinan yang menentukan survival bangsa kembali didominasi oleh kaum teknokrat. Kita tidak boleh marah apabila kaum pergerakan yang (merasa) memiliki pertaruhan nasib survival bangsa dalam jangka panjang justru dipinggirkan. Dan memang kita tidak perlu marah apabila posisi tersebut merupakan pilihan yang diambil secara sadar. Namun, tentu saja tidaklah demikian.
 
Andai saja saat ini adalah lima puluh tahun silam dan kita telah memiliki keawasan seperti saat ini, niscaya kita akan mengikuti Mao Tse Tung atau Tan Malaka yang memilih kemerdekaan sepenuh-penuhnya, bukan negociated independence seperti yang sudah kita pilih. Dengan merdeka sepenuhnya kita memiliki kesempatan untuk berbenah diri ke dalam tanpa harus mengintegrasikan diri (tanpa persiapan) dalam interaksi global yang asimetris sekarang ini. Di situ, politik isolasi adalah pilihan yang mengandung konsekuensi tidak ringan. Bentuknya adalah seperti apa yang telah dilakukan China (RRC), selama beberapa dekade sibuk berbenah diri melakukan reformasi struktur internal dan kemudian dalam hitungan dekade kelima telah mampu bersaing dengan hegemon dunia. Cina telah membuktikan, there is an alternative (TIA) selain blue-print AS yang telah jadi pakem bagi negeri-negeri pinggiran (periphery).
 
Konsolidasi politik negara-negara penganut demokrasi liberal (Eropa dan Amerika) pasca Perang Dunia II ditujukan untuk menciptakan format baru penjajahan dari bentuk lama kolonialisme dan imperalisme (lihat tabel di atas). Konsolidasi tersebut memunculkan imperium global yang diikuti dengan perkembangan diplomasi multilateral, regulasi ekonomi internasional dan pembentukan institusi-institusi global, seperti PBB, WTO (World Trade Organization), IMF (International Monetary Fund), dan institusi regional seperti Uni Eropa dan NAFTA (North America Free Trade Agreement). Institusi-institusi internasional inilah yang menciptakan aturan main politik skala global khususnya yang menyangkut isu-isu perdagangan dan keamanan internasional. Perkembangan politik internasional tersebut telah menggerogoti batas-batas teritori negara sehingga potensial untuk memunculkan rezim internasional yang berpengaruh dalam menentukan masa depan negara-negara yang lain. Dampak lanjutannya, peran negara atas warganya semakin kecil, diganti oleh sebuah rezim global yang mampu menggerakkan struktur sosial dan politik sebuah negara.

Indonesia saat ini tidak akan mungkin terhindar dari proses politik internasional tersebut, apalagi dengan posisi geografis Indonesia di kawasan Asia-Pasifik yang strategis baik secara politik maupun ekonomi. Tanpa keawasan dan strategi jitu, Indonesia akan kehilangan banyak peran dan hanya menjadi aktor kecil dalam pentas dunia. Sementara, aktor non-negara mulai dari kalangan bisnis hingga organisasi-organisasi non-profit akan semakin memainkan peranan penting dalam lingkup nasional maupun internasional.

INDONESIA WARGA HABITAT GLOBAL

Semenjak zaman Nusantara hingga zaman Negara-Bangsa, perjalanan sejarah Indonesia selalu terkait dengan perkembangan di belahan dunia lain. Hubungan dagang antara penduduk kerajaan-kerajaan di Nusantara telah terjalin sejak abad ke-8 M dengan bangsa Tionghoa, India, Mesir, Persia. Lalu mulai tahun 1511 hubungan dagang tersebut terjalin dengan bangsa Eropa melalui armada Portugis yang dipimpin oleh Alfonso d’Albuquerque. Secara kasat mata pula, itulah hubungan perdagangan asimetris pertama yang terjalin antara kerajaan-kerajaan Nusantara dengan bangsa asing.

Bila ditelisik satu per satu, hampir tidak ada satupun kerajaan Nusantara yang tidak terkait dengan perkembangan bangsa/kerajaan lain di luar Nusantara. Sebagai misal, perjalanan sejarah Samudera Pasai berhubungan dengan konflik politik-ekonomi-teologi antara Dinasti Fatimiah di Mesir yang Syi’ah dan Shalahuddin Al-Ayyubi (Sunni/Syafi’i). Melalui Samudera Pasai, Dinasti Fatimiah menguasai perdagangan lada. Menurut catatan sejarah, hasil yang didapat dari perdagangan lada ketika itu mampu mengalirkan keuntungan yang berlipat bagi dinasti tersebut.

Hingga saat Dinasti Fatimiah berhasil dikalahkan oleh tentara Shalahuddin pada tahun 1168, hubungan Samudera Pasai dengan Mesir terputus. Baru lebih dari satu abad kemudian (1285) Syi’ah di Samudera Pasai berhasil digeser oleh kaum Sunni madzhab Syafi’i yang saat itu berpusat di Mesir. Bahkan Sultan Malikul Saleh (Marah Silu) dilantik sebagai raja oleh Syaikh Ismail, utusan Dinasti Mamluk, dan menjadi raja Samudera Pasai pertama dari aliran Sunni. Keuntungan perdagangan lada dan berbagai jenis rempah-rempah pun mengalir kembali ke Mesir.

Kerajaan lain seperti Sriwijaya, Malaka dan Majapahit juga memiliki kecenderungan serupa. Kerajaan Sriwijaya dikenal sebagai salah satu pusat agama Buddha dan selalu dikunjungi oleh para pendeta yang berziarah ke India. Untuk melindungi diri dari serangan kerajaan Siam, tahun 1403 raja Parameswara (Malaka) meminta pengakuan kedaulatan dari Kaisar Yung-Lo (Tiongkok/Dinasti Ming). Demikian pula Majapahit. Menjelang keruntuhannya, raja Majapahit terakhir Prabu Girindrawardhana (1468-1527) bahkan berupaya untuk mencari dukungan Portugis dalam melawan Demak.

Sejarah pembentukan negara-bangsa (nation-state) Indonesia bahkan lebih jelas lagi dalam menunjukkan pengaruh gejolak di belahan dunia lain terhadap Indonesia. Kedatangan Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris ke bagian-bagian Nusantara merupakan buah dari persaingan dagang dan politik antar negeri-negeri Eropa tersebut. Salah satunya adalah persaingan dagang antara Portugis dan Spanyol yang melahirkan perjanjian Tordessilas yang membelah dunia menjadi dua bagian dengan Eropa sebagai titik tengahnya. Bagian timur ‘dimiliki’ oleh Portugis dan sebelah barat ‘diserahkan’ kepada Spanyol.

Politik etis yang banyak melahirkan intelektual-nasionalis generasi pertama Indonesia juga merupakan gelombang kesekian dari dinamika politik dan ekonomi Belanda-Eropa. Termasuk Nasionalisme dan konsep negara-bangsa (nation-state), merupakan sublimasi teoritik-konseptual yang lahir dari pergulatan sosio politik dan sosio ekonomi bangsa-bangsa di Eropa. Nasionalisme dikenal pertama kali sebagai teori melalui catatan kuliah umum yang disampaikan oleh Ernest Renan di Universitas Sorbonne Paris tahun 1882. Karya itu berjudul “Qu’est-ce qu’un nation?” (What is Nation?) yang berakar jauh dalam sejarah sosial dan ekonomi Revolusi Perancis 1678.

Proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945 terjadi di moment anti-klimaks Perang Dunia II, tepat ketika Negara-negara Sekutu berhasil menundukkan negara-negara Axis. Dengan cerdik (dan berani) aktivis pergerakan nasional mencuri moment untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Keawasan mengamati gerak internasional, kecerdikan dan keberanian semacam itu ternyata belum muncul kembali hingga dekade pertama abad XXI ini. Padahal dalam periode-periode tersebut hingga saat ini, Indonesia tetap dipengaruhi oleh perkembangan di balahan dunia lain dan oleh kenyataan global. Siapa yang dapat menyangkal bahwa politik dan ekonomi Indonesia terpencil dari Perang Dingin sepanjang tahun 1946 s.d. 1990? Dan siapa dapat membuktikan bahwa ekonomi dan politik Indonesia terpisah dari gerak Sistem Dunia neoliberal pasca Perang Dingin?.


Potret sejarah ringkas di atas menunjukkan bahwa Indonesia tidak dapat dibaca tanpa mempertimbangkan dan menghitung alur gerak internasional. Bahkan dalam konteks gerakan, menghitung gerak internasional menjadi pra-syarat wajib dalam merumuskan gerakan di Indonesia. Ada pendapat bahwa pembacaan gerak internasional dirasa muluk-muluk dan terkesan tidak sambung dengan keadaan real sehari-hari orang per orang. Namun faktanya, negara-bangsa Indonesia merupakan bagian kenyataan global. Sehingga dalam konteks membangun gerakan, membaca kenyataan global dan posisi Indonesia di dalamnya mau tidak mau harus dilakukan.

Sumber : Buku Pengkaderan, 2006

Rabu, 25 Juli 2012

Citra Diri Ulul Albab PMII

Individu-individu yang membentuk komunitas PMII dipersatukan oleh konstruks ideal seorang manusia. Secara idelogis, PMII merumuskannya sebagai ulul albab-citra diri seorang kader PMII. Ulul albabsecara umum didefinisikan sebagai seseorang yang selalu haus akan ilmu pengetahuan (olah pikir) dan ia pun tak pula mengayun dzikir. Dengan sangat jelas citra ulul albab disarikan dalam motto PMII dzikir, pikir dan amal sholeh. Dalam Al Qur’an secara lengkap kader ulul albab digambarkan sebagai berikut :1. Al-Baqarah (2): 179
“dan dalam hokum qishas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai Ulul Albab, supaya kamu bertaqwa.
2. Al-Baqarah (2): 197
“ dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku wahai Ulul Albab.”
3. Al-Baqarah (2); 296
“Allah menganugerahkan al-hikmah (kefahaman yang mendalam tentang Al-Quran dan Hadits) kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Dan barang siapa dianugerahi al-hikmah itu, maka ia benar-benar dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya Ulul Albab-lah yang dapat mengambil pelajaran.”
4. Ali-Imran  (3):190
dialah yang menurunkan al-kitab kepada kamu. Diantra (isi)nya ada ayat-ayat muhkamah itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat, Adapun orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari Tugas Akhir’wilnya, padahal tidak ada orang yang tahu Tugas Akhir’wilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya mengatakan: “kamu beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat, semua itu dari sisi Tuhan kami.” Dan kami tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan Ulul Albab.”
5. Ali Imran (3): 190
“sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi Ulul Albab.”
6. Al-Maidah (5) 100
“katakanlah : tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka betaqwalah kepada Allah hai Ulul Albab, agar kamu mendapat keuntungan.”
7. Al-ra’d (13): 19
Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar-benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah Ulul Albab saja yang dapat mengambil pelajaran.”
8. Ibrahim (14); 52
“(Al-Quran) ini adalah penjelasan sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan denganya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan yang Maha Esa dan agar Ulul Albab mengambil pelajaran.”
9. Shaad (38): 29
“ini adalah sebuah kitab yang diturunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran Ulul Albab.”
10. Shaad (38): 29
“ dan kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rakhmat dari Kami dan pelajaran bagi Ulul Albab.”
11. Al-Zumar (39): 9
“(Apakah kamu hai orang-orang musrik yang lebih beruntung)ataukah orang-orang yang beribadat diwaktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhanya? Katakanlah: “adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” sesungguhnya Ulul Albab-lah yang dapat menerima pelajaran.”
12. Al-Zumar: (39): 17-18
“dan orang-orang yang menjauhi taghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira, sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah Ulul Albab.”
13. Al-Zumar (39): 21
“ Apakah kamu tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air langit dari bumi, maka diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi kemudian ditumbuhkan dengan air itu tanaman-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu ia menjadi kering lalu kamu melihatnya kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi Ulul Albab.
14. Al-Mu’min (40): 53-54
“ dan sesungguhnya telah Kami berikan petunjuk kepada Musa, dan kami wariskan taurat kepada Bani Israil untuk menjadi petunjuk dan peringatan bagi Bani Ulul Albab.”
15. Al-Talaq (65):10
“ Qallah menyediakan bagi mereka (orang-orang yang mendurhakai perinath Allah dan rasul-Nya) azab yang keras, maka bertaqwalah kepada Allah hai Ulul Albab, yaitu orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah telah menurunkan peringatan kepadamu.”
Dari elaborasi teks di atas, komunitas ulul-albab dapat dicirikan sebagai berikut : (secara skematik dapat dirumuskan dalam bagan)
a.    Berkesadaran histories-primordial atas relasi Tuhan-manusia-alam.
b.    Berjiwa optimis-transedental atas kemampuan mengatasi masalah kehidupan.
c.     Berpikir secara dialektis.
d.    Bersikap kritis.
e.    Bertindak Transformatif
Sikap atau gerakan seperti ini bisa berinspirasi pada suatu pandangan keagamaan yang transformatif. Nah, Ulul Albab adalah orang yang mampu mentransformasikan keyakinan keagamaan atau ketaqwaan dalam pikiran dan tindakan yang membebaskan: , melawan thaghut.
sumber: Buku Sentrum Kader PMII

Selasa, 24 Juli 2012

SAFARI RAMADHAN 1433 H

agenda mingguan PC PMII Bandarlampung:
Safari Ramadhan dari masjid ke masjid wilayah Bandarlampung
dengan maksud Membumikan Islam Rahmatan Lil`alamin

Minggu, 22 Juli 2012

Mahbub Junaidi Sang Ketum PMII dengan Senjata Pena-nya

Mahbub Junaidi namanya “Pendekar Pena” panggilannya. Sosok kelahiran 27 juli 1939 ini begitu gemar menulis, bahkan ia pernah bersatement “Saya akan menulis dan terus menulis hingga saya tak mampu lagi menulis”. Tokoh kelahiran jakarta ini memulai karier menulisnya ketiaka Ia duduk di bangku Sekolah, sebagai Redaktur majalah Sekolah.

Ia adalah anak pertama dari 13 Saudara kandungnya, mengenyam pendidikan SD di Solo. Keluarganya harus mengungsi di SOLO karena kondisi yang belum aman pada saat awal kemerdekaan. Pemahaman Ke-Islamannya nya Ia tempuh di madrasah Mabaul Ulum. Di pesantrenlah Mahbub diperkenalkan tulisan-tulisan Mark Twain, Karl May, Sutan Takdir Alisjahbana, dan lain-lain. “Masa-masa itulah yang sangat mempengaruhi perkembangan hidup saya,” cerita Mahbub. Ayahandanya  H. Djunaidi  adalah tokoh NU dan pernah jadi anggota DPR hasil Pemilu 1955.

Saat Belanda menduduki Solo, Mahbub Junaidi muda dan keluarganya kembali ke Jakarta, 1948.  kemudian ia menjadi siswa SMA Budi Utomo,Sejak itulah ia menulis sajak, cerpen, dan esei. Tulisan-tulisannya banyak dimuat majalah Siasat, Mimbar Indonesia, Kisah, Roman dan Star Weekly. Melanjutkan perjuangan ayahandanya ia juga menjadi anggota Ikatan Pelajar NU (IPNU). Kuliahnya di UI terhenti hanya sampai tingkat II. Kegiatannya dalam organisasi mengantarkan Mahbub ke jabatan pemimpin harian Duta Masyarakat (1958), dan Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 1965, kemudian Ketua Dewan Kehormatan PWI, sejak 1979. Terakhir, di samping sebagai Wakil Ketua PB NU, ia juga duduk di DPP PPP.

Sebagai kolumnis, tulisan Ketua Umum PB PMII Tiga Periode Ini kerap dimuat harian Kompas, Sinar Harapan, Pikiran Rakyat, Pelita, dan TEMPO. Kritik sosial yang tajam tanpa kehilangan humor adalah ciri khas tulisan Sang Pendekar Pena ini. Akibat tulisannya yang tajam, Ia pernah ditahan selama satu tahun di tahun 1978. jeruji besi dan gelapnya penjara tak menghambat nalar menulisnya di dalam penjara ia menerjemahkan Road to Ramadhan, karya Heikal, dan menulis sebuah novel Maka Lakulah Sebuah Hotel. Jaya, 1975.
Sosok yang memimpin PMII sejak tahun 19960-1967 ini  mengagumi pengarang Rusia Anton Chekov dan Nikolai Gogol. Sedang Penulis Dalam Negri yang Ia kagumi adalah Buya Hamka dan Pramudya Ananta Toer.  Meski sering berkunjung ke luar negeri, pengalaman yang menarik baginya adalah , ” bergaul dan berdiskusi dengan Bung Karno,Sang Revolusioner RI,” Ujar ayah tujuh anak, yang sudah dua kali naik haji ini. Baginya tanpa Soekarno, Indonesia tak mungkin bersatu di era Revolusi 1945.

Profil Singkat Beliau: Ketua Umum PP.PMII tiga periode, yaitu periode 1960–1961, hasil Musyawarah Mahasiswa Nahdliyin pada saat PMII pertama kali didirikan di Surabaya Jawa Timur. Periode 1961-1963, Hasil Kongres I PMII di Tawangmangu Jawa Barat. Dan Periode 1963-1967, hasil Kongres PMII II di Kaliurang Yogjakarta. Pada masa kepemimpinan sahabat Mahbub Junaidi inilah PMII secara politis menjadi sangat populer di dunia kemahasiswaan dan kepemudaan, sampai pada periode pertama sahabat Zamroni. Pernah menjabat sebagai Ketua Umum PWI pusat dan pimpinan Redaksi harian Duta Masyarakat (1965–1967), ketua dewan kehormatan PWI (1979 – 1983), anggota DPR GR (1967-1971), Wakil Ketua PB NU (1984-1989), Wakil sekjen DPP PPP, Anggota DPR/MPR RI (1971-1982), Pencetus “Khittah Plus” , Ketua Majlis Pendidikan Soekarno dan anggota mustasyar PB NU (1989-1994).

Sabtu, 21 Juli 2012

Memadukan Ilmu dan Amal

Ilmu adalah karunia paling berharga yang diberikan Allah kepada manusia. Kemuliaan ilmu ini banyak ditegaskan oleh Al-Qur'an maupaun hadis Rasulullah SAW seperti hadis yang mewajibkan seluruh umat Islam, baik laki-laki maupun perempuan, atau keharusan menuntut ilmu dari sejak manusia dilahirkan hingga meninggal dunia (long life education).

Sedangkan ilmu tidak dapat dikatakan ilmu jika ia tidak dihubungkan dengan amal perbuatan manusia. Rasulullah SAW mengibaratkan hubungan ilmu dan amal ini dengan pohon dan buahnya. Jika ilmu adalah sebatang pohon maka amal adalah buahnya. Jika ilmu tidak disertai dengan amal kebajikan maka ilmu tersebut tidak banyak berguna laksana pohon yang tak berbuah.

Dalam kitab Ta`limul Muta`allim, Syekh az-Zarnuji,  menerangkan bahwa banyak sekali umat Islam di masanya yang mengalami kegagalan dalam menuntut ilmu. Kegegalan yang dimaksud bukanlah kegagalan lulus atau tidak lulus dalam ujian sekolah. Akan tetapi lebih jauh lagi merupakan kegagalan sebab tidak dapat menjadikan ilmu yang diperoleh bermanfaat bagi masyarakat luas. Dengan kata lain, ilmu yang tidak dapat dipetik buahnya.

Menurut Syekh Zarnuji, kegagalan ini disebabkan oleh kekeliruan motivasi menuntut ilmu (niat), memilih disiplin ilmu, guru dan teman, kurangnya penghormatan terhadap guru dan orang yang berilmu, kemalasan dalam belajar, kurangnya ibadah dan rendahnya sikap tawakkal (berserah diri kepada Allah),  wara` (menjauhi makan barang haram), zuhud (melepaskan ketergantungan terhadap materi). Sementara seluruh hal di atas merupakan syarat-syarat dan jalan yang dibutuhkan oleh setiap pelajar dalam mencapai ilmu pengetahuan yang diridhai Allah SWT.

Dari syarat-syarat keberhasilan mendapatkan ilmu di atas, terlihat jelas bahwa sebenarnya pendidikan dalam Islam memberikan perpaduan yang indah antara ilmu dan amal. Bersendikan pada kesungguhan dalam mengasah potensi intelektual dan keikhlasan dalam beramal.

Barangsiapa yang berhasil memenuhi syarat-syarat dan benar dalam cara menuntut ilmu niscara mereka akan tercerahkan hati dan pikirannya. Mereka akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat baik bagi dirinya sendiri juga bagi masyarakt luas serta akan selalu berada di bawah petunjuk Allah SWT.

Sebaliknya mereka yang meninggalkan syarat-syarat yang diperlukan dalam menuntut ilmu dan belajar dengan jalan yang salah maka sudah dapat dipastikan mereka akan mengalami kegagalan dalam memadukan antara ilmu dan amal. Dalam dunia pendidikan Islam terdapat sebuah slogan yang sangat populer:

Man zada ilman wa lam yazdad hudan lam yazdad minallahi illa bu`dan.” Artinya: Barangsiapa yang bertambah ilmunya akan tetapi tidak bertambah petunjuknya maka ia tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali semakin jauh dari Allah.